Aur

Bismillah,

”JANGAN mencoreng arang di muka sendiri. Jangan memaluan keluarga,” Emak berpesan kepadaku sebelum merantau. “Jaga nama baik keluarga,” imbuhnya.

Begitu pentingnya keluarga. Emak berpesan hingga beberapa kali kepada kami anak-anaknya. Pesannya itu seperti terjadwal secara rutin. Dia juga berkata bahwa kita sekeluarga mesti hidup laksana serumpun buluh: padu dan kuat. Serumpun buluh yang padu akan menjadi benteng tak terkalahkan oleh siapa pun. Buluh atau bambu atau aur merupakan tumbuhan dengan perkembangbiakan dan pertumbuhan yang cepat. Buluh berdaun memanjang dan runding. Batangnya keras, beruas, dan berongga. Akarnya serabut. Tanaman ini memiliki banyak manfaat. Nilai serumpun buluh bisa kita analogikan dengan keluarga.

Bersyukurlah yang punya keluarga. Di luar sana,masih banyak yang tak punya keluarga. Lebih bersyukur lagi jika keluarga peduli dengan kita. Di luar sana, banyak sekali keluarga yang tak peduli dengan kita. Anak durhaka dengan Emak dan Abahnya. Orang tuanya dititipkan dipanti jompo. Ad pula yang membiarkan orang tuanya begitu saja. Ada pula orang tua yang terpaksa bekerja hingga lanjut usia karena ditinggalkan hidup sendirian. Padahal, kehidupan ini terasa tak bernyawa kalau tiada keluarga. Dari keluargalah kita hidup. Dengan keluargalah kita mati.

Keluarga ibarat serumpun buluh. Hidup berkeluarga mestilah pandai menyimpan rahasia bagai dekan di bawah pangkal buluh. Keluarga harmonis jangan sampai berebut buluh belah atau berebut buluh hanyut, tangan luka buluh tak dapat. Dalam berbicara, anggota keluarga jangan pula seperti gelegar buluh.

Dalam berkeluarga, pekerjaan mesti pula kita lakukan dengan benar agar tidak sia-sia. Bercakap jangan asal cakap. Bekerja jangan asal kerja bak melekatkan kersik ke buluh. Jika nak menasihati orang lain atau keluarga, kita mesti melakukan dengan matan agar orang lain itu bisa menerimanya dengan matan pula. Namun, kalau nasihat itu masuk dari telinga kiri, keluar dari telinga kanan itu seumpama menampalkan kersik ke buluh. Hidup berkeluarga pun tidak perlu takut dengan penindasan atau perundungan dari orang lain seperti kerosok ular di rumpun bambu

Hidup dalam keluarga hendaknya bersatu padu. Sekali lagi, hidup berkeluarga seumpama serumpun bambu. Ianya memiliki pertalian dan kedekatan yang erat. Air dicindang tak kan putus, kata Emak. Begitulah pertalian darah dalam keluarga. Sehebat apa pun guncangan dalam keluarga, sehebat apa pun angin meniup buluh, ia sulit untuk ditumbangkan karena berdiri dalam serumpun yang kokoh. Terpaan angin hanya bisa memperindah kekuatan buluh karena meliuk-liuk dengan suara daun yang berderai.

Aur menjadi simbol kehidupan. Aur melambangkan sikap bersopan santun. Aur melambangkan kekuatan. Aur memiliki simbol perpaduan yang kuat. Aur pun melambangkan kemudahan hidup. Aur juga melambangkan kebermaknaan menjalani kehidupan bagi orang lain. Bahkan hutan bambu bisa menjadi paru-paru kota apalagi ditata dengan kemas. Aur selalu hidup berdampingan dengan yang lain. Simbol ini merupakan kiasan untuk hidup kita dalam berkeluarga.

Banyak sekali masyarakat nusantara memanfaatkan aur. Selain digunakan untuk pembuatan perabot, rumah atau pondok, aur juga memperkuat pertahanan perang. Sejarah mencatat betapa kokohnya benteng aur duri yang dipergunakan oleh pahlawan nasional untuk membentengi serangan dari penjajah. Satu di antaranya yang terkenal di bumi Melayu, yaitu benteng aur duri yang dibangun Tuanku Tambusai di Dalu-Dalu, Rokan Hulu. Benteng yang dibuat khusus denga aur yang berduri ini mampu menahan gempuran penjajah sehingga mereka beberapa kali mengalami kegagalan.

“Keluarga itu mesti bergotong royong, saling membantu. Cubit tangan kiri, tangan kanan ikut terasa,” sentak Emak. ”Bagai aur dengan tebing,” pesannya.***

Alhamdulillah.
Bengkalis, Selasa, 28 Zulkaidah 1443 / 28 Juni 2022.

Baca : Hakim

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *