Nasi Goreng “Teloris”

Seroja

NGAH Long dan Long Usu, abang adik yang selalu tak sependanpat juga tak sependapatan, tetiba saja rukun. Entah apa penyebabnya. Yang jelas kedua beradiik saat ini akur-akur saja. Altar kebersamaan, kesejalanan dan kesepahaman yang jarang ini diinspirasi oleh keberhasilan keduanya membuka kedai makan kecil-kecilan (kaum milenial menyebutnya, Kafe Minimalis).

Entah dari mana istilah Kafe Minimalis ini muncul. Boleh jadi berasal dari sebuatan mode rumah, hotel dan lainya yang kemilenialan. Memang tak tak perlu dipermsalahkan. Rasanya hanya membuang-buang waktu jika tetap dipermasalahkan. Yang penting Ngah Long dan Long Usu telah berdamai. Begitu susahnya waktu perdamaian ini ditemukan.

Keberhasilan keduanya membuka usaha menjadi perbincangan hangat. Walaupun banyak menu yang disajikan, tetap saja yang amat sangat populer adalah Nasi Goreng Teloris. Menu ini selain rasa, bumbu yang dikandungnya cara penyajian sangat mempengaruhi penyebab populernya. Tetapi dari berita khbar-khabari khususnya para penggemar, ternyata bukan rasa, bumbu apalagi cara penyajiannya.

Namanya nasi goreng sudah biasa dan lumrah. Bahkan jika dibandingkan dengan nasi goreng dari negeri Gajah Putih, Thailand tak jauh berbeda. Nasi Goreng Pataya. Nasi Goreng Kampung, di Melaka, Malaysia.

Rupanya yang membuat populer bersagang bisik-merisik para penggemar kafe Ngah Long dan Long Usu adalah kata di belakang nasi gorengnya. Diksi Teloris yang terkesan berbeda. Kependekan yang uniq susah untuk menyebutkannya sebagai aneh. Praktiknya dapat memunculkan perbedaan atau bahkan salah tafsir makna dalam penyebuatan. Pilihan kata dengan diksi yang berbau sensi pada konten dan konteksnya. Itulah Teloris.

Diakui atau tidak, Teloris dalam pengejaannya cenderung beresiko. Contoh sederhananya saja pengejaan hurup e (ada istilah e pepet dan e biasa). Coba saja diucapkan Teloris dengan e yang biasa kemudin dilanjutkan dengan e pepet. Dapat dipastikan berbeda. Perbedaan inilah yang mengaltari jika salah mengejanya juga salah memaknaninya khusus dalam konteks (realitas peristiwa kekinian) dengan konten (arti atau maknanya. Apalagi bagi mereka, orang-orang yang terkena sindrom “ERG” atau pelat lidah).

Bagi mereka yang “pelat lidah” dalam mengucapkan kata telor, teler dan pelor (yang ini jangan pula salah menyebut huruf vokalnya, khawatir terjerat aturan yang berbau keseksian. Kaum milenial menyebutnya dengan undang-undang pornografi). Sebuah sebuatan yang terobsesi dengan kata teler. Selalu diasosiasikan dengan buah. Padahal faktaya bukanlah buah.

Bersagang pada sebuah obsesi itu pula menggugat kredo “apalah arti semua nama”, menjadi penting dilakukan. Pilihan kata atau diksi menjadi esensi dalam pembentukan dan pemaknaannya pada konten dan konteks. Sebagai altarnya diargumentasikan jika diksi tersebut  dapat mempengaruhi bawah sadar manusia. Sebetulnya kalau tidak dihubung-kaitkan dengan konteks kejadian kekinian yang tentu tidak menjadi masalah.

Memaknai kata dalam konten dan konteks sejalan dengan kebaradaan manusia tidak mungkin terlepas dari lingkungan interaksinya. Kalimat tidak akan pernah lepas, tentu saja bersandar pada konteks pemaknannya (konten). Begitu selelu para pakar komunikasi mentesiskannya.

Ngah Long dan dan Long Usu bukanlah orang jenius. Apalagi seorang peramal. Namun tak dinyana sebuah nama dari kependekan yang diajukan bakal populer menjadi tema sekaligus sub tema utama dalam ramai perbincangan. Paling tidak khusus di cafe minimalis milik mereka.

Ihwal Teloris Nasi Goreng menjadi menu makanan populuer di kedai mereka, memang tidak ada yang dapat memprediksi sebelumnya. Hanya saja dalam konteksnya beragam peristiwa yang tak terduga dapat saja terjadi. Semua orang yang rutin mengunjungi kafe, bukan tidak tahu. Diksi Teloris hampir dapat dipastikan sangat bepengaruh (mempengaruhi) tingkat pendengaran seseorang (orang per orang secara personal).

Teloris, samar-samar, tidak hanya yang sedang bermasalah pendengarannya, jarak penyebutan, lingkungan ramai amat sangat mempengaruhi. Esensinya kata ini, dalam banyak situasi dapat terdengar menjadi teroris. Kata yang sudah populer belakangan ini khusus pada konten dan konteksnya. Kata ini amat sangat seksi sekaligus sensi untuk dibicarakan. Terdapat fenomena simalakama terkait kata ini di Negeri Kolam Susu. Tak terkecuali di kalangan masyarakat Kampung Drian.

Walaupun hanya dalam hati. Artinya tak sedap hati untuk diluahkan sebagai sebuah pendapat. Apalagi diperdebatkan di muka umum. Namun kalau tidak diperbincangkan, masalahnya ada luahan hati yang terpendam. Terasa menggajal. Berdamapak pada psikologi. Tentu saja tak elok buat kesehatan. Utamanya kesehatan hati. Terlebih hati nurani.

Seperti cerita (luahan hati) Ngah Long sebagai misalnya. Menurut Ngah Long yang tak elok juga tak sesuai dengan realitasnya manakala kata (boleh juga diksi) teroris selalu saja diasosiasikan (ditujukan, dipersangkakan) kepada orang-orang penganut agama tertentu saja. Yang jelas-jelas tak adil kata Ngah, agama tertentu itu adalah mayoritas yang dianut di Kampung Drian, Negeri Kolam Susu, sebuah negeri tempat dirinya berasal.

“Mengutip pendapat Datuk Edo (pangilan Ngah untuk Prisiden Turki, Erdogan) dalam sebuah pidatonya (yang Aku lupa-lupa ingat). Dunia Barat selalu bukan hanya kurang, tetapi tidak adil. Mengapa terorisme selalu saja dihubungkan-hubungkan langsung dengan agama kebanyakan yang dianut di negaranya.”

“Padahal aktivitas yang sama, penembakan, intimidasi dan kekerasan lainnya yang terkait terorisme juga dilakukan oleh pelaku yang menganut agama lainya. Jarang atau boleh dikatakan, hampir tidak pernah dikaitkan dengan agama tersebut. Selalu saja keyakinan yang dimiliki warga Kampung Drian.”

Cafe minimalis Ngah Long dan Long Usu hanyalah cafe biasa. Menu makanannya juga biasa. Hanya saja nama menu makanan yang populer dinggap luar bisasa. Nasi Goreng Teloris selalu saja menjadi bahan perbincangan.

Ngah Long dan Long Usu tak menduga apalagi memprediksi jika Nasi Goreng Teloris menjadi terkenal. Padahal nama ini diberikan karena belum ada menunya yang populer. Altar kurang produktif yang menginspirasinya. Nama Nasi Goreng Teloris dimaksudkan memperingkas nama. Agar tidak mubazir juga mempermudah penyebutan.

Teloris adalah kependekan dari telor yang sudah diiris-iris (diptong-potong). Cara mengirisnya saja yang memerlukan kepiawaian tersendiri. Tidak sembarang orang kalau bukan ahlinya dapat melakukan. Itu saja. Tidak lebih.

“Hanya sayangnya cara pandang mereka (orang-orang yang di barat sana) selalu “berkedip mata” (lazimnya sebelah mata) menilainya. Cara pandang tersebut, entah peristiwa apa yang melatarbelakanginya. Selalu saja dengki dan buruk sangka terhadap keyakinan yang dianut oleh Tuan Edo dan kebanyakan masyarakat di sana.”

“Kapan melodrama buruk sangka (suudzon) kepada keyakinan kami akan berakhir”, Ngah Long menatap jauh tiba-tiba butiran kristal membasahi kedua pipinya.”

Wallahu’alam. ***

Baca : “Telan Sumpah”

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *