Ajak Bijak

Terapi Kamar Mandi

“Kamu adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110)

Ayat itu menjelaskan tiga syarat utama menjadi umat terbaik dalam kehidupan. Pertama, menyuruh kepada yang makruf (kebaikan); kedua, mencegah dari kemungkaran; ketiga, beriman kepada Allah Swt.

Dasar utama melakukan amar makruf nahi munkar itu adalah mengikuti perintah Tuhan, dan dilakukan atas dasar rasa cinta serta kasih sayang. Bukankah Islam merupakan agama kasih sayang? Bukankah Nabi Muhammad Saw merupakan nabi kasih sayang?

Amar makruf itu punya batasan dan aturan. Menyuruh orang berbuat baik dan mencegah mereka berbuat kejahatan hendaklah dilakukan dengan makruf atau dengan cara yang benar dan baik pula. Nahi munkar juga dilaksanakan dengan makruf, bukan dengan cara yang munkar (cara yang tidak benar).

Jika nahi munkar atau mencegah orang dari perbuatan munkar (kejahatan, kemaksiatan, dan lain-lain) itu dengan cara yang munkar pula, seperti dengan tindakan kasar dan keras maka akan melahirkan kemunkaran atau kejahatan baru bahkan lebih dahsyat daripada kemunkaran atau kemaksiatan sebelumnya. Di sinilah diperlukan fiqh al-da’wah.

“Siapa di antara kamu yang melihat kemunkaran, hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Jika ia tidak sanggup, maka hendaklah ia mengubah dengan lidahnya. Jika ia tidak juga, maka hendaklah ia menentangnya dengan hati, dan itu adalah selemah-lemah iman.” (HR Muslim).

Dalam penerapan hadits tersebut, Imam Al Ghazali menyatakan: al-ta’aruf, yaitu mengenal kemunkaran secara jelas dan obyektif. Bukan melalui isu dan desas-desus. Kedua, al-ta’rif yaitu memperkenalkan yang makruf kepada orang yang melakukan kemunkaran, karena boleh jadi ia berbuat demikian karena ketidaktahuannya kepada yang makruf tersebut. Ketiga, mencegah kemunkaran dengan pengajaran yang baik dan nasehat yang bijaksana serta menyebutkan bagaimana siksaan Allah Swt terhadap orang yang melakukan kemunkaran tersebut. Keempat, al-Sabb wa al-al Ta’nif (mencerca dan bertindak tegas) terhadap pelaku perbuatan kemungkaran. Tindakan ini dilakukan sekiranya telah diupayakan cara-cara yang santun, halus dan lembut. Cara ini pernah dilakukan Nabi Ibrahim AS. “Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah…” (QS. Al-Anbiya: 67).

Berkenaan dengan upaya menghentikan kemunkaran tersebut, Yusuf Qardhawi menjelaskan, hendaknya dipastikan bahwa sesuatu itu benar-benar munkar. Kriterianya adalah: pertama, kemunkaran tersebut harus disepakati sebagai sesuatu yang diharamkan. Kedua, kemunkaran itu harus tampak jelas. Tidak atas dasar cerita atau desas-desus dari mulut ke mulut. Ketiga, untuk melenyapkan kemunkaran harus diukur menurut kemampuan. Keempat, tidak dikhawatirkan menimbulkan kemunkaran yang lebih besar.

Allah Swt mengingatkan. “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Nahl: 125)

Apa maksud hikmah dalam ayat itu? Menurut Habib Hasan bin Ismail Al-Muhdhor, adalah disampaikan dengan cara yang tepat, di waktu yang tepat serta kepada orang yang tepat.

Ketika Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS menghadap Pharaoh atau Fir’aun, mereka disarankan untuk berkata yang lembut penuh kesantunan.

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” (QS. Thaha: 44)

Selevel Fira’un saja masih diminta untuk santun mengajaknya kepada kebaikan apalagi kepada orang lain yang tentu takkan melampaui zalimnya penguasa Egypt itu.

Tujuan melakukan nahi munkar adalah al-da’watu ila Allah. Yaitu mengajak dan mengubah orang yang lupa agar ingat kepada Allh Swt; mengajak dan mengubah orang yang fasik agar menjadi saleh; mengajak dan mengubah orang kafir menjadi beriman.

“…Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu.” (QS. Ali ‘Imran: 159)

Sebagai natijah: lakukan amar makruf dan nahi munkar sebagai kewajiban karena itu merupakan perintah Ilahi, dan didasari atas rasa cinta kepada sesama makhluk Ilahi. Lakukan semua itu dengan bijak, dilandasi ilmu, serta sesuai dengan tuntunan Ilahi dan Rasulullah Saw.

Lakukan amar makruf dalam masyarakat agar terhindar dari kaum paling buruk seperti peringatan Rasulullah Saw: “Seburuk-buruk kaum ialah kaum yang tidak memerintahkan (melakukan) keadilan dan kaum yang tidak memerintahkan (melakukan) yang makruf dan tidak mencegah dari yang munkar.” (HR. Abu Syaikh dan Ibnu Hibban)

Wallahu a’lam. ***

Baca : Ihwal Nyanyi Panjang

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews