Berdayung

BISMILLAH,
”Kite yang tinggal di tepi laut mesti pandai berdayung. Jike tak pandai berdayung, hidupmu berbahaya,” begitu nasihat Abah. Abah memang pendayung ulung. Semua warga kampung kenal Abah karena Beliau pelaut ulung. Abah bukan cuma piawai mendayung sampan. Dia pun lihai mendayung rumah tangga.

Kita sering melihat orang berdayung. Selat, sungai, danau, tasik, dan laut merupakan tempat para pendayung. Wahana air alami atau buatan itu menjadi kekayaan alam dan mewarnai ragam kehidupan. Di situ, ada siswa berdayung ke sekolah. Nelayan tradisional yang bersampan sudah jelas mengayuh dengan dayung. Juga ada festival perahu dayung dalam rangka helat budaya. Semuanya harus dilakukan dengan kemampuan yang maksimal.

Dayung atau pengayuh sampan merupakan alat penggerak. Lazimnya terbuat dari sebilah papan. Jika menggunakan sampan, biasanya ada dua dayung yang digunakan secara bersilang. Kalau hanya jongkong, satu bilah dayung sudah cukup. Jika hanya satu dayung dan agak pendek, biasanya disebut campang. Tangan kitalah yang menggunakan dayung untuk mengayuhkannya di air sehingga sampan ikut bergerak. Namun, seluruh anggota badan mengeluarkan tenaga terpusat ketika tangan mengayuh atau mendayung. Energi jadi lebih fokus sehingga mampu menggerakkan sampan atau kolek.

Pendayung itu bagaikan pemimpin. Jika di laut, dialah mualim. Kalau di masjid, dialah imam. Seandainya di kapal terbang, dia adalah pilot. Apabila di mobil, dia adalah sopir. Kalau di sekolah, dialah kepala sekolah dan pendidik. Dia adalah Abah atau Ayah. Dia adalah lurah, camat, bupati, walikota, gubernur, raja, sultan, ataupun presiden. Sampan itu seumpama kapal, pesawat, mobil, kelurahan, kecamatan, kabupaten, provinsi, bahkan negara.

Supaya sampan tak gelek, pendayung mesti piawai mendayung. Agar kapal terbang atau mobil dan kereta api sesuai jalurnya, pilot atau sopir dan masinis harus piawai mengoperasikan kendaraan yang dibawanya. Seandainya kita tidak menginginkan suatu wilayah atau negara hanyut dalam pusaran bahaya, pemimpinnya mestilah cendekia dan piawai dalam kepemimpinannya. Semuanya mesti cendekia dan piawai dalam jalur keahlian masing-masing. Kesesuaian dengan keahlian itu menjadi syarat mutlak agar kita tidak ditimpa oleh kehancuran yang tak berjeda.

Dalam diri kita, bersemayam sifat malas. Sifat kelesa ini sangat berbahaya. Lebih parah jika sampai pada tahap manai berumpun. Mengaktifkan sifat malas akan mengundang sifat-sifat tidak elok lainnya. Bisa saja kecurangan atau ketidakjujuran lahir dari keadaan malas. Bayangkan jika pendayung malas, pilot malas, sopir atau masinis malas. Tak terbayangkan kalau pemimpin pun malas. Bahkan, stereotip malas pun ditikamkan ke jantung orang Melayu. Tentu saja konsep ini tidak benar meskipun hingga sekarang stigma tersebut masih hidup. Budayawan Riau, Al Azhar dalam pertemuan Dialog Budaya Melayu pada 2012 di Riau menegaskan bahwa anggapan orang Melayu pemalas itu merupakan konstruksi dari bangsa Barat sebagai penjajah. Melayu pemalas itu hanya mitos. Tentu saja pandangan Al Azhar ini sejalan dengan Tunjuk Ajar Melayu yang ditulis Tenas Effendy (1994:134):Apa tanda Melayu jati, bekerja keras di mana pun jadi. Apa tanda Melayu jati, bekerja tekun sampai ke mati.

Hakikatnya, hidup ini bagai berdayung. Kemampuan kita berdayung akan memberikan kenyamanan dalam pelayaran. Kemampuan berdayung pun akan menentukan apakah kita sampai ke tujuan tepat sasaran atau meleset dari harapan (ekspektasi). Perlu tenaga, pikiran, dukungan kondisi alam, pengalaman, ilmu, dan keterampilan ketika berdayung tentang kehidupan. 

Ketika berdayung, berbagai kemungkinan akan dihadapi. Arus deras, gelombang, air tenang, badai, bahkan sampan bocor atau dayung patah. Itu adalah cabaran hidup. Jika tak mau dihantam gelombang, jangan berumah di bibir pantai. Apa pun yang terjadi, yang jelas, kita mestilah berdayung. Seorang pemimpin sejati senantiasa berdayung untuk sampai ke pulau harapan. Enggan berdayung, hanyut serantau.***
 
Alhamdulillah.
Bengkalis, Selasa, 17 Ramadan 1443 / 18 April 2022

Baca: Puisi Puasa: Ramadankan Aku pada Sepuluh Malam Kedua

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *