Gila Bayang

Bang Long

Bismillah,
Kumpulan puisi Gila Bayang (TareBooks, 2020) karya Norham Abdul Wahab (NAW) memiliki tiga bagian. Sastrawan Indonesia asal Riau ini mengistilahkannya dengan diksi Tingkap Satu, Tingkap Dua, dan Tingkap Tiga. Tingkat Satu, yaitu Cumbu Bayang yang menangkup 44 puisi. NAW mengatakan, mayoritas dari sajak dalam Tingkap Satu ini adalah sajak yang menung pada amnya. Sajak-sajak dalam tingkap ini, menurutnya, lebih personal dan damai. Tingkap Dua, yaitu Candu Bayang, yang hanya memuat satu sajak bertajuk Gila Bayang, sekaligus menjadi judul besar buku ini. Kata NAW, kehadiran Tingkap Dua ini sebagai perekat antara pemisahan Tingkap Satu dan Tingkap Tiga. Tingkap Tiga, yaitu Cambuk Bayang yang menangkup 17 sajak. NAW mengakui bahwa Tingkap Tiga ini merupakan sajak-sajak yang lebih terasa kegeraman dan ke-Melayua-Indonesia-an dan lebih sosial.

Pada dekade 90-an, NAW menjadi sumbu sastra kontemporer Riau di antara sastrawan lain di Bumi Lancang Kuning. Kehadiran kumpulan sajak Gila Bayang memperkokoh kesastrawanannya bukan cuma di Riau, tetapi juga Indonesia. Judul kumpulan sajak ini memang sangat Melayu. Frasa ini tercatat dalam ungkapan Melayu dan masih digunakan dalam kehidupan sosial. Gila Bayang memiliki makna (1) menginginkan sesuatu yang tidak mungkin tercapai; (2) mencintai seseorang yang tidak ingin melayani cintanya atau cinta bertepuk sebelah tangan. Bayang menggambarkan sesuatu yang tak bisa kita gapai meskipun nyata di depan mata. NAW dalam kumpulan sajaknya yang religius ini ingin menyampaikan beberapa pesan.

Pertama, hanya kepada Ilahi tempat kembali. Sajak bertajuk NAMA mengisahkan akulirik yang hanya mengingat satu nama. Walaupun ingin menyebut nama lain, tetapi tetap cuma asma Ilahi yang terucap: eh rupanya/ nama itu juga berkelebat–memenuhi dunia akhirat (h.2). Sajak LUKISAN WAJAH MASJID pula mengisahkan akulirik yang menerima kiriman foto masjid dari seseorang sebagai pengingat kepada Ilahi untuk selalu beribadah di rumah cinta itu: kaukirim aku foto rumah cinta itu/ terang, sejuta suluh sinar lampu/ ia lukisan rona cahaya wajahmu/ bakal berjumpa Sang Maharindu (h.5). NAW memang piawai meramu ragam peristiwa yang dialaminya. Perjalanan religiusnya membuka cakrawala pikiran yang berfokus pada kebesaran Ilahi. Semua yang dialaminya adalah pertemuannya dengan Ilahi.
….
oh, rupanya aku akan pulang
suatu hari, tak lama lagi
menambat perahu di tiang jambat,
bertemu Ilahi (Jambat Tempat Bertambat, h.6-7).

Kisah kembali menemui Ilahi pun dikisahkan NAW dalam sajak KETIKA PETANG SELEPAS SEMBAHYANG (h.8-9). Melalui sajak ini, penyair yang pernah menjadi penanggung jawab Majalah Budaya Sagang ini, menarasikan tentang tanda-tanda kematian sudah dekat. Kematian yang digambarkan penyair, yaitu kematian yang manis (husnul khatimah). Ini ditandai dengan larik ketika petang selepas sembahyang/ dikau menjadi kenang. Selanjutnya, ketika kita menghormati guru, meskipun tidak bertatap muka atau tidak berjabat tangan, perasaan tetap saja merasa begitu dekat. Hati mengikat erat rasa hormat kepada guru terhormat. Rasa cinta dan hormat itu semata karena cumbu Ilahi: aku mengulur seutas tali/ dikau memagangnya silaturrahmi/ berdua kita mendekap Ilahi (sajak TANGAN TAK BERJABAT, HATI ERAT TERKEBAT, h.15). Jika mendengar panggilan Tuan, manusia selalu bergegas. Tidak sedikit manusia malas tatkala mendengar panggilan Tuhan. Pulang bukan cuma kembali ke rumah. Pulang bukan hanya kembali ke titik awal, tetapi juga pulang mendekatkan diri kepada Ilahi. Tidak sedikit pula manusia menggesa langkah atau bergegas ke masjid untuk memenuhi panggilan Tuhan: aku mempercepat langkah/ bergegas, lelah dan tergesa-gesa/ mengejar panggilan pelantang/ mengejar Tuhan di seberang (sajak KE PALANGKA, TUAN, h.16-17).

Kedua, menghormati para guru (orang berjasa) dan sahabat. Guru bukan sekedar pemindah ilmu, tetapi juga pembangun jati diri. Dia merupakan ilmuan dalam makna luas, berfaedah bagi pembangunan jati diri suatu bangsa, dan sekaligus pembangun fondasi negara. NAW mengajak pembaca untuk senantiasa mengenang manusia berjasa, bukan hanya kepada kedua Emak dan Abah, tetapi juga kepada mereka yang telah berhempas-pulas menyumbang pikiran, tenaga, dan waktunya untuk mencerdaskan dan membangun kehidupan. Penghormatan kepada B.J. Habibie ditulis dalam sajak BANDUL JAM HABIBIE (h.11) dan PESAWAT HABIBIE (h.13). Kedua sajak tersebut mengenang jasa dan kepulangan Tuan Crack menghadap Ilahi. Selain Habibie, NAW pun memberikan penghormatan kepada alim ulama seperti Maulana Saad dalam sajak PERAHU DI KUALA WAKTU (h.24), kepada Ustaz David dalam sajak KALA SAFAR DI BINTAN (h.51), kepada KH Nur Thohir dalam sajak SEEKOR UNTA PUTIH (h.78), kepada Saad bin Abi Waqqash dalam sajak ANAK PANAH BERKAFAN JUBAH (h.96), kepada Abdullah bin Ummi Maktum dalam sajak BULIR MATA RINDU (h.99), kepada Abu Ayyub al-Anshori dalam sajak SEBAT TAK PERNAH BERKARAT (h.102). Selain itu, NAW pun memberikan catatan khusus kepada pahlawan, pejuang kebudayaan, dan sahabat (orang terdekat). Kepada Sutan Takdir Alisjahbana ditulis dalam sajak TAMAN BUNGA ALISJAHBANA (h.41), kepada Sutardji Calzoum Bachri (SCB) dalam sajak PUISI DI UJUNG PELABUHAN (h.45), kepada Raja Haji Fisabilillah dan Raja Ali Haji dalam sajak ZIARAH KE PENYENGAT (h.48-50), kepada Hosnizar Hood dalam sajak PEREMPUAN DUYUNG (h.56), dan kepada isteri dalam sajak BUNGA DI TAMAN SELECTA (h.61). Kenangan-kenangan elok yang ditinggalkan selama menjalani kehidupan akan memberikan ilham bagi kehidupan yang lain.

Sajak utama dan cukup panjang dalam buku ini, yaitu GILA BAYANG (h.90-94). Seperti Hamba jelaskan, bahwa dalam ungkapan Melayu, gila bayang pada intinya menginginkan sesuatu yang tak akan pernah kesampaian. Penuh angan-angan. Begitulah kesan yang akan kita peroleh dalam sajak ini. Sajak ini berkisah tentang seseorang yang selalu disibukkan dengan berbagai aktivitas. Namun, dalam aktivitasnya yang terkesan berkelas itu, tidak seperti makna dalam kata berkelas itu. Sajak ini menjelaskan tentang seseorang yang suka mencarut, meniru-niru gaya preman di senayan. Nyaris semua jasmaniyah tokoh yang dikisahkan dalam sajak ini melakukan pengelabuan (kamuflase) diri dengan berbagai penampilan. Dia menjadi undangan terhormat dalam acara pernikahan. Dia beralasan silaturahmi, padahal ke diskotik, mabuk-mabukan. Seseorang dalam sajak ini menjadi pembicara utama, tetapi penghasut minda. Dia mengenakan jubah, pangkat bertimbun, semuanya dalam bayang-bayang kesombongan dan kemegahan. Padahal, seseorang ini gemar maksiat. Ada pesan menarik dalam sajak ini yang dinukil NAW dari pengajian UAS. Seseorang yang munafik itu diundang dalam acara pengajian tersebut.
….
kisah orang-orang maksiat
: azab tak pernah terlambat
kisah orang-orang taat
: tak hitung peroleh nikmat
kisah orang-orang munafik
: rejam tak dapat ditampik
kisah orang-orang kufur
: dipelasah semenjak umur
kisah para dai dan mujahid
: lewat shirat lesat melesit

Ketiga, meneraju negeri (Melayu) sesuai dengan Islam. Kearifan lokal dalam karya sastra senantiasa menjadi perhatian serius para sastrawan. Kearifan Melayu dalam Gila Bayang ini ditamsilkan NAW dalam sajak PERAHU MELAYU (h.108-109). Dalam sajak ini, Melayu dihujahkan dengan harapan sebagai (1) bangsa yang gagah berani menghadapi beragam tantangan; (2) bangsa yang berani mara untuk mencapai azam; (3) bangga sebagai bangsa Melayu; (4) bangsa yang senantiasa mengingat Islam sebagai syarak dan menegakkan keberanaran. Semua harapan tersebut dimetaforakan NAW dengan larik menerjang gelombang, menjemput biru laut, tanpa rasa takut, sebab Islamlah Melayu, Allah juga yang dituju, menari di pucuk gelombang, dan tanpa rasa takut dijemput maut. Tentang semangat Melayu pun tersingkap dalam sajak JAZIRAH MELAYU DALAM PUISI (h.120-121).
….
hei,
siapa yang telah menulis puisi,
jazirah Melayu mati di hati?
keris kuacung, kubuang sarung
: moh bertarung!

Selain itu, NAW pun menyoroti Melayu (Riau) dalam kerisauan dalam sajak PISAU ASAP RIAU (h.127). Kesengsaraan tubuh Melayu (Riau) melalui kekayaan alam hutan yang terbakar (dibakar) melahirkan pedih bagai penyiksaan terencana.
di riau,
asap menjadi pisau
mengiris hati, merandau
pedih perih tak terkemarau

Cinta tanah air merupakan kewajiban warga negara. Sebagai WNI, NAW juga menyatakan bagaimana hebatnya Indonesia. Sajak AKU INGIN JADI INDONESIA (h.113), ingin menyampaikan bagaimana seharusnya menjadi WNI yang sebenarnya, ASN, pejabat negara, kepala negara, penguasa negara yang tak melupakan kehadiran Allah Taala dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Lalu, sajak NEGERI PARA DEWA (h.116) menggambarkan tentang kebanggaan tanah air Indonesia yang memiliki lambang negara seperti burung garuda, bendera merah-putih, dan Pancasila sebagai dasar negara. Juga menegaskan bahwa NKRI sebagai prioritas yang menolak komunis, sosialis, feodal, federal, khilafah, tetapi tetap mengingat Allah. Sajak KETIKA KAPAL-KAPAL PERANG RI BERANGKAT KE NATUNA UTARA, MENUJU PERGI MENGAMBIL KEMBALI (h.128-129) menggambarkan perkasanya TNI untuk membela marwah negeri (Natuna) dari gangguan negara lain dengan semangat zikir.

NAW menulis sajaknya dengan gaya berbeda. Kekadang tipografinya, bentuk baitnya, lariknya, termasuk pungtuasi, dan frasa sebagai keunikannya. Beliau meramunya menjadi jalan menuju Allah Taala sebagai jalan kembali.***

Alhamdulillah.
Bengkalis,

Baca: Syair Melayu Semesta

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews