Cerpen Atta Verin: Tidur Beralas Daun Rambutan

DI depan rumah kami terdapat sebatang pohon rambutan yang tumbuh tinggi menjulang. Daun-daun dan buahnya lebat. Ibu berencana memagari pohon rambutan itu dengan pagar besi tempa yang ujungnya bisa digantungi tanaman anggrek koleksi bapak.

Pohon rambutan kami, eh, pohon rambutan milik ibu itu konon dari jenis terbaik karena buahnya paling manis dan besar-besar dibandingkan dengan semua pohon rambutan di kompleks perumahan kami. Bapak bilang, ”Ini rambutan istimewa. Yang masih hijau saja sudah manis. Tahu enggak, kenapa, Ra? Karena sejak pohonnya masih kecil, Bapak selalu bersiul di sekitarnya sambil membersihkan daun-daun keringnya.”

Tetapi, pernyataan bapak itu dibantah ibuku yang berkeras bahwa yang paling berjasa adalah kebiasaan ibu menyiramkan air cucian beras ke pokoknya setiap hari. Sementara bagiku, pohon rambutan itu istimewa karena ia satu-satunya yang tersisa dari tiga pohon yang kusayangi di depan rumah kami. Sebelumnya, selain pohon rambutan ada satu pohon kersen yang batang rimbunnya menempel jendela kamarku serta pohon karet hias yang daunnya berkilat.

Suatu hari ibu memutuskan untuk membunuh pohon kersen kesayanganku itu demi membangun sebuah bak sampah. Ya, bak sampah tepat menghias pemandangan di depan jendela kamarku. Menurut ibu, biar ”pantas” dan mirip dengan rumah lainnya di kompleks kami yang ada bak sampahnya di depan rumah sebelah kiri. Aku lalu mengusulkan pindah kamar ke sisi kanan rumah agar jendela kamarku tidak menghadap bak sampah. Tapi menurut ibu, pendapatku itu aneh.

”Sisi kanan rumah itu pantasnya untuk ruang tamu!” tegasnya.

Aku lalu pasrah saja tidur di kamar yang jendelanya menghadap ke arah bak sampah. Tapi aku tidak bisa diam saja melihat pohon kersenku dibunuh ibu. Maka, pada saat ibu harus pergi agak lama ke luar kota untuk mengunjungi adik perempuannya, aku nekat kembali menanam pohon kersen baru tepat menempel di bak sampah kesayangan ibu. Kali ini kupagari pohon itu, lalu kutambahi tulisan ”Karang Taruna RT 05”. Itu akan menjadi pembenaran keberadaan pohon itu dan ibu tidak akan mampu melawan tulisan itu. Baginya, tetangga, pemerintah setempat, dan semua instansi pendukungnya adalah manusia dengan kasta lebih tinggi dari kami.

Ketika ibu pulang dan melihat keberadaan pohon kersen berpagar itu, bapak setengah mati menahan tawa melihat mimik muka tak berdaya ibu. Tetapi, sekuat-kuatnya bapak menahan tawa, ibu sempat melihatnya. Beberapa hari kemudian, ibu menebang pohon karet hias kesayangan bapak sebagai pembalasan.

”Tetangga-tetangga pada protes. Karet itu akarnya jahat merusak fondasi. Nanti merusak aspal jalan juga!” Ibu beralasan ketika bapak gusar melihat pohon karetnya hilang diganti pohon lain yang masih kecil.

”Itu apa? Apa nggak merusak fondasi?” bapak masygul.

”Itu sirsak!” sahut ibu.

Dalam sebuah acara kumpul-kumpul RW, seorang gadis pramuniaga yang kecantikannya memancarkan keningratan –menurut ibu– memberitahukan manfaat dahsyat daun sirsak sebagai pengobatan alternatif.

”Lho, bukannya aku sudah ceritakan itu ke kamu sebelum Lebaran dulu itu! Itu yang aku baca di majalah. Tapi kamu enggak percaya!” sergah bapak.

Kalau bapak sudah mengganti panggilan ”ibu” jadi ”kamu” dan ”bapak” jadi ”aku”, itu berarti beliau memang sudah sangat kesal. Aku memahaminya. Bukan kali pertama bapak menganjurkan sesuatu kepada ibu dan hanya dianggap fiksi. Tetapi, jika kemudian anjuran yang sama muncul dari mulut orang lain, ibu lalu mengubah pendapatnya. Selalu seperti itu.

”Dari majalah, kan, kayaknya bohongan,” tukas ibu waktu itu.

Bapak hanya bisa bergumam –tidak berani meninggikan suaranya, ”Ya, enggak terpikir apa, kalau mbak-mbak SPG itu barangkali bisa ngomong begitu karena baca majalah yang sama seperti yang aku baca?”

Untung saja, ibu tidak mendengar gerundelan bapak itu. Jika ibu mendengarnya, bisa kupastikan rumah akan menjadi sangat ramai dan riuh sampai berhari-hari membahas persoalan itu.

Meskipun bapak kesal dengan alasan ibu membuang pohon karetnya dan menggantinya dengan pohon sirsak, lelaki pencinta segala tanaman itu tetap mengurusi si pohon sirsak hingga besar dan berbuah. Trio pohon kersen, rambutan, dan sirsak itu bertahan hidup hingga sehari sebelum pesta pernikahanku.

Hari itu bapak mengurung diri di kamarnya dan sepertinya sangat kesal karena ia memutar kaset Berlian Hutauruk dengan volume amat nyaring. Tante Darni, adik bapak yang sering tinggal bersama kami, menceritakan kepadaku betapa kecewa dan marahnya bapak melihat anggrek-anggrek kesayangannya digantungi di pagar besi dan tiang-tiang tenda pesta pernikahanku. Itu ulah ibu. Tak hanya itu. Pohon kersenku hilang. Sementara pohon sirsak sudah dipangkas setengahnya. Semuanya demi dekorasi pernikahan yang ibu inginkan.

”Kenapa tidak digeser ke timur saja tiang tendanya, sih? Biar enggak usah menebang pohon kersen!” kata bapak sambil bersungut-sungut saat malam harinya menemaniku makan.

Andai bapak tahu bahwa kekecewaanku melebihi kekecewaannya. Pohon kersen itu telah menjadi sahabat setiaku; tempatku menyembunyikan tangis dan kemarahan. Aku bahkan menipu ibu hanya demi mempertahankan nyawa pohon itu. Tetapi wajah kusut bapak membuatku terdiam. Apa jadinya jika kuutarakan kekecewaanku itu di depan bapak? Dan apa jadinya pesta pernikahanku…

Subuh di hari pernikahanku, bapak berhasil memindahkan beberapa pohon anggreknya dari tiang-tiang tenda ke pohon rambutan. Sementara itu, ibu merasa senang karena bapak tidak meributkan soal pohon kersen yang ditebang dan pohon sirsak yang dipangkas. Aku senang dengan skor satu sama itu mereka tidak membuat drama di pesta pernikahanku.

Namun, suatu hari di musim kampanye partai politik, orang-orang yang tidak bertanggung jawab menancapkan paku-paku di pohon sirsak kami –yang waktu itu sudah kembali tinggi menjulang setelah dipangkas ibu pada hari pernikahanku. Paku-paku itu digunakan untuk menahan tali spanduk kampanye yang mereka pasang melintang di depan rumah kami.

Bapak yang sangat tidak suka partai politik yang berkampanye dengan menyiksa pohon-pohon di jalanan memotong dahan besar pohon sirsak yang ada paku dan tali spanduk kampanye itu pada malam hari saat tak ada orang berlalu-lalang. Keesokan paginya ibu berteriak-teriak marah kepada bapak. Menurut ibu, apa yang bapak lakukan itu sama saja dengan mencari masalah di kompleks perumahan kami.

”Itu sama saja dengan terang-terangan memusuhi tetangga kita, Pak!” jerit ibu dari dapur.

Bapak berkeras beralasan orang-orang parpol itu, tetangga atau bukan, sudah bersikap tidak sopan dengan tidak meminta izin si empunya pohon sebelum menancapkan paku dan memasang spanduk.

”Memangnya Bapak akan mengizinkan kalau mereka minta izin?” ibu nyinyir.

”Ya, enggak, lah!” sahut bapak tegas.

”Nah, kan? Mereka sudah tahu tidak akan Bapak izinkan, jadi buat apa minta izin?” balas ibu.

Bapak tercengang mendengar jawaban ibu itu. Semangat bertengkar mereka menyala sudah. Seandainya saja tidak ada partai politik yang memasang paku di pohon sirsak kami.

***

Suatu hari kantorku memberi pinjaman mobil sebagai kendaraan dinasku. Ibu yang seumur hidupnya mendambakan mesin beroda empat itu kami miliki hanya agar ”tidak dipandang sebelah mata” oleh keluarga besar dan teman-temannya merasa mimpinya terwujud. Wujud syukur ibuku adalah membangun carport di depan rumah untuk tempatku memarkirkan mobilku saat aku mengunjungi mereka. Padahal, aku tidak pernah memintanya.

Untuk membuat carport, ibu menebang pohon sirsak sampai membuang akarnya. Aku yang dikabari bapak lewat ponsel tentang keputusan ibu itu jadi penasaran.

”Ibu minta izin dulu ke Bapak sebelum menebang pohon sirsak?”

”Ya, minta izinnya teriak ’Pak, pohonnya ditebang, ya!’ sambil ibumu berjongkok di depan Mang Sakur yang sedang mencukil-cukil akar pohonnya pakai linggis!”

Aku tertawa. ”Ya, tapi minta izin juga itu namanya!”

”Ya, minta izin setelah tinggal akarnya doang!”

Aku tidak sanggup menimpali pesan terakhir bapak waktu itu. Bisa kubayangkan dengan jelas bagaimana ibu meminta izin seperti yang bapak gambarkan. Tanpa pohon kersen dan pohon sirsak, pohon rambutan jadi satu-satunya pohon yang tersisa di depan rumah.

Pohon rambutan kami memang benar-benar istimewa. Dia sangat sering berbuah lebat, bahkan sebelum musimnya. Selain itu, buahnya sangat manis. Ibu amat bangga pada pohon rambutannya itu. Semua tetangga kami satu RT sudah pernah mencicipi buahnya. Bahkan, orang-orang yang lewat di depan rumah dan tertarik melihat lebat buahnya pasti akan ditawari ibu untuk mencicipi. Semua orang bisa mendapatkan buah rambutan di pohon itu dengan cuma-cuma. Ibuku yang murah hati dengan pohon rambutannya terkenal di seantero kompleks. Hingga sampailah di pengujung Mei, dua hari sebelum ulang tahun ibu.

Waktu itu hujan turun deras sekali. Kalau bukan karena perubahan iklim, hujan lebat seperti itu di pengujung Mei akan jadi pertanyaan besar dan memicu perdebatan. Tetapi, kenyataannya hujan deras ditingkahi petir itu datang begitu saja. Beberapa orang bapak-bapak yang paling berpengaruh di wilayah rumah ibu membicarakan pohon rambutan kami yang menjulang tinggi dengan sangat serius. Mereka mengkhawatirkan cabang-cabang tingginya yang menjerat kabel listrik di tengah kerimbunannya.

Bapak lalu berencana meminta ibu memanggil Mang Sakur untuk memangkas setengah tinggi pohon rambutan demi keselamatan bersama. Waktu yang dipilih bapak untuk membahas masalah itu adalah saat makan malam dengan lauk sate ayam kesukaan ibu. Setiap kali bapak tidak pulang karena kemalaman dan menginap di rumah kawannya, pasti keesokan harinya bapak membawa oleh-oleh sate ayam kesukaan ibu.

Belum selesai kalimat bapak untuk meminta pohon rambutan dipangkas, ibu sudah menukas tegas, ”Tidak akan! Tak ada yang boleh menebang pohon rambutanku! Itu buah rambutan mudanya sedang banyak-banyaknya!” Ketus sekali suara ibu.

Ibu pasti kesal karena malam sebelumnya bapak tidak pulang walaupun bapak sudah minta maaf dan beralasan hujan lebat dan kemalaman. Seperti biasa, bapak terdiam dan memilih mengunci diri di kamarnya sampai tengah malam.

Keesokan paginya aku mendengar ibu menangis nyaring di dalam kamarnya. Dengan panik kubuka pintu kamar ibu. Kulihat ibu duduk di tepi ranjang, masih berdaster batik, dengan kedua tangan memegangi ranting-ranting pohon rambutan yang dipenuhi daun-daun hijau dan bebuahan rambutan muda. Tidak hanya itu, dedaunan dan reranting rambutan itu memenuhi ranjang dan bantalnya, seolah-olah semalaman ibu tidur beralas dedaunan pohon rambutan itu.

Aku memeluk ibu dan membiarkannya menangis di dadaku. Saat itulah aku melihat secarik kartu ucapan merah jambu dan kotak mungil di tengah tumpukan daun-daun rambutan itu. Kuambil kartu dan kado itu, lalu kuserahkan kepada ibu.

Ibu membuka kartu itu. Aku ikut membaca tulisan di dalamnya: ”Selamat ulang tahun, istriku. Kutebang pohon rambutan itu semalam karena aku mencintaimu. Aku tidak mau kamu mati kesetrum. Dengan sepenuh cinta. Suamimu.”

Kotak kado mungil merah jambu itu ketika ibu buka berisi sebuah bros kecil berbentuk daun berwarna emas. ***

*) Cerpen ini telah ditayangkan di Jawapos.com edisi 30 Oktober 2022

————-

ATTA VERIN, Menulis cerpen, novel, dan puisi. Pernah bekerja sebagai jurnalis di Bandung. Kini ia menulis setiap hari di Desa Ponggok, Klaten, Jawa Tengah.

Baca: Mail Mau Bunuh Diri

*** Laman Cerpen terbit setiap hari Minggu dan menghadirkan tulisan-tulisan menarik bersama penulis muda hingga profesional. Silakan mengirim cerpen pribadi, serta terjemahan dengan menuliskan sumbernya ke email: [email protected]. Semua karya yang dikirim merupakan tanggungjawab penuh penulis, bukan dari hasil plagiat,- [redaksi]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews