Artikeliris: Banteng Bersayap Kupu-Kupu (Bagian Satu)

Bang Long

Bismillah,
Meskipun terkesan eksklusif, puisi terus saja lahir. Sejak dunia digital semakin garang, karya sastra itu muncul seperti tanpa batas. Puisi semakin menunjukkan vitalitasnya dengan beragam kualitas. Selama kehidupan sosial masih berdaya hidup dalam kancah kemanusiaan, puisi akan terus hidup dalam kehidupan. Vitalitas puisi merupakan napas kehidupan sosial. Puisi terlahir sebagai refleksi dari realitas sosial. Mursal Esten menjelaskan bahwa karya sastra merupakan pernyataan hati nurani pengarang dan masyarakatnya. Antara karya sastra dan situasi sosial terdapat hubungan timbal balik (dalam Rahman, 2018). Dalam kaitannya dengan realitas sosial itu, puisi bukan cuma dan bukan cuma-cuma bergaung di panggung-panggung. Puisi menjadi gaung dari gunung-gunung hingga mendengung ke pendengaran (telinga), perasaan (hati), dan pikiran (benak). Karena itu, penyair mampu menggaungkan apa saja melalui puisi. Puisi bisa bersuara alam.

Puisi bisa menggema tentang ketidakadilan dan ketidakjujuran penguasa. Puisi mampu menggaungkan sisi pribadi, kelompok masyarakat, negara, suatu bangsa, dan beragam lainnya. Bahkan, tidak jarang muatan politik pun menggumpal renyah dalam puisi melalui beragam gaya penulisan. Muatan politik dalam puisi ini pun masih bisa dipersempit dengan beragam atensi khusus. Misalnya, muatan politik penguasa, pengusaha, pribadi, kelompok tertentu, dan sebagainya yang menjadi isu hidup dalam rencah kehidupan sosial. Puisi bermuatan politik tentulah merupakan refleksi dari peristiwa-peristiwa politik. Karena merupakan refleksi dari peristiwa politik, penyairnya tentu telah menandai peristiwa dalam karyanya walaupun berbentuk fiktif. Namun, sisi realitas peristiwanya tetap terjadi dalam kehidupan. Dalam melahirkan puisi, penyair tentulah terinspirasi dari peristiwa nyata, baik dialaminya secara langsung maupun tidak. Penyair bisa saja melahirkan puisinya dari berita-berita dalam media dalam bentuk alih wacana (transformasi teks).

Pengalaman-pengalaman hidup sebagai warga negara menjadi modal utama dalam merefleksikan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam karya sastra seperti puisi. Karena penyair merupakan bagian dari bangsa suatu negara, muatan politis tidak mungkin tiada. Politik merupakan kebutuhan asas manusia. Dalam kaitan tersebut, penelitian kelindan antara politik dan puisi tentu sudah banyak dilakukan. Misalnya, Sapardi Djoko Damono dalam bukunya Politik Ideologi dan Sastra Hibrida. Dosen dan sastrawan terkenal ini menegaskan bahwa politik dan ideologi tidak bisa dipisahkan dari sastra. Dalam kaitan antara politik dan puisi, Profesor tersebut mengartikan politik dengan dua hal. Pertama, tindakan atau kegiatan yang dipergunakan untuk mendapatkan kekuasaan dalam negara, masyarakat, atau lembaga. Kedua, tindakan atau kegiatan yang dianggap bisa menjamin bahwa kekuasaan dilaksanakan dengan cara tertentu.

Dalam hal muatan politik dalam karya sastra ini, sastrawan Indonesia asal Indragiri Hilir, Riau, Mosthamir Thalib, sangat piawai mereka-reka suatu peristiwa politik menjadi karya sastra berbobot. Karya-karyanya bisa berbentuk puisi dan prosa. Satu di antara karya sastranya terangkum dalam antologi Banteng Bersayap Kupu-Kupu. Karyanya ini terdiri atas tiga bagian, yaitu Artikeliris, Puisi Bebas, dan Syair, Gurindam, Igal-igalan, Talibun. Beliau menegaskannya sebagai puisi-puisi kesaksian. Bahkan, pilar awal karya yang menurut Beliau sebagai puisi ini bermula dari artikel dari berbagai kutipan. Karena itu, karya-karyanya ini bisa kita rumuskan sebagai transformasi teks. Sebagai penyair, Mosthamir Thalib mengistilahkan puisi-puisinya sebagai artikeliris, yaitu puisi panjang yang berkisah. Menurutnya, walaupun isinya sepenuh puisi sang pemuisi, tetapi tak seluruh kekatanya milik pemuisi.

Meskipun Mosthamir Thalib menyebut puisinya sebagai artikeliris, tetapi dalam teori sastra hanya kita temukan jenis puisi liris dan puisi naratif. Waluyo dalam Abdul Wachid B.S., mengatakan, dalam puisi lirik, penyair mengungkapkan aku-lirik atau gagasan pribadinya. Ia tidak bercerita (2010:157). Karya puisi Mosthamir Thalib ini lebih nominan bergaya liris, bukan puisi liris. Menurut saya, puisinya itu–kalaupun ingin disebut sebagai puisi–lebih tepat dikatakan puisi naratif-liris. Tentang gaya penulisan liris ini, Hartoko dan Rahmanto mengatakan bahwa lirik secara spontan melahirkan dan mewujudkan perasaan batin seseorang. Sifat-sifatnya adalah mengutamakan nada dan irama, abstraksi terhadap waktu dan tempat tertentu, serta gaya yang langsung menyapa perasaan audien. Berdasarkan hubungan aku dengan kenyataan, lirik dibedakan menjadi lirik langsung, yaitu suara batin langsung diperdengarkan dan lirik tak langsung, yaitu aku menyembunyikan diri di belakang lambang-lambang (1986:79).

Bagian Satu puisi yang diberi subjudul Artikeliris ini terdiri dari empat puisi. Keempat puisi naratif tersebut, yaitu Benteng Bersayap Kupu-Kupu (BBKK), Hang Tun Daulah Mahamalayu (HTDM), Apes bukan Epos: Cik Puan Maharatu (AbECPM), dan Artikeliris O’Ngah Tabrani (AOT). Tentu saja Mosthamir Thalib menampilkan perwujudan perasaan batinnya melalui puisi tersebut. Puisi BBKK dan AbECPM merupakan dua puisi naratif yang saling berkait. Kedua puisi tersebut berkisah tentang tokoh-tokoh negeri yang disamarkan dalam perebutan kancah kekuasaan melalui permainan politik. Dalam kedua puisi itu, kita akan menemukan tokoh Cik Puan Putri, Tuan Jantan Kharisma, Bu Suri, Hang Jibun, Datuk Bendara Renta, dan Baginda Raja. Jika kita cermati kisah dalam puisi tersebut, maka kita akan menemukan persamaan karakter tokohnya dalam kenyataan politik negeri. Selain itu, kita pun menemukan diksi acuan pada lambang-lambang tertentu yang mengarah pada kekuatan politik. Misalnya, banteng, garuda merah, para taipan, boneka dari tirai bambu, perahu, dan purnama cahayanya. Hebatnya Mosthamir Thalib, Beliau menyatukan puisi naratifnya itu dengan bait-bait seperti syair dan pantun. Karyanya ini bagaikan gado-gado yang memiliki citarasa khusus dengan gaya jenaka (humoris). Inilah yang menjadi keistimewaan penulis Keletah Wak Atan di laman Harian Riau Pos itu. Mari kita simak!

Cik Puan Putri, putri pemalu
Sedikit ketawa banyak tersipu
Tak banyak cakap pandai melagu
Besar nampan eh, besar pula nafsu
(h.13)

….
Ombak bergulung berdentum-dentam
Lampu perahu nelayan berkelap-kelip
Mengapa nyelinap di tengah malam
Adakah sesuatu yang Puan intip?
(h.17)
….
Sampan kolek lunas perahu
Perahu mainan putri mahkota
Untuk dilayarkan di dalam perigi

Kaki ’dah cape’ duduk kita di situ
Saksikan terus panggung purnama
Sambil dengarkan ombak bernyanyi
(h.20).

”Belum tentu ada perahu lain yang akan memberikan
tumpangan kepadamu menuju ke negeri impian, Tuan.
Banyak perahu bagus dan molek pelabuhan ini, belum tentu
cukup syaratnya untuk bisa berlayar, Tuan.”
….
Tak sulit kita menemukan irama dalam setiap bait karyanya karena memanfaatkan bentuk pantun dan syair. Bentuk pantun dan syair ini menyelinap bebas dalam narasi bebas lainnya. Mosthamir memadukan bentuk puisi bebas dan terikat dalam puisi-puisi naratifnya. Muatan politik dalam puisinya itu pun sangat mudah kita cerna meskipun Beliau menggunakan diksi dengan perlambangan tertentu.

Puisi naratif HTDM berkisah tentang gejolak politik di negeri jiran. Pemahaman kita dapat kita cerna dari diksi latar tempat Kerajaan Mahamalayu, Selat Malaka. Selain itu, Mosthamir menggunakan tokoh Hang Jibun, Hang Tun, Hang Him, Tun Zizah, Tun Teja, Raja Dilaut Lanusia. Karakter tokoh-tokoh perlambangan imajiner tersebut merupakan perwakilan tokoh politik negeri jiran dalam kenyataan sosial-politis yang disamarkan dengan singkatan, tetapi merujuk pada tokoh-tokoh tertentu seperti halnya puisi BBKK. Mosthamir membancuh tentang korupsi, perebutan kekuasaan, penyelamatan marwah bangsa, daulat pemimpin (raja), pengkhianat bangsa, kebangkitan pembelaan kebenaran, otoriter. Bait akhir puisi ini merupakan pesan cantik yang dimainkan Mosthamir.
….
Raja bijak bertari tidak banyak bicara
Kekacauan di laut sudah dimakluminya
Agar kedaulatan kerajaan tetap terjaga
Balikkan warisan ke empunya pusaka
(h.49).

Mosthamir Thalib bukan cuma menarasikan tokoh di lingkungan elite politik. Sastrawan yang pernah saya gelar sebagai Soeman Hs modern dalam esai berjudul Tuntut Merdeka, Dewan Kemaruk, dan Telatah Wak Atan: Ketika Soeman Hs Modern ”Menjentik dan Menggelitik” ini pun menarasikan gejolak daerah (Riau). Gejolak ketidakadilan itu dinarasikan olehnya dengan mengangkat tokoh Riau Merdeka, Prof. Tabrani Rab yang biasa disapa dengan O’Ngah Rab. Puisi bertajuk AOT mengingatkan kembali pekik Riau Merdeka yang pernah digemagaungkan itu. Puisi ini berkisah tentang bagaimana perjuangan Tabrani Rab untuk menegakkan dan memperoleh keadilan bagi masyarakat (Riau). Beliau merasakan susah payahnya perjuangan. Namun, profesor ini tetap bersemangat membantu siapa pun masyarakat minta pertolongan. Mosthamir Thalib melukiskan perjuangan profesor dalam bait berikut.
….
Satu malam O’Ngah tidur di rumah sempit
Di bilik yang sempit. Di sebuah kampung
yang baru dibangun. Jauh, – di pedalaman,
di ujung Sungai Embun, di antara dua bukit
(h.57).

Dalam puisi ini, Mosthamir Thalib mengisahkan berbagai hal tentang penderitaan kehidupan Riau. Masyarakatnya hidup miskin (sangsai) dan terisolasi. Hutan rimba diluluhlantakkan. Tanah warga dan ulayat dijarah dengan rendahnya ganti rugi. Penyair ini pun mengisahkan bagaimana pembangunan waduk di Riau akan merusak lingkungan sekitar. Intimidasi di mana-mana. Tentang sangsai (penderitaan) Riau dapat kita simak dalam larik berikut.
….
Sakai, tanah yang dicaplok perusahaan
Petalangan, sawit yang ditanam atas kuburan

Akit, kehilangan terubuk oleh limbah industri
Talangmamak, bukit mereka yang digunduli
Duanu, meminta beasiswa pendidikan tinggi

Bonai, yang karam akibat punahnya hutan
Melayu: terkelupas daratan lepas pula lautan
(h.67).
….
Geram. Negeri kaya raya.
Rakyatnya terlunta-lunta
(h.69).

Namun, pekik Riau Merdeka tak mampu menembus tembok Jakarta. Mimpi Riau Merdeka hanya menjadi Otda (otonomi daerah). Di dua bagian akhir puisi naratif ini, kisahnya tentang sosok profesor yang semakin dimakan usia. Raut wajah lelah tergurat jelas. Profesor kian tidak berdaya. Akhirnya, perjuangannya ada batasnya. O’Ngah Tabrani pulang ke bilik hakikatnya. Kata penyair Murparsaulian dalam puisinya bertajuk Pulang: bila saatnya datang/ saat itulah kau harus pulang.

Begitulah Mosthamir Thalib memainkan satirenya melalui kejenakaannya. Ada beberapa hal yang dapat disarikan dari empat puisinya yang diberi subjudul Artikeliris ini. Pertama, perebutan kekuasaan di kalangan elite politik bukan semata untuk kepentingan awam, tetapi juga golongan. Kedua, kekayaan suatu wilayah tidak menjamin kesejahteraan bagi masyarakatnya jika tidak dikelola dengan keadilan. Ketiga, perseteruan elite politik hanya melahirkan kesengsaraan bagi masyarakat. Keempat, dalam perebutan kekuasaan senantiasa diikuti pemaksaan kehendak dan kongkalikong. Kelima, kekeliruan dalam mengurus bangsa dan negara berakibat tragis pada tatanan kehidupan rakyat.
(bersambung ….)

Alhamdulillah.
Bengkalis, Selasa, 09 Rajab 1444 H / 31 Januari 2023

Baca: Perempuan Airmata

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews