Riau  

LAMR Tidak Agendakan Pembahasan Permintaan Usir Kapolda Riau

Ketua Umum Majelis Kerapatan Adat LAMR Datuk Seri H. Al Azhar

LAMANRIAU.COM, PEKANBARU – Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) tidak mengagendakan rapat atau musyawarah membahas permintaan Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) Made Ali untuk mengusir Kapolda Riau dari Bumi Lancangkuning.

Sebelumnya, permintaan pengusiran Kapolda Irjen Pol Agung Setya Imam Effendi berhembus sehubungan dengan tindakan jajaran Polda Riau yang dianggap represif dalam menangani unjuk rasa berbagai komponen masyarakat dan mahasiswa pada hari Kamis 8 Oktober 2020 lalu.

Baca : LAM Riau dan Korem 031/Wirabima Sepakat Bersinergi

Ketua Umum Majelis Kerapatan Adat LAMR Datuk Seri H. Al Azhar dan Ketua Umum Dewan Pimpinan Harian LAMR Datuk Seri Syahril Abubakar dalam pernyataan bersama menjawab pertanyaan berbagai pihak atas sikap LAMR menanggapi permintaan Made Ali secara lisan maupun tulisan.

“Kami belum mengagendakan, dan rasanya tidak akan mengagendakan pembahasannya,” kata Al azhar.

Menurut Datu Seri, dalam mengambil keputusan, LAMR berpedoman pada alur yang patut dan layak. Permintaan Made Ali tersebut tidak sesuai dengan alur sebagai pertimbangan dasar mengambil keputusan adat, terlebih lagi keputusan yang bermuatan sanksi.

“Kapolda Riau itu pejabat negara, menjalankan tugas negara yang dibebankan kepadanya. Tidak pada alurnya, atau bukan kewenangan LAMR menjatuhkan sanksi kepada seseorang atas tindakannya dalam menjalankan tugas resmi negara,” tegas beliau.

Oleh karena itu, lanjutnya, apabila ada pihak yang menganggap seorang pejabat negara ketika melaksanakan tugasnya tidak sesuai prosedur atau menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di NKRI, seharusnya permintaan pemberian sanksi ditujukan kepada pihak berwenang sesuai hukum atau peraturan negara.

Sikap LAMR sendiri terhadap pengesahan UU Cipta Kerja (Omnibus Law) tersebut masih dirumuskan, karena sampai hari ini Minggu 11 Oktober 2020, LAMR belum memperoleh dokumen sahihnya untuk dipelajari secara mendalam.

“Yang jelas, LAMR tidak mau kepentingan masyarakat terabaikan, terutama menyangkut kedaulatan masyarakat adat, nasib pekerja dan pendidikan,” kata Datuk Seri Syahril Abubakar menambahkan.

Sementara yang berkaitan dengan kerusuhan yang terjadi dalam unjuk rasa berbagai komponen masyarakat di Provinsi Riau yang menolak pengesahan UU Cipta Kerja pada hari Kamis tanggal 8 Oktober 2020, Datuk Seri H. Al azhar dan Datuk Seri Syahril Abubakar sama-sama menyatakan keprihatinan yang mendalam.

Menurut keduanya, pro-kontra terhadap pengesahan UU Cipta Kerja tersebut sangat dipahami. Unjuk rasa sebagai ekspresi pro maupun kontra itupun sah serta sudah menjadi instrument perjuangan di alam demokrasi.

Namun, keduanya sepakat, unjuk rasa tak perlu anarkhis, sebab anarkhis akan selalu berhadapan dengan kontra-anarkhi. Kalau sudah begitu, substansi yang diperjuangkan melalui unjuk rasa itu pun dengan mudah bergeser ke hal-hal lain, di samping mencederai adab dan adat Melayu yang menjadi teras budaya negeri ini.

“Kita sepakat, Riau ini negeri Melayu. Ke-Melayu-an sejati negeri ini ditunjukkan oleh keseharian kita sebagai warga negeri ini, baik ketika kita bersendiri, ketika bersama keluarga, maupun ketika kita berada di ruang umum,” pungkas Al Azhar. (rls)

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *