“Telan Sumpah”

Seroja

TIDAK seperti musim semi, gugur, panas dan dingin atau musim-musim lainnya. Yang paling nikmat tentu saja musim buah-buahan. Musim Manggis, Durian atau buah lainnya. Di antara banyak musim yang selalu dikhawatirkan belakangan ini adalah dua musim, panas dan hujan. Panas, karhutla tersenyum sinis. Hujan, banjir meringis seksi.

Tak kalah penting yang mengiringi antara musim hujan dan panas (pancaroba) adalah putusan kemenangan di Mahkamah Konstitusi. Hubungan kemenangan selalu diiringi dengan pelantikan. Saling klid-klindan sudah pasti dilanjutkan dengan “musim sumpah”. Kemenangan dengan sumpah selalu jalan beriringan walaupun praktiknya, tidak selalu sejalan. Dapat dipastikan sumpah selalu tertinggal dengan kealfaan. Sumpah selalu tertindas keingkar-munafiqan.

Beberapa daerah belakangan ini yang ada pelantikan pasti ada hubungan dengan sumpah. Seperti lazimnya pejabat, setelah dilantik secara simultan disumpah. Merespon kias ihwal pelantikan dengan sumpat tersebut, seorang kawan mengajukan tiga pertanyaan. Pertama, mengapa setiap pelantikan para pejabat harus disumpah? Kedua, apa konsekuensi apabila sang pejabat melanggar sumpah? Ketiga, apakah dapat dikatakan para pejabat yang menerima ‘fee’ atau ‘uang lobi’ proyek (istilah milenialnya berburu rente) adalah bagian dari melanggar atau “Telan Sumpah?”

Pertanyaan pertama dan kedua bagi kalangan awam memberikan arti esensi bahwa sumpah adalah proses suci (sakralisasi) dari janji bagi setiap umat manusia menuju fitrahnya yang hanif (lurus), tidak bengkok atau menyimpang. Sementara, pertanyaan ketiga, memberikan inspirasi bahwa meminta, menerima atau mengambil sesuatu berdasarkan jabatan yang dipeganggnya dari sebuah proyek adalah termasuk kategori “khianat” yang diistilahkan dengan “Telan Sumpah” (pepatah lama selalu menyebutnya dengan makan sumpah).

Menengok sejarah singkat terkait dengan sumpah bagi seorang pejabat, tampaknya belum ada referensi yang dapat ditauladani. Sejatinya, sejarah (Islam misalnya), belum memberikan referensi berharga apabila sumpah jabatan ditambah dengan menggunakan (mushaf?) Alquran adalah sesuatu yang wajib, sunah atau mubah untuk dilaksanakan. Ini dilatari oleh karena sejalan dengan (sampai saat ini menjelang zaman berakhir, akhir zaman maksudnya) belum ditemukan anjuran atau pensyariatannya berdasarkan dalil-dalil yang muktamad. Para ustadz tentu lebih paham. Silakan saja merujuknya.

Bersagang pada sejarah ringkas sebelumnya, sederhananya dapat ditelusur ketika sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq diangkat menjadi khalifah. Pengangkatan boleh juga pelantikan, belum dapat informasi (entah kalau ada yang menemukan nantinya), adanya sumpah dengan menggunakan mushaf. Begitu pula dua tahun kemudian, tatkala sahabat Umar bin Al-Khattab seterusnya disusul sahabat Utsman bin Affan, dan sahabat Ali bin Abi Thalib, belum ditemukan hal serupa.

Sejauh yang ada (dapat menjadi referensi) sejarah angkat-mengangkat, lantik-melantik sejurusnya ketika menobatkan kepemimpinan (khalifah) hanya mengenal istilah bai’at. Para sahabat bersalaman dengan khalifah yang terpilih untuk dibai’at bersama menjadi pimpinan mereka.

Esensi bai’at, boleh jadi tidak sama dengan esensi “sumpah jabatan” seperti sekarang ini. Bai’at tentu saja lebih pada proses pengtahkiman dari bawahan agar ‘setia’, khususnya  pada atasan atau organisasi (institusilah istilahnya saat ini). Filosofinya pada sifatnya yang lebih jika sumpah setia dari bawahan (bottom up) kepada atasan (top down, bukan top up) atau dari anggota baru pada institusi atau kelompoknya saja.

Sejenak mengingat-ingat ihwal bai’at itu secara diam-diam, perlahan namun pasti ada seorang kawan menyarankan agar “sumpah” digantikan saja dengan bai’at? Dimaksudkan sebagai upaya membuktikan bahwa sakralisasi lebih menonjol berbanding sumpah yang seremonial. Sumpah yang terlalu sering untuk dilanggar (khianat).

Jujur sarannya luar biasa inspiratif.  Hanya saja sarannya akan terkendala pada persoalan yang birokratis konstitusional. Paling tidak, syarat pertama perlu mengubah konstitusi tertinggi untuk ‘diamandemen’ pasal sumpah (khususnya sumpah presiden diganti dengan “bai’at presiden”). Konsekuensi lain yang tak kalah “berbahaya” pastilah  akan menuai bukan saja kritik, melainkan tuduhan. Istilah bai’at terdokumentasi dan terafiliasi belakangan ini kepada hampir semua yang berbau intoleran, teror dan lainnya yang tak perlu disebut sudah menggumpal dalam bawah sadar pada orang-orang tertentu.

Belajar dari pepatah baru “Telan Sumpah” terlepas diterima atau ditolak ihwal sumpah-menyumpah khususnya para pejabat ini, Profesor Muhammad Saleh melalui pendekatan Neuro-Psiko-Imunologi (ilmu syaraf, ilmu psikologi dan ilmu kekebalan) berhasil membuktikan. Menurut Ustadz Saleh jika salat Tahajud dapat mengobati pelbagai macam penyakit. Termasuk penyakit ‘khianat’ sumpah atau dalam pepatah baru “Telan Sumpah”!

Terpenting sebagai bagian dari “menjengah dan menjenguk”, Saya meyakini jika para ‘sumpahtor’ (orang yang melanggar sumpah, Telan Sumpah) memiliki jawabannya? Tanpa sumpah dan bai’at pun, Rakib dan Atid pencatat perbuatan baik dan buruk tetap bekerja.

Oleh karenanya Telan Sumpah tidak identik dengan ‘malaikat penjaga sumpah’. Telan Sumpah juga bukan Makan Sumpah. Lalu apa?  

Wallahu’alam. ***

Baca : Hunjam Tapai Jadi Apam

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *