Marhaban!?

Seroja

IHWAL sesuatu hal penting yang terlalu sering dilupakan ummat manusia. Walaupun istilah ummat dan manusia terdapat kemiripan, namun pasti berbeda minimal dalam pengucapan. Ihwal ummat ini pula  yang selalu dipertanyakan atau pun menjadi pertanyaan adalah ummat yang satu atau manusia yang satu? Apakah manusia yang satu adalah juga ummat yang satu? Atau dengan penyebutan yang berbeda menjadi “Ummatan Wahidah”?

Sekali lagi ihwal kitab itu yang dilupa, melupa atau terlupa oleh yang si empunya. Manusia yang melupakan jika kitab itu adalah sebagai pedoman petunjuk yang membedakan antara yang baik dan buruk. Kitab itu adalah kitab untuk ummat manusia, walaupun manusia yang lain beranggapan sebaliknya. Kitab itu untuk kemaslahatan manusia sebagai makhluq dan makhluq lainnya di dunia ini. Esensinya kitab itu sebagai pedoman petunjuk untuk keselamatan alam (Rahmatan Lil Alamin).

Kitab itu telah mengkategori karakter manusia dengan istilah beriman, kafir dan munafik. Manusia beriman bersandar enam karekternya yakni percaya pada tuhan, malaikat, kitab, rasul, hari akhir, dan taqdir baik buruk. Semua karekter ini menyatu dengan lima karekter lainnya yang bersandar pada, pengakuan (bersyahadah) tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Rasul Allah (“Asy-hadu allaa ilaaha illallaahu wa asy-hadu anna muhammadarrasuulullahi”).

Titik tolaknya tertumpu pada rukun Islam yang pertama bahwa “manusia beriman” wajib mayakini jika “tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Rasul Allah. Muhammad sebagai nabi-rasul terakhir di akhir zaman. Esensinya orang beriman muslim wajib meyakini tidak ada “nabi terakhir” selain Muhammad juga “imam yang lain” selain Muhammad saw.

Pada hubungan kekinian di akhir zaman yang selalu dipersoalkan dus dipersengketakan dalam interaksi sosiologis (hubungan kemasyarakatan) adalah penggunaan istilah (kata) kafir. Boleh jadi hanya persoalan cara berkomunikasi (menyampaikan) kata kafir seolah-olah berubah menjadi menakutkan. Sebutan intoleran, radikal dan lainnya yang bertendensi negatif boleh jadi titik soalnya pada cara penyampainnya saja.

Sejauh ini dapat dipahami yang jarang disampaikan oleh segolongan juru dakwah (para ustadz penceramah) adalah bahwa kata kafir sesungguhnya bagian dari kemuliaan kitab itu kepada manusia lainnya. Kafir adalah konstanta yang tidak konstan melainkan terus-menerus bergerak (transformatif). Artinya kafir adalah karakter temporer yang masih akan terus terjadi perubahan untuk menjadi manusia beriman. Begitu pun manusia beriman sangat berpotensi untuk menjadi kafir kembali (murtad). Bahkan istilah munafiq juga disematkan kepada manusia yang beriman.

Lebih esensi kafir dalam konteks ini adalah manusia yang tidak (belum) meyakini bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai rasul Allah yang terakhir. Sesuatu yang tidak dapat diingkari adalah bahwa manusia kafir, bukan berarti “tidak beriman”. Manusia kafir, bukan tidak mengkui adanya tuhan, malaikat, kitab, hari akhir, dan takdir baik buruk. Manusia kafir, esensinya enggan mengkui bahwa “tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul Allah yang terakhir.

Manusia kafir bukan tidak bersembahyang, bukan tidak berpuasa, bukan tidak berinfaq, dan bukan tidak berkunjung ke kabah, walaupun bukan tidaknya, tidak sama dengan sesuai yang terdapat dalam kitab itu.

Yang justru berbahaya adalah manusia yang berkarakter munafiq. Kitab itu banyak memberikan perhatian dan himbauan kewaspadaan terhadap manusia (kaum) munafiqun. Sikap yang suka menusuk dari belakang. Pepatah lama mengatakan, “telunjuk lurus, kelingking berkait.” Menggunting dalam lipatan. Menusuk dari belakang. Menjungkal kawan seiring. Berwajah dua, dan lain-lainnya.

Kitab itu mengingatkan berbahayanya permufakatan jahat (makar, kolaborasi jahat) antara manusia kafir dengan kaum munafiq. Kolaborasi jahat dapat memanipulasi isi ayat-ayat yang dapat menggoyahkan manusia beriman untuk turut serta mengikuti lakon laku mereka. Yang sangat dibenci Allah adalah perbuatan mensyarikatkan (mendua, mentiga, memperbanyak atau bahkan meniadakan) keberadaan tuhan (Allah swt). Kolaborasi ini dalam teori komunikasi menyebutkan bahwa manipulasi (berbohong) khusus dalam penyampaiaan informasi tentang keesaan tuhan. Dusta adalah karakter (lakon laku) utamanya.

Kitab itu secara kronologis, terstruktur dan sistematis menjawab dengan pasti tujuan diciptakannya ummat manusia. Tujuan utama adalah untuk mengabdi kepada Allah. Tidak diciptakan Jin dan Manusia kecuali untuk mengabdi kepada Allah. Cara pengabdian diatur dengan beribadah dan beramal.

Kitab itu meletakan titik tolak kunci tujuan keberadaan manusia di bumi (alam dunia) yang fana ini dengan jelas. Secara kalkulasi matematis dapat dapastikan keberadaan umur manusia di dunia ini. Lama hidup manusia akhir zaman di antara enam puluh sampai tujuh puluh tahun saja. Formulasinya sangat sederhana. Umur terpendek manusia (misal yang lahir langsung mati) ditambah umur manusia tertua dibagi dua. Anggap (umpama) saja umur tertua 130-an  tahun. Artinya, 130 dibagi dua ditambah umur terpendek. Jadi umur manusia sekitar 175-an ditambah satu detik, menit, jam atau hari. Jikalau umur terpanjang, misalnya 120 tahun. Silakan hitungan dilanjutkan sendiri.

Bersagang pada kitab ummat manusia itu yang selalu dilupakan, utamanya ihwal karakter manusia serta tujuan hidupnya, maka manusia perlu merenunginya sebagai iktibar pada bulan-bulan yang sangat dinanti kehadirannya. Kitab itu menjelaskan bahwa bulan yang dinanti-nantikan tak berapa lama lagi hadir. Pada bulan itu ada “malam kemuliaan” di mana pada malam itu lebih baik dari seribu bulan. Kebaikan malam itulah, kitab itu menyebutkan dengan istilah Lailatur Qadar. Bulan yang penuh kemuliaan. Manusia beriman akan meluangkan waktu khusus untuk selalu bermunajah.

Sebagai upaya yang tidak hanya Menjengah, tetapi juga Menjenguk, ada baiknya teristimewa kepada “manusia (kaum) munafiqun” untuk bersegera memperbaiki karakternya dengan bertaubah. Bagi orang-orang kafir untuk belajar secara perlahan, tapi pasti kepada kitab itu. Pun tak terkecuali “kaum munafiqun” untuk berubah lakon laku, agar tidak lagi saling menjelek dan menghujat antar sesama “orang-orang yang berimana”. Lebih baik berubah sebelum terlambat. Sesal dahalu pendapatan sesal kemudian tiada guna.

Kitab itu mengingatkan kepada ummat manusia bahwa tujuan hidup adalah untuk beribadah dan beramal. Setelah itu, pesan kitab itu “setiap yang bernyawa pasti akan mati”. Kata pasti menyesuaikan kalkulasi umur manusia yang hanya 60 sampai atau 70-an. Kitab itu mengabarkan “Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun”.

Kitab itu mengilustrasikan ungkapan keberadaan manusia seperti, “Dari Lubang Kembali ke Lubang”. Lubang sesungguhnya mendeskripsikan tempat asal di mana (jasad) ke luar. Lubang (kubur) untuk dikebumikan (pulang ke bumi). Proses ini mengkonstruksikan kedinamikaan kontinuitas eksistensi manusia yang dimulai dari bayi, dewasa dan kembali tua.

Sementara dalam konteks pemanusiaan (berpikir) pulang sesungguhnya sebuah konstruksi kontinuitas cara berpikir yang dimulai dari tidak tahu (kanak) menjadi tahu (dewasa/baligh), dan renta (pikun/kembali ke kanak).

Begitulah manusia pulang dalam konstruksi pikir (proses dalam Jengah dan Jenguk).

           Marhaban.

           Marhaban.

           Marhaban ya Ramadhan. ***

Baca : Nasi Goreng “Teloris”

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *