Ramadhan Sunyi

RAMADHAN sekali ini terasa sunyi. Setidaknya itulah yang dirasakan lelaki itu. Bukan sunyi dari hingar bingar suara lalu lalang kendaraan dan kebisingan kota, tapi sepi terasa dalam dirinya. Ia merasa sepi di tengah keramaian. Tak seperti tahun-tahun lalu, Ramadhan terasa sunyi karena orang sembunyi bersebab kedatangan tamu tak diundang yaitu tuan atau puan corona yang membuat negeri ini senyap bagai dialah atau diserang burung gaudo (garuda).

Lelaki itu merasa segalanya terasa hampa. Nasi yang dikunyah serasa sempelah kelapa, air yang diminum agak serasa duri saat berbuka. Demikian juga ketika makan dinihari atau sahur. Menghabiskan dua suap nasi bagai makan hendak menghabiskan secampah petambuhan nasi saat bulan-bulan cerai (selain bulan Ramadhan) dahulu.

Tak ada semangat bara saat menuju surau atau mesjid di dekat rumahnya saban kali dipanggil Ilahi melalui suara muazin. Tak ada kegembiraan menyala saat menyambut laungan shalawat yabng didendangkan bilal di sela-sela shalat tarawih. Demikian juga bekerja. Malas nian bangkit menuju kedai untuk melayani orang belanja.

Segala sesuatu dirasakannya serasa hampa, serasa kosong tak berarti. Seolah tak ada buah dari amal yang dilakukannya. Segala terasa kosong dan tak ada rasa.

Kelesuan karena didera puasa saat siang sama saja terasa ketika malam tiba. Makanan dan minuman yang disantap seolah tidak menambah darah dan daging di tubuhnya.

Ia terus diselimuti lesu. Bertukal-tukal pertanyaan menyembur dan berputar-putar di kepala dan relung batinnya. Kenapa ini terjadi? Apakah usia yang dipanjat tua membuat segalanya berubah? Apakah karena dosa yang kian bertimbun sehingga membuat segalanya seolah tak berperisa? Atau latihan menahan nafsu diri di bulan puasa belum maksimal ia lakukan sehingga segalanya terasa kering kerontang?

Lelaki itu beranjak ke depan cermin. Dilihatnya sesuatu yang ada di cermin. Wajahnya tampak lebih jernih daripada biasanya. Tapi uban sudah mulai banyak muncul di sela-sela rambut. Matanya tampak kuyu. Kumisnya tampak hitam putih. Di dagunya janggut perak bergayut dua tiga helai.

Matahari sudah mulai condong ke barat. Segera ia ambil handuk. Lekas-lekas ia menuju kamar mandi. Malam ini ia akan kembali sholat tarawih dan qiyam Ramadhan lagi walaupun tanpa selera dan tanpa perisa. Ia ciduk air dalam kulah.

Tiba-tiba ia teringat saat kecil di kampung dahulu. Saat begini ia akan berkuncah di sungai menanti berbunyinya beduk berbuka puasa. Kini ia letakkan gayung di lantai. Ia membayangkan kulah di kamar mandinya adalah sungai di kampungnya. Ia pun berendam. Menyelam, timbul, tenggelam.

“Sudah berbuka, Bang!” terdengar suara istrinya memanggil. Namun lelaki itu tak menghiraukan. Benar-benar berendam seperti yang dilakukannya semasa kecil dahulu.

Terdengar ketukan di pintu kamar mandi. “Bang. Sudah berbuka, Bang.”
Setelah sekian lama tak ada jawaban. Sang istri mendobrak pintu. Lelaki itu tetap tak peduli. Ia terus saja timbul tenggelam dalam kulah atau kamar mandi besarnya.

“Astaghfirullah. Nak meninggalkan tabiat agaknya orangtua ‘ni,” kata istrinya bersungut-sungut.

Dipegangganya lelaki itu. “Bang. Kenapa begini? Nak meninggalkan perangai ke?” kata istrinya.

Ada apa Leha? Tanyanya sesaat setelah berhenti timbul tenggelam.

“Sirene berbuka sudah melaung dari radio mesjid.”

“Hoo.”

Mak Leha menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah lelaki 54 tahun itu. “Macam bebudak kecik.”

***

Malam itu lelaki yang sedang dirundung hampa itu baru saja selesai sholat tarawih di mesjid dekat rumahnya. Kini dadanya terasa sesak. Dipanggilnya istrinya. “Dada abang sesak, Leha. Tolong injakkan kaki abang. Mungkin masuk angin ‘ni,” katanya lirih.

Tanpa bicara, Mak Leha langsung menginjakkkan sebelah kakinya di atas kaki kanan lelaki itu. Setelah sekian lama, kedua kakinya berjalan di atas kaki suaminya itu. Mak Leha terus saja menginjak kaki lelaki itu seperti biasanya.
Setelah sekian lama berjalan dari ujung kaki ke pangkal paha suaminya, Mak Leha pun bertanya.

“Sudah, Bang?” tanya Mak Leha. “Kaki kiri lagi, Bang?”

Tak ada jawaban.

“Pindah ke kaki kiri lagi, Bang?”
Tak ada sahutan.

Mak Leha berhenti. Ia pun berjongkok. Melihat suaminya dekat-dekat. Dilihatnya leher lelaki itu. Ia terkejut. Tak tampak pertanda napas turun naik.

“Abang. Abang!” Pekiknya.

“Bangun, Bang. Bangun, Bang!” Teriak Mak Leha. Tetap tak ada jawaban.

Mak Leha mengusap kaki suaminya.
Dingin. Kemudian ia rebahkan kepalanya di dada lelaki itu. Tak ada degup jantung seperti bunyi beduk berbuka. Diciumnya pipi lelaki yang sudah bersamanya lebih dari seperempat abad itu. Dingin. Pasi. Mak Leha melaung. “Abaaaang!” ***

Baca: Investasi Abadi

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews