Memagut Kampung

BAGINYA, alam tanah kelahiran adalah sekeping surga yang tersemai di bumi. Saat matahari menyembul di belakang kampung, pancaran sinarnya bagaikan kilauan emas terpercik di antara kayu-kayan dan sela-sela pohon nyiur yang diam. Ketika mentari mulai menghiasi langit dan menikam awan, ia nikmati air pasang yang terus naik, menenggelamkan pulau-pulau merah di tengah sungai. Saat air surut, pulau-pulau itu kembali bermunculan, seperti roti panggang dioles mentega dari kejauhan.

Dahulu, ketika ia masih kecil, saat pulau-pulau itu timbul, ia bermain dengan pasir merah, membangun istana atau melukis segala hal yang hilang seketika dilindas gelombang sampan. Ia juga menaikkan layang-layang sambil berlari di atas pasir, bercanda dengan angin dan burung-burung yang melintasi langit. Untunglah, layang-layang terbuat dari kantong asoy yang takkan remuk saat terendam.

Ketika berendam di air pasang, ikan-ikan kecil seperti pantau menggosip atau menggigit-gigit tubuhnya. Ia khawatir kalau ikan buntal ikut mencubitnya, karena bisa berdarah dan pedih. Saat malam menjelang, ia pergi ke sungai dengan tudung saji, menyauk ikan-ikan kecil sambil menikmati angin yang bertiup kencang. Kadang-kadang ditemani ibunya atau ayahnya. Ia menyaksikan gundukan pasir merah yang kini hitam, dan dengan senter, ia menyusuri tepi sungai mencari ikan yang menepi.

Saat angin bertiup kencang dan dingin menggigit tubuh, ia pulang, memasukkan ikan-ikan ke dalam toples milik ibunya. Ia tertidur, bermimpi tentang surga lain yang ia rindukan. Kampung halamannya begitu indah—itu dulu, saat ia masih kecil hingga menamatkan sekolah dasar.

Ketika melanjutkan pendidikan, kenangan itu semakin pudar, pulang ke kampung hanya di musim liburan. Suasana seperti itu hanya ada di musim kemarau, yang tak selalu selaras dengan jadwal liburnya. Kini, ia telah dewasa dan sesekali kembali ke kampung. Ternyata, semua itu masih ada: pasir merah di tengah sungai, pulau-pulau yang kembali timbul. Ia berlari, mengajak anaknya menikmati tempat itu. Anaknya bahagia, tetapi malam segera menjelma.

“Bagaimana kampung kita? Indah bukan?” tanyanya pada si kecil enam tahunan.

“Sangat indah, Ayah. Hanan tak mau pulang,” rengek anaknya.

“Hari hampir senja. Tak baik kita lama-lama di sini,” bujuknya. “Esok kita berenang lagi di sini, ya.”

“Hanan tak mau. Hanan mau main pasir lagi,” kata anaknya, sementara istrinya hanya tersenyum.

Matahari mulai merah di hulu kampung, menyapa permukaan sungai dengan sinar hangat. Di masjid, suara radio mengaji mengalun lembut.

“Hanan, sekarang kita pulang ya,” katanya sambil memeluk dan menggendong anaknya, meski si kecil meronta. Anaknya kelihatan berat meninggalkan tempat itu. Tapi ia terus menggendongnya. Pulang.

Mereka menyusuri tepian, angin berhembus lembut, dan matahari kian lama hilang di balik dedaunan kayu-kayan di seberang kampung. Suara muazin pun menggema dari masjid, menandakan malam akan segera berlabuh.

Ah, ia ingin terus memagut kampung halaman. Rindu selalu menunggu, dalam diam.

***

Ia baru saja mendirikan rumah baca di kampungnya. Ya, rumah baca Datuk Sati Diraja, sebuah tempat yang kini menjadi oasis bagi anak-anak. Setiap Sabtu, dalam tajuk “Sabtu Ceria Bersama Buku”, pekarangan rumah peninggalan ibu dan ayahnya ramai dikunjungi oleh anak-anak sekolah dasar yang menyimpan api semangat di dada mereka. Rumah itu, dengan segala kenangannya, dijadikannya sebagai rumah baca yang hangat dan menginspirasi.

Ketika itu berlangsung, ia merasa ayah dan ibunya hadir menyaksikan, mereka duduk dari tangga rumahnya dengan wajah penuh bahagia.

Buku-buku peninggalan ayahnya, seorang guru yang penuh dedikasi, menjadi koleksi awal yang berharga. Buku-buku itu di antaranya adalah Tebusan Darah karya Soeman HS dan Anak Bangsa karya Abel Tasman. Buku-buku lain dengan ratusan judul yang menjadi koleksi ayahnya itu bukan sekadar lembaran kertas; mereka adalah jendela ke dunia lain, tempat ia menemukan inspirasi untuk terus bersekolah hingga perguruan tinggi. Buku-buku yang dulu menemani malam-malamnya, menjadi bacaan pengantar tidur, kini dihadirkannya kembali untuk dinikmati generasi penerusnya.

Ia ingin mengajak anak-anak, saudara maranya di kampung, untuk menjelajahi keindahan buku dan alam yang memukau. Di tengah kehangatan sinar matahari, ia menciptakan ruang belajar yang menyenangkan: belajar sambil bermain, dan bermain sambil membaca. Anak-anak berkumpul di laman rumah, menggali, menemukan pesan-pesan berharga dari cerita-cerita dalam buku yang mereka baca.

Setelah itu, mereka turun ke sungai, mereka bermain di gundukan pasir merah yang timbul tenggelam di tengah sungai, seolah berpetualang dalam dunia mereka sendiri. Puisi-puisi dibacakan dengan penuh semangat di samping sampan yang berlabuh di bibir pasir merah, sementara air sungai mengelus lembut pinggir tepian-tepian yang tersadai.

Di tengah riuh gelombang, mereka menceburkan diri, menyelam, berselimut pasir dan lumpur, tertawa, bernyanyi riang dan merasakan kehangatan persahabatan sambil ditepuk ombak yang menghadang.

Saat senja hampir karam, suara mereka memekikkan puisi, menyatu dengan warna langit yang merona jingga. Dalam setiap bait puisi itu, terdapat doa, harapan dan cita-cita, seolah merangkul dan memeluk seluruh keindahan alam kampung halaman yang tak ternilai. Dengan cara ini, ia tidak hanya mengajarkan anak-anak membaca, tetapi juga mengajak mereka merasakan dan memahami makna sejati kehidupan dari sebuah cerita, sebuah kisah—yang terjalin dengan cinta, rindu, alam, kenangan, dan harapan. ***

Baca: Rihlah

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews