Perahu Mahabadai

Cerpen Mosthamir Thalib

GUNTUR-PETIR sambung-menyambung. Kilat-kilat sambar-menyambar. Mencakar-cakarlangit. Alam gelap gulita. Ombak membuncah-buncah. Topan badai maha dahsyat menderu-deru. Samudera Indonesia bergelora. Sebuah perahu besar, yang tengah berlayar, terhempas-hempas. Terombang-ambing kesana kemari. Di sana sini bocor. Air memancar dari berbagai celah dan lubang.

Tak pelak, perahu besar yang tengah membelah laut ini bakal karam kalau tidak ada tangan mukjizat segera menyelamatkannya. Karam. Bukan saja karena badai maha dahsyat yang tiba-tiba itu, tetapi juga sejak awal muatan dan penumpang perahu ini terlalu penuh, sesak.

Dalam pelayaran ini hampir setiap pimpinan perahu ini banyak membawa saudara-maranya, sanak-keluarganya. Tak peduli, yang dibawa pandai berenang atau tidak. Padahal sejak dari awal nakhoda memperingatkan, hanya yang pandai berenang yang boleh ikut berlayar. Tetapi, kemudian diam-diam – tapi jelas, nakhoda sendirilah menambah penumpang sebanyak-banyaknya. Mulai dari sanak keluarganya sampai para kroni-kroninya.

“Sekarang, kita tak dapat akal lagi. Banyak sudah upaya kita lakukan untuk menyelamatkan pelayaran ini sampai ke tujuan. Kita sudah melego kelaut barang-barang tak penting dalam pelayaran ini. Kita sudah membuang rempah-rempah, mobil-mobil, pohon sawit, dan sebagainya, yang dimiliki oleh segelintir orang itu. Tetapi tetap juga tak membuahkan hasil. Kita tetap saja diterjang badai. Bocor di dalam perahu ini sudah banyak sekali. Air masuk sudah melimpah-limpah,” kata Nakhoda Cik Naning.

“Ya. Badai tak akan bakal segera juga mereda. Malah, menurut badan kajian cuaca, diperkirakan akan makin maha dahsyat. Satu-satunya jalan kita harus melakukan pemutusan hubungan kawan seperjalanan atau pehaka terhadap sejumlah penumpang di dalam perahu ini,” sambung Ocu Sulan, satu dari dua orang pembantu dekat Nakhoda Cik Naning.

Mat lampah, seorang pembantu dekat Cik Naning lainnya Cuma mengangguk-angguk saja. Sementara WakAtan – seorang tokoh masyarakat Kampung Nusa – yang entah bagaimana, tiba-tiba ikut berlayar dengan Nakhoda Cik Naning malam itu, Cuma tercenung.

“Saya setuju. Tampaknya memang harus ada pehaka dalam pelayaran ini, dengan mencampakkan orang-orang dipehaka tersebut kelaut,” kata Mat Lampah kemudian.

“Bagus sekali. Bagus sekali. Itu baru namanya rasionalisasi,” kata Ocu Sulan. “Saya sudah punya beberapa nama yang pantas dipecat. Antaranya si Ucang, Dogol, Kusai, Karim, Kasan….”

“Jangan pecat orang-orang itu,” potong Nakhoda cik Naning. “Itu saudara-mara Ocu Sulan, teman kita ini.”

“Yang mesti dipehaka itu sebaiknya si Nonet, si Tibang, Bujang Dedap, Su’ud, Bakar, Sabor, Hambali, Sri Kuantan …” kata Ocu Sulan pula.

“Jangan itu! Jangan itu! Mereka itu, saudara-mara Mat Lampah, sudara-mara Sri Wan Bani, saudara-mara Wak Cik Bujang Lenggang – teman kita semua, dan termasuk saudara-mara aku,” potong nakhoda, cepat.

Dua pembantu Nakhoda Cik Naning itu terdiam.

“Sebetulnya aku sudah punya beberapa nama yang akan kita campakkan kelaut,” kata Cik naming kemudian. “ya itu si Andot, si Ebot, Ekeh, Bujang Selamat, Katan Montel, Ngah Kuyup, Jang Sontong, Dayang Birah karena mereka ini suka membangkang …”

Wak Atan yang awal tadi diam saja, mendengar ketiga orang itu bercakap, mengangkat mukanya. Memandang muka Cik Naning tanpa berkedip.

“Saya setuju beberapa orang yang disebutkan Tuan-tuan tadi untuk dipecat atau dicampakkan kelaut itu,” kata Wak Atan. “Sebabnya tak lain, selain tak skill mereka juga tak produktif. Macam mentimun bungkuklah, begitu. Kerjanya kalau tak menggunjing dari bilik ke bilik bagi yang perempuannya, ya cuma tidur-tiduran. Cari kutu. Begitu juga dengan lelakinya, kalau tidak mengangkat lampah atau mengampu-ampu atau menjilat-jilat tongkeng bos, ya cuma besiul-siul saja kerjanya dari geladak ke geladak.”

“Tapi,” tekan Wak Atan, “Untuk Dayang Birah dan Karim, saya protes kalau dicampakkan kelaut. Bukan saja karena Dayang Birah itu budak betina kampung, atau Karim orang tua tak berdaya atau tak pandai berenang, tapi juga karena kedua orang itu adalah ‘uratnadi’ keluarga mereka masing-masing. Dan kalau dicampakkan, mereka akan mati lemas di laut ini. Seperti Dayang Birah, dia akan dimakan bulat-bulat oleh buaya. Tak peduli buaya laut atau buaya darat. Dan seacara kemanusiaan, secara hati-nurani, apakah Cik Nakhoda Naning rela melihat, bila kelak dia hidup lagi setelah dimamah-dikunyah buaya darat, lalu memberi ibu dan saudara-saudaranya makan dari lender mulut buaya darat itu?”

Cik Naning terdiam.

“Cik Nakhoda. Mengapa Cik Naning seperti dendam saja pada Dayang Birah? Apaniat-maksud Cik yang belum lepas padanya? Kan masih banyak orang lain yang pantas dipehaka, mengapa dia yang jadi sasaran?” Wak Atan menatap lekat mata Nakhoda Cik Naning.

“Tak ada. Tidak ada. Aku tak dendam apa-apa pada anak perempuan itu. Aku Cuma menengok, dia sebagai salah seorang penumpang yang layak dicampakkan kelaut ini. Itu saja!”

“Begitu juga dengan orang seperti Karim. Apa karena mereka tak punya pelindung di sini. Atau karena mereka tak pandai ‘bernanyi’?” sambung Wak Atan, memotong.

“Tidak. Tidak. Aku cuma membaca dari gelagat alam …”

“Jangan bohong, Cik Nakhoda,” potong Wak Atan lagi. Kemudian dia bergumam ke telinga Cik Naning dengan sauara mengancam, “Saya tahu apa yang terjadi sebenarnya di sebalik itu semua, karena nafsu buaya Cik Nakhoda tak tersalurkan pada Dayang Birah, bukan? Dan Cik Karim pun tahu rahasia itu.”

“Tidak. Tidak. Aku cuma membaca gelagat alam …” suara Cik Naning terdengar agak emosi, “Tampaknya laut ini memang korban seorang perempuan, sebagaimana juga ketika Lancang Kuning di Bukitbatu Bengkalis, di Selat Melaka ketika akan diturunkan kelaut dulu minta korban seorang perempuan, Siti Zubaidah, istri Panglima Umar yang tengah hamil tua. Sama dengan Karim. Gelagatnya persis Panglima Umar yang setia itu.”

“Tahyul,” ejek Wak Atan. “Manusiawilah, Cik Nakhoda. Bantulah orang miskin yang lapar. Seharusnya Cik Nakhoda membantu orang-orang miskin seperti Dayang Birah dan Karim itu! Bukan terlalu mengenyangkan orang yang sudah kekenyangan. Pemubaziran! Paling tidak, bersikaplah agak netral, Cik. Adillah. Jangan mencampakkan orang yang tidak pandai berenang kelaut ini. Campakkan saja mereka, yang sudah pandai berenang di darat, di laut, dan di udara itu, sebab di mana-mana mereka bisa mencari makan sendiri.”

“Jadi, siapa yang akan dicampakkan,” lengking Nakhoda.

“Menurut hemat saya, Cik. Tidak lain. Ialah di antara mereka yang banyak sanak keluarganya di dalam perahu ini. Yang ditinggalkan satu saja, yaitu ‘kepala sukunya’ atau ketua rombongannya di perahu ini. Saudara-maranya yang lain campakkan ke laut. Tak peduli pandai berenang atau tidak.”

“Mengapa begitu?”

“Supaya adil. Masing-masing makhluk di dalam perahu ini dapat kesempatan yang sama. Kemudian, maksud kepala rombongannya tinggal di perahu ini, agar kepala rombongannya itu mengganding saudara-maranya tersebut pakai tali dari buntut perahu ini. Nanti kalau yang tak ada kepala rombongan yang dicampakkan, dia akan lepas sendiri terbenam di dalam badai, karena tak ada saudara-maranya di perahu ini yang berkenan atau sudi menggandingnya pakai tali. Kalau cara ini yang dipakai, saya yakin semua nyawa terselamatkan dalam pelayaran ini. Jadi perhatikanlah yang sebatang kara lebih dulu di dalam perahu ini.”

Nakhoda terdiam.

Badai tetap saja membuncah garang di gelap gulita di malam kelam. Tak satu pun para penumpang tahu, akan kemana sampai pelayaran sang perahu, yang penuh muatan di dalam badai maha dahsyat itu. Menderu. ***

*) Cerpen ini dikutip dari buku 100 Tahun Cerpen Riau

——————–
Mosthamir Thalib, lahir di Desa Igal, Kecamatan Mandah, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, 5 Agustus 1963. Cerpen dan puisi-puisinya mulai dipublikasikan pada pertengahan tahun 1980-an ketika menjadi mahasiswa di Surat Kabar Kampus Bahana Mahasiswa Universitas Riau. Karya-karyanya kemudian muncul di berbagai surat kabar daerah dan nasional, seperti Merdeka (Jakarta), Riau pos, Genta dan sebagainya. Dua kumpulan puisinya adalah Bahang (1981) dan Rerama (1985), sementara cerpen-cerpennya terhimpun dalam berbagai antologi, seperti antologi Titian Laut III (1991), Teh Hangat Sumirah (Pucuk Rebung, 1991) dan Pertemuan Kedua (1995), kumpulan cerpen pengarang tiga kawasan, Singapura, Johor dan Riau. Cerpennya berjudul Nora-nora, Sabolimo, Bukan Telegram Bisnis, Wanita-wanita, Teh Hangat Sumirah cukup mendapat perhatian dari publik sastra di Riau. *

Baca : Cerpen Fiana Winata: Telaga Harapan

*** Laman Cerpen terbit setiap hari Minggu dan menghadirkan tulisan-tulisan menarik bersama penulis muda hingga profesional. Silakan mengirim cerpen pribadi, serta terjemahan dengan menuliskan sumbernya ke email: [email protected]. Semua karya yang dikirim merupakan tanggungjawab penuh penulis, bukan dari hasil plagiat,- [redaksi]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews