Perempuan Airmata

Bang Long

Bismillah,
Perempuan sering dipadankan dengan airmata. Pada perempuan, airmata bukan cuma melambangkan kelemahan, tetapi juga melambangkan kekuatan. Ketika sedih, perih, dan sakit hati menyesak dada, airmata bisa tumpah dengan mudahnya. Tampaklah kerapuhan. Di sisi lain, airmata perempuan itu bisa beralih sebagai kekuatan yang mampu membekukan keegoan lelaki. Kesadaran lelaki (suami) bisa saja mengalir bersama airmata perempuan (isteri).

Tidak sedikit perbincangan yang menguras airmata perempuan pada tempat tidak berdaya. Mereka secara tidak langsung dikecam sebagai misoginis. Aristoteles, misalnya, menyebutkan bahwa perempuan sederajat dengan budak atau hamba sahaya. Plato pula dalam Quraish Shihab menempatkan kehormatan lelaki pada kemampuan memerintah, sedangkan kehormatan perempuan terletak pada kemampuannya melakukan pekerjaan sederhana/hina (2018). Neitzsche mengerdilkan perempuan dengan mengatakan bahwa yang membuat perempuan itu sama dengan lelaki karena mereka hidup bersama dalam satu wilayah dan saling berinteraksi dalam waktu lama (lihat Ali Syariati, 1984). Dalam filsafat Islam, kata M. Afif Anshori dalam tulisannya bertajuk Perempuan: Perspektif Islam, Tasawuf, dan Fiqih, perempuan tidak dibedakan dengan lelaki. Dia disetarakan sepanjang memiliki kemampuan intelektual. Relasi lelaki dan perempuan pun adil dan setara. Hal ini disebabkan ajaran utama tasawuf adalah kebersihan hati dalam upaya mencapai kedekatan dengan Tuhan. Untuk mencapai tingkatan itu, lelaki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama (Jurnal Al-AdYaN/Vol.X, NO.1/Januari-Juni 2015).

Banyak orang berbincang tentang perempuan. Karya sastra pun menjadi wadah untuk memperbincangkan perempuan. Pembahasan makhluk sosial ini tak ’kan pernah surut. Menurut Dessy Wahyuni, dalam ruang sastra, kehidupan perempuan seringkali menjadi kisah yang menarik untuk disajikan. Selain itu, ruang kreativitas perempuan dalam menulis karya sastra bukan pula merupakan hal baru. Luka, airmata, doa, keringat, mimpi, lelah, ataupun sesalan memang melumuri diri perempuan, tetapi memberi basis mentalitas untuk olahan kisah. Makna diri sebagai perempuan tidak akan meruntuhkan etos sastra. Kehadiran diri sebagai pengisah hidup justru membuat pengabdian sastra mirip takdir. Hidup perempuan pun bertaburan kisah dan bergelimang makna.

Kumpulan puisi DAN, PEREMPUAN YANG KAU TELAN AIRMATANYA (DPYKTA) merupakan satu di antara sekian karya sastra yang berkisah tentang perempuan dan ditulis oleh sastrawan perempuan. Kumpulan yang memuat 74 puisi ini ditulis oleh penyair perempuan Indonesia asal Kabupaten Siak Sri Inderapura, Riau, Kunni Masrohanti (Salmah Publishing, 2021). Sebelumnya, Kunni telah menerbitkan kumpulan puisi Sunting (2011), Perempuan Bulan (2016), Calung Penyukat (2019), dan Kotau (2020).

Ketika membaca judul kumpulan puisi ini, Hamba langsung membolak-balik isinya. Ternyata, Tak Hamba temukan judul puisi DAN, PEREMPUAN YANG KAU TELAN AIRMATANYA. Lariknya pun tidak ada. Ada tiga hipotesis Hamba. Pertama, judul tersebut merupakan rangkuman penyair berdasarkan isi puisi yang telah ditulisnya. Kedua, penyair ingin menegaskan bahwa dirinyalah perempuan seperti judul tersebut. Ketiga, penyair memberikan kesan bahwa penderitaan perempuan tak ’kan pernah selesai dalam kehidupannya meskipun berjuang mati-matian untuk kelayakan hidupnya. Begitu menderanya perempuan sampai-sampai airmatanya (sebagai lambang kepedihan dan kekuatan) pun ditelan.

Hakikatnya, puisi merupakan produk sosial-budaya dari penyairnya. Karena itu, puisi pun kaya dengan persoalan sosial. Citraan sosial kehidupan perempuan pun tidak terlepas dari karya sastra seperti puisi. Apalagi puisi-puisi tersebut produk dari penyair perempuan. Sebab berdasarkan sosiologi, menurut Faruk, sastra merupakan gambaran kehidupan, potret fenomena sosial, kejadian secara konkret yang terjadi di masyarakat atau kenyataan sosial (2010). Puisi-puisi Kunni dalam kumpulan ini bukan cuma berirama tentang kesengsaraan. Ketua Penyair Perempuan Indonesia ini pun mengekplorasi suatu harapan, tantangan, dan perjuangan perempuan. Irama-irama kesengsaraan perempuan dapat kita pahami melalui penggunaan padanan diksi yang berkaitan dengan kesengsaraan. Penyair perempuan ini benar-benar mengekspresikan apa yang dia rasakan sebagai perempuan malang. Puisi bicara bulan pada hatinya menggemakan irama rasa dirundung malang itu. Ini tentang rundung pada bait pertama. Lalu, cinta kita bertakung rundung/ kita menuainya dengan senyum pada bait akhir. Penulis menggambarkan bagaimana cinta dalam kehidupan itu penuh dengan rundung malang, tetapi harus dihadapi juga dengan kebahagiaan semu/kepura-puraan. Kesan kepedihan hidup perempuan pun dapat kita rasakan dalam puisi segala menjadi serupa. Kunni menulis ….senyum yang mawar serupa belati/ leretnya alirkan kisah seluruh hari/ menjadi naskahnaskah sepanjang tadi/ dan, pedihnya menyungai paling dada. Inilah gambaran perempuan kelihatan bahagia (senyum), tetapi sebenarnya penuh kepedihan (belati). Gambaran aspek kemanusiaan perempuan ini dapat terjadi seluruh hari sehingga mencari kisah panjang. Akhirnya, kisah-kisah itu menjadi penderitaan hidupnya sehingga Hamba mengistilahkan dengan perempuan airmata.
Penderitaan bisa saja terpendam. Perempuan bisa saja memiliki kekuatan luar biasa untuk memendam setiap penderitaan. Bahkan, perempuan pun mampu menelan penderitaan tersebut untuk dirinya. Kunni menggambarkannya dalam puisi meminum laut di mata kita. Begitu banyaknya penderitaan perempuan diwakilkan dengan diksi laut dalam puisi ini. Kesan perempuan airmata juga bisa kita pahami dalam puisi mata yang selalu basah. Kunni menulis ada hening yang paling/ di matamu mengambang bening/ …merawatnya menjadi luka/ ….hening selalu basah/ di tatapmu yang tumpah. Ungkapan kepedihan perempuan dalam puisi-puisi Kunni berkisah tentang berbagai persoalan dengan beragam kondisi perasaan. Cinta, rindu, kasih sayang, dan persoalan rumah tangga yang dibungkus dengan suasana hati. Hatiku kembali ranggas, tulis Kunni dalam puisi dan hatiku kembali ranggas.

Selain memberikan kesan kepedihan atau kesengsaraan, puisi-puisi Kunni juga ingin mengatakan bahwa perempuan pun punya kehendak untuk hidup bahagia. Perempuan itu manusia. Sebab itu, sisi kemanusiaannya patut menjadi perhatian. Puisi dari lubuk paling airmata, misalnya, bermula dari larik menimba lubuk airmata. Larik ini bisa kita pahami sebagai perjuangan yang penuh pengorbanan. Lalu, larik kedua kelak yang bercahaya merupakan harapan dari perjuangan. Larik-larik pada bait berikutnya merupakan ikhtiar dalam proses perjalanan waktu dan tempat. Penyair menggunakan frasa di belakang, aku melihat hari ini yang kuyup….hari ini, aku melihat kemarin menadah tangan….Esok, aku melihat hari ini tersenyum dipapah masa depan. Kemudian, puisi ini diakhiri dengan larik ;rumah cahaya sebagai simbol kebahagiaan. Puisi ini merupakan ikon perjuangan dan ekspektasi perempuan dalam memperjuangkan hak kehidupan yang layak. Ada keinginan peran lebih tinggi bagi perempuan. Bukan cuma punya peran domistik. Kesan puisi tersebut adanya keinginan untuk berperan lebih luas daripada sekedar pasung domistik. Kesan kehendak untuk hidup yang layak ini pun dapat kita pahami dalam puisi menjadi hari ini. Bait pertama puisi ini memberikan kesan tentang kehidupan yang dijalani penuh dengan beragam cobaan atau ujian dan kesilapan: apapun,/ jalan ini semak berumpun/ ribu jalur ditimbun lumpur. Selanjutnya, pada bait kedua, Kunni menginginkan sampai pada suatu tujuan dengan memohon pengampunan.
….
kapanpun,
kepada nanti kita sampai
meminta berumpun ampun
tetap menjadi hari ini yang damai
dan,
sedikitpun kita tak meminta lerai
;jalan cahaya

DAN, PEREMPUAN YANG KAU TELAN AIRMATANYA menggambarkan tentang perempuan airmata yang perkasa.***

Alhamdulillah.
Bengkalis, Selasa, 02 Rajab 1444 / 24 Januari 2023.

Baca: Waktu

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews