Cerpen Ida Jubaidah: Menjadi Dewasa

SUARA pelat baja dan sepatu yang beradu mulai terdengar saat aku memasuki halte Grogol Satu ini. Bunyi yang dihasilkan oleh kedua benda yang berbeda bahan baku itu bukan bunyi yang asing bagi tempat ini. Di waktu pagi, bunyinya bahkan bisa lebih keras dan berulang disebabkan oleh para manusia yang berlari mengejar bus yang akan mengantarkannya pada tujuan masing-masing.

Siang ini, aku yang baru saja bertempur dengan segerombolan soal-soal Statistika yang sukses membuat kepala ku berdenyut sejak awal perkuliahan tadi, memilih langsung pulang saat kelas dibubarkan. Biasanya aku beserta teman-teman ku memilih untuk bersantai di kantin sambil menenangkan kepala yang nyaris mengeluarkan asap sambil menikmati makanan-makanan yang di jual di kantin. Ya sekalian menunggu waktu kelas selanjutnya dimulai.

Tapi terkhusus hari ini, dosen yang hendak mengajar mata kuliah selanjutnya berhalangan hadir, sehingga aku memilih langsung keluar dari lingkungan kampus. Entah akan langsung pulang ke rumah atau sekadar hanya duduk diam di halte.

Aku memiliki kebiasaan yang menurut teman-teman ku cukup aneh, yaitu duduk diam di halte sendirian. Hanya duduk diam dan bernafas tanpa melakukan kegiatan apapun. Melihat keadaan di sekelilingku, melihat orang-orang yang turun-naik ke bus, mendengar teriakan para kondektur transjakarta yang meneriakan tujuan dari bus yang dinaikinya.

Tapi saat ini baru pukul 11.47, halte saat ini sedang sepi pengunjung karena pelanggan tetapnya pasti kebanyakan sedang berkutat dengan kegiatan monotonnya setiap hari. Entah kerja, kuliah, sekolah atau kegiatan lainnya.

Tapi duduk berdiam diri di halte yang sepi juga buka opsi yang buruk. Setidaknya aku bisa menenangkan kepalaku yang sejak tadi berdenyut pusing ini. Aku menaiki bus transjakarta dari halte Grogol Dua yang mengarah ke Pinang Ranti. Jelas halte ini bukan halte tujuanku untuk mengistirahatkan pikiran. Halte ini terlalu dekat dengan kampus, dan aku terlalu malas bertemu dengan orang-orang yang aku kenal nantinya. Lebih baik, naik bus terlebih dahulu kemudian turun di salah satu halte yang sepi dan cukup jauh dari kampus ini.

Melihat halte Pancoran yang seperti tidak berpenghuni, akhirnya aku memutuskan untuk turun di halte tersebut. Duduk diam di kursi panjang yang telah disediakan sambil menyumpal telinga dengan earphone yang sudah mengeluarkan suara dari aplikasi radio yang berjalan di ponselku. Satu lagi kebiasaan yang membuat teman-teman ku terheran-heran padaku, alih-alih membuka Spotify atau Joox untuk mendengarkan musik, aku lebih memilih membuka radio di ponsel.

Lagu-lagu yang terputar di radio itu nggak pernah bisa ditebak. Rasanya seperti memenangkan lotre ketika aku sedang memikirkan satu lagu yang tiba-tiba muncul di kepala, lalu radio dengan ajaibnya akan memutarkan lagu tersebut.

Saat ini, ditengah teriknya matahari di siang bolong, radio yang sedang ku dengarkan memutarkan satu lagu yang akhir-akhir ini sering aku dengar ketika memasuki minimarket. Lagu dari Hindia yang berjudul Secukupnya. Lagu tersebut cukup populer saat ini, ditambah dengan dijadikannya lagu ini sebagai soundtrack dari film Indonesia yang banyak menarik minat masyarakat untuk menontonnya.

Mungkin karena lirik dari lagu tersebut sangatlah relate untuk kehidupan para manusia dewasa saat ini. Dari awal liriknya saja sudah menampar para manusia yang hobi overthingking sebelum tidur.

Kapan terakhir kali kamu dapat tertidur tenang?

Haha! Jika aku dihadapkan pada pertanyaan tersebut, aku yakin aku akan kesulitan menjawabnya atau bahkan tidak memiliki jawaban sama sekali.

Kapan terakhir kali aku tidur dengan tenang?

Satu tahun yang lalu?

Dua tahun yang lalu?

Atau tiga tahun?

Haha entahlah. Rasanya semakin aku beranjak dewasa, semakin tidurku tidak pernah tenang. Masa depan yang belum jelas selalu menghantui hidupku. Rasa takut akan tidak bisa mewujudkan ekspektasi diri dan keluarga selalu sukses membuatku tak tenang. Selalu muncul bayangan tentang raut kecewa Ibu jika seandainya aku gagal dalam kehidupan ini.

Aku yang sedang melamun ini, dikejutkan oleh seseorang yang baru saja duduk di sebelahku. Aku yang nggak tau dari mana dia berasal cukup terkejut saat suaranya memasuki gendang telingaku. “Hoi, ngapain lo sendirian disini?”

Saat menoleh, aku menemukan Mahesa dengan cengiran lebar dan alisnya yang terangkat sedang menatapku. Dari mana cowok ini berasal? Kok aku sampai nggak sadar dia duduk di sebelahku ya?

Mahesa ini salah satu teman sejurusan ku di kampus. Aku dan dia nggak terlalu dekat meskipun sekelas di beberapa mata kuliah. Dan rasanya cukup aneh melihatnya tersenyum lebar sampai memperlihatkan gigi-giginya yang rapi itu. Seakan-akan kami adalah teman yang sangat dekat dan dia seperti orang yang sedang sangat senang bertemu teman dekatnya.

“Duduk.” Aku hanya menjawab dengan satu kata. Hendak memberinya kode kalau kami nggak begitu dekat dan nggak seharusnya dia tersenyum selebar itu. Di kampus Mahesa memang terkenal sebagai anak yang petakilan dan sering cengengesan serta hobinya yang menggoda atau menjahili teman-temannya. Tapi aku kira sikapnya itu hanya akan ditujukan untuk teman-teman dekatnya. Seperti aku yang jika belum berteman dekat dengan orang, maka aku akan segan menunjukan diriku yang sebenarnya. Tapi Mahesa sepertinya memang menunjukkannya ke semua orang.

“Hooh keliatan sih,” katanya. Kemudian Mahesa duduk dengan menghadap ke depan dan masih di sebelahku. Tunggu! Ini kan masih banyak kursi yang kosong di halte ini, kenapa Mahesa malah duduk di sebelah ku sih?

Tapi aku enggan membuka mulut ku, jadi alih-alih protes padanya, aku memilih kembali fokus pada lagu yang sudah berganti di radio. Mahesa pun enggan membuka suaranya, mungkin karena mendengar nada suara ku yang tidak bersahabat tadi. Jujur aku cukup terusik dengan kedatangannya saat ini. Aku sengaja menjauh dari kampus kan sedang nggak ingin bertemu dengan orang yang kenal dengan ku. Malas berbasa-basi!

“Kamu tuh nggak seharusnya bersikap kekanakan gini Ndra, kamu sudah mau kepala tiga, kamu sudah besar, sudah dewasa. Maka bersikaplah sewajarnya orang dewasa bersikap.”

Lagi-lagi lamunanku dibuat buyar, kali ini oleh perempuan yang sedang berdiri di tempat untuk naik ke bus. Perempuan itu sedang mengomel panjang lebar dengan seseorang di sambungan teleponnya. Bukan maksud ku untuk menguping, hanya saja suaranya yang lantang cukup membuat telingaku dengan jelas mendengar kata demi kata yang dia lontarkan. Suaranya baru hilang ketika dia menutup panggilan dengan kasar dan langsung naik ke bus yang baru saja datang.

Satu kalimat yang membekas di diriku saat ini adalah, “bersikaplah sewajarnya orang dewasa bersikap.”

Kata Ibu, seseorang mulai memasuki masa yang disebut dewasa adalah ketika dia sudah menginjak usia 20 tahun keatas. Dan aku adalah salah satunya.

Dulu kupikir usia 20 tahun itu memang sudah benar-benar dewasa. Dulu aku pikir menjadi dewasa itu menyenangkan.

Tapi ketika aku sendiri yang mengalami fase itu, aku baru sadar, di usiaku yang baru menginjak angka 20 ini nggak lantas membuatku menjadi orang yang benar-benar dewasa. Dan dewasa untukku ternyata nggak begitu menyenangkan.

“Kata orang, tua itu pasti dan dewasa itu pilihan. Menurut lo dewasa itu apa?” aku tau Mahesa pasti berpikir aku nggak waras. Setelah tadi menjawabnya dengan intonasi tidak mengenakan, sekarang aku malah bertanya hal yang sangat random padannya.

Cukup lama rasanya aku nggak mendengar suara Mahesa setelah pertanyaan random itu keluar. Mahesa mungkin malas menanggapi pertanyaanku setelah ketidaksopanan ku tadi padanya. Dan dia pasti berpikir aku adalah orang yang aneh yang tiba-tiba bertanya hal nggak jelas padanya. Ah masa bodoh lah! Setelah ini, jika bus datang kemanapun tujuannya, maka aku akan langsung naik dan pergi meninggalkan Mahesa. Malu!

“Dewasa menurut gue itu proses.”

Aku langsung menoleh padanya ketika mendengar Mahesa bicara. Nggak menyangka cowok itu akan bersuara.

“Proses gimana lo bisa menerima diri lo apa adanya dan proses gimana lo bisa mencintai diri sendiri. Kata nyokap gue, gue harus jadi orang yang mencintai diri sendiri, menerima kekurangan diri sendiri, bertanggung jawab dengan apa yang sudah gue pilih, dan memaafkan kesalahan diri sendiri untuk menjadi dewasa. So, gue menyimpulkan kalau dewasa itu proses. Karena hal-hal yang nyokap gue sebutin tadi itu memang butuh proses untuk bisa gue terapkan pada diri gue.

Menginjak usia dewasa, gue nggak lantas langsung menjadi bertanggung jawab, nggak lantas langsung mencintai diri sendiri, memaafkan diri dan menerima kekurangan diri gue. Gue butuh proses untuk sampai di tahap itu. Gue butuh waktu untuk bisa menciptakan perubahan itu untuk diri gue. Karena menjadi dewasa itu prosesnya nggak instan. Dan nggak semuanya berhasil melewati proses itu. Sama kaya kata lo barusan, menjadi dewasa itu pilihan, sedangkan menjadi tua itu pasti. Ada banyak diluaran sana yang umurnya sudah banyak, tapi sikap dan sifatnya masih kekanakan kan? Kayak si Ndra yang diomelin mbak-mbak tadi, katanya umurnya udah mau tiga puluh tapi masih kekanakan.” ucap Mahesa panjang lebar.

Aku menatap takjub mendengar serentetan kalimat yang Mahesa keluarkan. Nggak menyangka cowok cengengesan sepertinya akan menjawab dengan serius pertanyaan random ku tadi. Benar-benar serius, nggak ada cengiran lebarnya seperti awal tadi, nggak ada tatapan jailnya seperti yang biasa ditunjukan ketika di kampus, nggak ada celotehan-celotehan absurd-nya ketika bercanda bersama temannya.

Mahesa kemudian menoleh padaku dan mengeluarkan pertanyaan yang sama padaku. Hanya saja, aku mungkin nggak bisa menjawab sedetail jawabannya. Karena aku sendiri masih bingung apa itu dewasa bagiku. Jadi aku hanya menjawab sekadarnya, apa yang terlintas di kepala, itulah yang aku katakan pada Mahesa.

“Dewasa itu menurut gue bertambahnya tanggung jawab dan beban tak kasat mata yang bikin pundak gue kayak ditimpa batu kali yang gede banget.” Aku melihat Mahesa tertawa kecil saat mendengar kalimatku. “Dewasa itu kejam. Dewasa juga bikin gue galau nyaris setiap hari karena menyedot semua rasa bahagia gue.”

“Dewasa tuh nggak gitu asal kita bisa menyikapinya dengan benar.” ralatnya.

“Tapi serius Sa, semakin dewasa gue, semakin gue galau setiap hari. Mikirin masa depan yang nggak pasti, mikirin kuliah yang makin kesini makin susah, gue takut nggak bisa survive. Belom lagi ekspektasi Ibu yang gue takut nggak bisa memenuhi itu. Meskipun Ibu gue nggak pernah menuntut gue untuk jadi ini-itu, tapi sebagai anak bungsu yang memiliki kakak yang ‘nggak jadi orang’, gue tau, gue harapan terakhir Ibu. Gue….takut nggak bisa menyenangkan Ibu.”

Duh aku kesambet apa sih ini? Kenapa tiba-tiba malah curhat pada Mahesa? Padahalkan kami nggak begitu dekat!

“Seumuran kita tuh memang rentan banget sih ngerasa begitu. Soalnya kita kan lagi di masa transisi dari remaja ke dewasa awal ya. Jadi belum terbiasa dengan tuntutan-tuntutan hidup kayak gitu. Kalau kata Google namanya quarter life crisis ya?”

Aku mengangguk mengiyakan. Sudah terlanjur juga curhat dengan Mahesa, jadi ku lanjutkan saja sampai tuntas. Mengeluarkan hal-hal yang terus bercokol di dalam kepala.

Sampai Mahesa kemudian berkata, “Lo tau nggak sih kalau bahagia itu tergantung diri kita sendiri?”

Aku mengernyit kemudian menggelengkan kepala, tidak mengerti dengan maksud pertanyaan Mahesa.

“Kebahagiaan lo itu bukan hilang disedot ‘masa dewasa’,” Mahesa mengangkat jarinya dan bergerak membuat tanda kutip fana ketika menyebut masa dewasa. “Kebahagiaan itu kita sendiri yang menciptakan. Itu tuh tergantung dengan pikiran kita. Ketika lo berpikir kalau kuliah itu membahagiakan, maka lo akan bahagia. Ketika lo berpikir duduk di halte sendirian membuat lo tenang, maka lo akan tenang. Ketika lo memikirkan hal yang menyedihkan, maka lo akan sedih. Begitu terus. Semuanya bersumber dari pikiran kita. Pola pikir kita yang menentukan kita bahagia dengan hidup atau engga. Makanya hal yang membuat lo bahagia, belum tentu akan membuat gue bahagia. Karena pola pikir lo dan gue berbeda. Mulai sekarang berpikir positiflah terhadap segala sesuatu, berpikir bahagialah dengan segala yang lo punya saat ini.”

Sekali lagi aku dibuat takjub oleh Mahesa. Ini mungkin sosok lain dari Mahesa yang baru aku ketahui. Aku bisa bilang jika Mahesa memiliki pemikiran yang lebih dewasa dibandingkan dengan diriku meskipun usia kami sama. Di dalam kepalanya mungkin Mahesa selalu berpikir positif dan bahagia, makanya kesehariannya di kampus selalu ceria dan penuh tawa. Mahesa mungkin memiliki ketakutannya sendiri akan masa depan, tapi dia berhasil menyingkirkan ketakutan-ketakutan itu dengan selalu berpikir positif.

“Perkara masa depan itu nggak ada yang tau. Entah lo berhasil atau engga dengan target-target hidup lo nantinya, itu bisa jadi adalah akibat dari tindakan lo hari ini. Memikirkan masa depan itu bagus, tapi jika berlebihan sampai melupakan masa kini, itu sama aja lo menjerumuskan diri lo ke jurang ketidakberhasilan versi lo. Fokuslah pada masa kini lo berada, perbaiki diri, belajar yang bener, usaha semaksimal yang lo bisa. Kalau di masa depan hal-hal yang lo targetin nggak kecapai juga setelah lo usaha dengan maksimal, maka itu berarti Tuhan sudah menyiapkan hal yang lebih baik dari target lo. Perkara takdir, serahkan pada Tuhan, nggak perlu lo khawatirkan dengan berlebihan. Tugas lo hanya berdoa dan berusaha. Tuhan yang akan menilai lo pantas untuk itu atau engga.”

Aku diam mematung mendengar perkataan Mahesa. Dia benar. Memang apa gunanya aku duduk diam mengkhawatirkan masa depan disaat seharusnya aku belajar hal-hal yang bisa membuatku mewujudkan hal-hal yang aku inginkan? Belajar hal-hal yang akan membuatku bertahan di jurusan ku saat ini?

Mahesa benar. Bagaimana kalau sikap berlebihan ku dalam memikirkan masa depan justru malah jadi alasan gagalnya target-target hidupku di masa depan?

Lagi-lagi Mahesa benar. Memang siapa yang bisa menentang takdir Tuhan? Bukannya segala sesuatu itu terjadi atas kehendak-Nya? Kalau seandainya di masa depan aku gagal disaat sudah berusaha semaksimal yang aku bisa, mungkin memang hal tersebut bukan sesuatu yang yang menjadi takdirku.

Hari ini, aku mendapatkan banyak pelajaran dari seseorang yang nggak pernah aku duga-duga. Mahesa dengan image pecicilan dan cengengesan itu ternyata memiliki pemikiran dewasa yang sangat jauh bila dibandingkan dengan ku. Dan nggak seharusnya aku men-judge seseorang disaat aku bahkan tidak kenal dekat dengan orang tersebut.

Tanpa ku sangka, setelah bicara dengan Mahesa saat ini, rasanya beban yang selalu memberatkan pundakku seperti ditarik paksa oleh tangan tak kasat mata. Pikiranku mulai jernih. Badanku terasa enteng. Mahesa sepertinya sangat cocok menjadi penghipnotis orang, karena setelah mendengar serentetan kalimatnya, aku seperti orang yang terhipnotis olehnya dan mulai mengikuti semua yang dia katakan padaku.

Aku tersenyum padanya. “Thanks ya Sa, it means a lot to me.”

Mahesa mengangguk dan membalas senyumku.

Besok, saat bertemu Mahesa di kampus aku mungkin nggak bisa menatap Mahesa dengan sama lagi.

“Kalau gitu, gue balik dulu ya. Bye!” Aku berdiri ketika bus menuju Pinang Ranti berhenti, kemudian berjalan hendak naik ke bus. Tapi belum sempat aku menaiki bus, Mahesa memanggilku dan aku langsung menoleh ke belakang.

Asa, Glad to talk with you!” katanya sambil tersenyum. Senyum yang menular padaku.

Kemudian aku masuk ke dalam bus dan dengan perlahan Mahesa mulai tak terjangkau jarak pandangku.

Ya, nama ku Asa. Harapan bagi orang-orang yang aku sayangi. ***

*) Cerpen ini sudah ditayangkan osc.medcom.id edisi 27 Mei 2021.

Baca: Cerpen Asih Drajad Lumintu: Sebaik-baik Penjaga

*** Laman Cerpen terbit setiap hari Minggu dan menghadirkan tulisan-tulisan menarik bersama penulis muda hingga profesional. Silakan mengirim cerpen pribadi, serta terjemahan dengan menuliskan sumbernya ke email: [email protected]. Semua karya yang dikirim merupakan tanggunjawab penuh penulis, bukan dari hasil plagiat,- [redaksi]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *