Kementerian Maha Kebahagiaan

krisis Kesusasteraan

KEMENTERIAN Maha Kebahagiaan (The Ministry of Utmost Happiness, KPG, Mei 2019, ISBN 978-602-481-033-7; dari edisi asli 2017) adalah novel terbaru karya pengarang wanita India, yang juga seorang aktivis, Arundhati Roy (AR). Novel perdananya, Yang Maha Kecil (The God of Small Things¸Yayasan Obor Indonesia, 2002; edisi asli 1997) meraih penghargaan Man Booker Prize for Fiction 1998. AR lahir di Shillong, Meghalaya, India. Ibunya berasal dari Kerala, sedang ayahnya dari Bengal. Ia dibesarkan di Aymanam, Kerala, dan kemudian ke Delhi saat usia 16. Di Delhi ia tinggal di sebuah gubuk kecil beratap seng, dan menjual botol bekas untuk menunjang hidupnya. Ia kemudian mempelajari arsitektur di Sekolah Arsitektur Delhi. (Wikipedia)

Dalam britannica.com juga dijelaskan bahwa AR, atau yang bernama lengkap Suzanna Arundhati Roy, selain seorang aktivis yang bergerak dalam masalah lingkungan dan HAM, juga adalah seorang aktris dan penulis naskah film. Pada 1995 ia menulis dua artikel dalam suratkabar yang menuduh bahwa film Bandit Queen garapan Shekhar Kapur telah mengeksploitasi Phoolan Devi, salah satu penjahat paling dicari di India pada awal 1980-an dan [namun] pahlawan bagi yang tertindas. Tulisan-tulisannya itu menimbulkan kehebohan, hingga menjadi kasus peradilan; yang menyebabkan AR akhirnya mundur dari publik dan berkonsentrasi menulis novel pertamanya itu.

Ketika membaca novel Kementerian Maha Kebahagiaan (KMB) ini, minda sempat tersangkut pada Rumah Arwah (The House of the Spirit, aslinya La Casa de los Espiritus). Keduanya terasa lembut, dan sublim. Barangkali karena sama-sama lahir dari pengarang perempuan. Perbedaannya, karya Isabelle Allende dalam Rumah Arwah (Gramedia, 2010; novel aslinya pertama kalinya dipublikasikan 1982) terasa begitu lembut, bagaikan sedang membelai seekor kucing anggora long hair, dalam balutan realisme-magis. Sementara KMB pula serasa lebih sedikit garang [bahkan kekadang terasa seperti menonton film garapan Oliver Stone atau John Woo] umpamakan cakaran sayang kucing itu, dalam balutan realisme yang kekadang dihiasi rumbai-rumbai surealisme.

Sebenarnya ada dua kisah terpisah yang dirangkai AR dalam novel ini, yang kemudian menjalin menjadi satu di bagian akhir cerita. Yaitu bermula dari kisah seorang bernama Anjum, dan kisah tentang negeri Kashmir di mana empat orang tokoh terlibat di dalamnya. Namun, sebagaimana Yang Maha Kecil, dalam KMB ini sesungguhnya ada banyak sekali tokoh/karakter, atau sekurang-kurangnya nama, yang berseliweran di dalam jalinan cerita yang banyak bercabang dan beranting. Ini nampaknya menunjukkan semacam karakter atau tradisi orang India umumnya pada diri AR yang selalu penuh dengan tali-temali lingkungan keluarga dan perkerabatan, atau juga sisi lainnya sebagai aktivis yang sudah barang tentu banyak mengenal orang dalam lingkungan pergerakannya.

Dan sebetulnya ada begitu banyak kesedihan dan duka nestapa di dalam novelnya ini, tetapi entah kenapa AR membuatnya serasa seperti sudah lumrah, biasa, begitulah yang acap terjadi, sadness is usual, bahkan mudah. Ini barangkali tanpa disadari terbawa dari sikap hidupnya sebagai seorang aktivis yang mungkin sudah “terlalu sering” menghadapi hal-hal yang demikian sehingga membuatnya sedikit barangkali menjadi terasa sekadar kebas. Berbeda dengan novelnya yang sebelumnya, Yang Maha Kecil, di dalam novel semibiografi itu kepedihan, tragedi terasa lebih intens dan magis; meskipun tetap dalam balutan kejenakaan yang cerdas sekaligus nyelekit. Rentang waktu 20 tahun barangkali sedikit telah menggeser makna tragedi dalam hidup Andhati ….

Anjum adalah seorang hijra, atau kita di sini pada suatu masa dalam berbagai variasi pernah tenar dengan sebutan bencong, wadam (wanita-adam), waria (wanita-pria), jantina (jantan-betina), banci, kedi. Seorang pria yang mengalami masalah identitas gender oleh sebab tertentu. [Uniknya untuk wanita yang mengalami hal demikian kita nampaknya hanya memiliki satu istilah, yaitu “tomboi”; itu pun hasil mengutip dari Inggris tomboy. Ini barangkali bisa jadi kajian yang menarik dalam linguistik, terutama bila dikaitkan dengan perilaku/karakter suatu komunitas]. Dengan mengangkat karakter tokoh yang demikian, maka KMB barangkali akan tergolong sebagai novel [modern] dengan [sebagian] tema yang langka. Ini jelas satu nilai keunikan tersendiri bagi KMB, sekaligus keberanian bagi AR. Disebut “keberanian” karena mengangkat karakter seorang hijra sebagai tokoh utama dalam cerita, sepertinya ada kesan keengganan tertentu pada pengarang lainnya [sebagaimana yang juga tergambar dalam penyikapan masyarakat umum, dan juga di dalam novel ini]. Penulis sendiri (sas) rasanya memang belum pernah menemukan yang seperti ini di dalam novel lainnya; kalau sebagai karakter pendamping mungkin ada, tetapi sebagai karakter utama rasanya belum pernah. Kalau di dalam film Indonesia, kita mungkin ada mengenal beberapa. Seperti di antaranya Kucumbu Tubuh Indahku (Garin Nugroho, 2018), dan Lovely Man (Teddy Soeriaatmadja, 2012) yang mengantarkan Donny Damara sebagai aktor meraih berbagai penghargaan nasional dan internasional.

Anjum, yang memiliki nama lahir Aftab, bahkan diceriterakan sejak hari kelahirannya, hingga penghujung usianya – jadi pada bagian ini KMB nyaris beralih menjadi sebuah roman (dalam kategori klasik). Namun justru pada “bagian” inilah kepiawaian AR dalam meramu sastrawi yang lembut dan sublim, sekaligus kejenakaan yang nakal, terasa lebih menonjol. Ini barangkali berkebetulan tepat dengan tema dan karakter yang diangkat dalam ceritanya ini.

Anjum sendiri sesungguhnya memang bukan seorang lelaki “murni”; dia bahkan adalah seorang yang mengidap ambigus genitalia, berkelamin ganda – suatu kondisi biologis [dan seringkali juga disertai psikis] yang tergolong sangat langka. Tetapi tentu bukan hermaprodit (karena kalau hermaprodit bermakna dia dapat membuahi dirinya sendiri). Ibunya telah menandai itu sejak saat kelahirannya, yang kemudian menjadi penderitaannya seumur hidup. Walaupun bagian kelamin wanita (“onderdil-upik”, KMB: 7) Anjum tidak tumbuh sempurna, perempuan mana yang tidak runtuh meski untuk ketidaksempurnaan sejari kelingking pun? Maka sepanjang hidupnya itu Jahanara Begum kukuh menyimpan rahasia itu bahkan dari suaminya sekalipun – dan berusaha sendiri “menormalkan” Anjum dengan berbagai cara. Ke dukun, ke dokter, ke orang pintar, ke rohaniawan; berbagai cara. Tetapi kelindan kehidupan tak pernah mudah.

Anjum remaja kemudian kabur dari rumah, dan menetap di khwabgah, semacam suaka yang dibangun khusus oleh dan bagi kaum hijra. Di sana Anjum belajar “menjadi” hijra, hingga menjadi yang paling populer di Delhi. Untuk menunjang kehidupan, mereka melakukan berbagai hal yang “akrab” dalam dunia mereka. Pada umumnya berkaitan dengan kegiatan berkesenian seperti menari dan menyanyi; mulai dari pinggir jalan, tempat-tempat hiburan, hingga ke “konser”, serta satu-dua kegiatan di sisi gelap wilayah hiburan privat. “Tahu kenapa Tuhan menciptakan hijra?” tanya Nimmo, salah seorang hijra tercantik di khwabgah itu. “Buat eksperimen. Dia putuskan menciptakan sesuatu, makhluk hidup yang nggak bisa bahagia. Diciptakanlah kita.” (KMB: 26).

Namun kehidupan para hijra itu di dalam khwabgah itu bukan hanya melulu itu saja. Mereka juga tetap mempelajari kehidupan sebagaimana manusia normal lainnya, juga dalam bidang keagamaan, yang dibimbing oleh Ustad Kulsoom Bi, yang memiliki pendirian bahwa hijra adalah kaum terpilih, yang dikasihi oleh Yang Mahakuasa, yang memiliki arti Tubuh yang ditinggali Jiwa Suci (KMB: 31). Bagi mereka, dunia nyata di luar sana, dunia orang-orang normal, adalah sebuah duniya. Sebuah dunia yang lain.

Setelah tiga puluh tahun lebih, Anjum kemudian meninggalkan khwabgah dan dalam keadaan setengah linglung ia kemudian memutuskan diri untuk menetap di sebuah pekuburan. Di mana ia “hidup di kuburan seperti pohon. Saat fajar menyingsing, dia melihat burung-burung gagak pergi dan menyambut kelelawar-kelelawar pulang. Saat senja, dia melakukan sebaliknya. Di antara peralihan-peralihan, dia bercakap-cakap dengan hantu burung-burung bangkai yang membayang di dahan-dahan yang tinggi ….” (KMB: 1). Di pekuburan inilah kelak ia membangun “kementerian maha kebahagiaan”-nya sendiri, di mana segala kisah dalam novel ini akhirnya berkumpul jadi satu.

“Bagian kedua” novel ini berkisah tentang negeri Kashmir, negeri yang “terbelah” antara Pakistan dan India, serta dirinya sendiri. Tentang pemberontakan, perjuangan, spionase, pengkhianatan, perebutan kekuasaan, intrik para elite, pencarian identitas, dan agama; di antara keindahan lembah dan ngarai yang begitu dalam dan gunung-gemunung yang begitu tinggi serta celah-celah bukit yang begitu sempit. Ada empat tokoh utama yang berkelindan dalam bagian kisah ini, yang kesemuanya saling berteman akrab semasa kuliah dulu, namun kemudian menempuh jalan hidup masing-masing yang bahkan saling berseberangan dalam satu dan lain cara. Juga ada kisah romantika. Mereka adalah Tilo, Musa, Naga, dan Biplap alias Garson Hobart.

Tilo adalah seorang gadis yang digambarkan [seperti] tidak punya masa lalu, keluarga, komunitas, kaum, atau bahkan rumah (KMB: 188); meski kemudian diceriterakan ibunya berasal dari Syiria. Gambaran ini sepertinya dekat dengan pengarangnya sendiri, sehingga kita boleh menduga tokoh Tilo ini adalah AR sendiri yang menjelma di dalam novelnya (seperti juga dalam Yang Maha Kecil). Tilo – meski tidak tampak tegas, barangkali karena sifatnya yang digambarkan cenderung introvert karena persoalan latar-belakangnya – nampaknya jatuh hati pada Musa Yeswi, orang Kashmir yang juga pendiam, sekaligus memiliki kelembutan dan ketenangan (KMB: 189).

Sementara Naga sendiri bisa dibilang serba berkebalikan dari Musa. Gambaran mudahnya, dia adalah seorang selebriti, yang berasal dari keluarga diplomat terpandang. Dia menaruh hati pada Tilo, yang tampaknya cukup mendapat tanggapan dari Tilo. Sedang Biplap nampaknya tergambar sebagai seorang India yang cenderung konservatif namun masih menjunjung tinggi nilai persahabatan, yang juga menaruh hati pada Tilo namun gadis itu mengabaikannya. Selesai kuliah, mereka menempuh jalan hidup masing-masing, nyaris tanpa komunikasi yang intens lagi. Hanya Naga dan Biplap yang masih cukup sering berhubungan.

Sampailah suatu masa ketika Biplap menjadi seorang petinggi aparat keamanan, Naga jurnalis tersohor, Musa menjadi pejuang (bagi Kashmir) atau teroris (bagi India), dan Tilo sendiri yang masih terombang-ambing dengan dirinya. Dalam posisi seperti itu, mereka semua dipertemukan kembali dengan tertangkapnya Tilo oleh pihak intelijen India dengan tuduhan sebagai mata-mata. Kenangan dan persahabatan lama pun kembali berkelindan, dalam kusut-kabut Kashmir sebagai negeri yang diperebutkan, sekaligus gamang akan identitas diri. Persoalan pertelagahan antar-agama (lebih tepatnya antara umat yang merasa beragama Hindu dan Islam, serta antara sesama penganut Islam sendiri di Kashmir dan India). Karena dirilis pertama kali tahun 2017, novel ini jelas dapat bisa kita gunakan sebagai lukisan terbaru dalam membaca dan memandang fenomena yang terjadi di India serta Kashmir masa kini. Gejolak-gejolak sosial, persoalan India-Pakistan-Kasmir-[dan juga dengan Tiongkok], persoalan Hindu-Islam yang belakangan nampaknya berkembang dengan komunitas Islam pada posisi yang kian dipojokkan, persoalan kepadatan penduduk/populasi, kemiskinan, dst.

Di lain pihak, nampaknya dengan hanya mengubah latar tempat dan nama-nama, melalui novel ini kita bisa juga membaca Indonesia hari ini. Bagaimana kiat-kelindan pertelagahan perebutan kekuasaan di kalangan elit, kong-kalikong dunia jurnalisme dan penguasa [serta pengusaha], penyusupan komunisme, persoalan separatisme, terorisme, persoalan umat ulama dan agama Islam; nampaknya memiliki semacam paralelisme di mana kita bisa bercermin untuk menjadi lebih paham dan bestari. Terbitnya novel ini dalam bahasa Indonesia setahunan yang lalu, kiranya memiliki momentum yang juga tepat bagi negeri ini. Quid rides? Mutato nomine, de te fabula narratur. ***

Baca : Meriau-riaukan Riau [dalam Puisi] (1)

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *