Hunjam Tapai Jadi Apam

Hunjam Tapai Jadi Apam

Sesal dahulu memaafkan
sesal kemudian bertaubatlah

Lempar batu sembunyi bibir
terjepit di atas misai mengerling

BERULANG-ulang. Bahkan bukan saja, berulang-ulang, berulang-kali. Tindakan yang tentu saja melebih dari dua, tiga, sepuluh dan ribuan kali. Dimaknai sudah terlalu sering. Namun tidak melebih batas. Karena memang tidak terdapat pembatasan. Artinya bebas saja. Bebas kapan saja. Di mana saja. Silakan.

Pada semua waktu. Sudah beribu kali ditelusuri. Sudah sejuta kali dicermati. Bahkan sudah menggunakan berbagai metode. Kalau dijelaskan, tak tertampung oleh karena keterbatasan ruang. Apalagi tidak berhubungan dengan pembelajaran. Hanya sekadar menjelaskan sesuatu yang boleh jadi baru. Boleh jadi juga bukan hal baru. Tidak baru.

Lazimnya pepatah, ungkapan, bidal atau lainnya adalah karya agung para tetua yang selalu mengapresiasi keluhuran lakon budi manusia menjalani kehidupan. Lakon luhur yang berbudi ini untuk kemudian dibudayakan. Esesinsinya tentu saja mengingatkan sebagai referensi insani kehidupan dalam menunggu akhir ketika waktunya untuk berlakon pun berakhir.

“Hunjam Tapai Jadi Apam” sejujurnya sudah berulang-kali ditelusuri dari berbagai sumber. Tentu saja sumber tempat jutaan manusia yang saat ini tertumpu kepadanya. Dunia digital beserta yang melingkupi sudah ditelusur, tetap belum ditemukan. Sungguh dalam realitasnya tidak elok juga untuk mengatakan, tidak ditemukan. Istilah belum lebih arif dan bijak. Bahasa diplomasinya untuk membela keterbatasan kemampuan.

Menjadi wajar jika “Hunjam Tapai Jadi Apam” diklaim sebagai yang baru. Sebagai klaim, tentu boleh-boleh saja. Barunya juga tidak wajib dimaknai sebagai baru yang belum ada. Boleh jadi baru karena yang berhubungan dengan yang belum ditemukan. Keterbatasan dalam menemukan.

Dalam dunia akedemis kebaruan (belum ada) dikenal dengan istilah novelty. Ungkapan, bidal, perumpamaan selalu inheren menuruti lakon lakunya manusia. Perumpamaan, walaupun dapat menjadi analogi: memperbanding-samakan agar mudah dipahami juga sekaligus iktibar. Ihwal Iktibar inheren dengan penemuan baru tidak hanya pada teknologi yang selalu diasosiasikan dengan kemajuan zaman. Teknologi sekaligus alat yang dapat merubah lakon manusia, tetapi tidak jarang juga mengispirasi tindakan yang tak terduga.

Berpedoman pada ragam kejadian kekinian ihwal makna penting pribahasa, ungkapan, bidal, pepatah dan lainnya perlu mendapat kebaruan. Tntu saja kebaruan bersandar pada lakon laku manusia secara terus menerus. Apalagi yang berhubungan dengan adat dan budaya manusianya. Misalnya saja aktivitas lempar-melempar. Aktivitas lompat-melompat. Aktivitas angkat-mengangkat, dan yang lainnya.

Misalnya melempar adalah aktivitas biasa. Namun melempar memerlukan persyaratan utama. Melempar pasti dengan tangan. Mustahil melempar dengan kaki. Melempar bola dengan tangan. Mustahil menendang bola dengan tangan. Begitu lazimnya.

Yang menjadi luar biasa manakala sasaran yang dilempar. Yang lebih penting lagi tentu saja alat yang digunakan untuk melempar. Alat dan sasaran yang dilempar adalah tolak-ukur legasi paradaban pembentuk lakon-laku manusia. Oleh karena menjadi legasi yang akan menjadi literasi personifikasi, maka lakon-laku manusia adalah sandarannya.

Bersagang makna majazi bukan hakiki, “Hunjam Tapai Jadi Apam” adalah personifikasi lazimnya seseorang manusia melempar. Alat yang digunakan untuk melempar dan sasaran lemparan personifikasinya adalah Tapai dan Apam. Tapai yang lembut, dan Apam yang kenyal adalah sebuah perumpamaan lakon laku satu pihak (yang melempar) kepada pihak lain (yang dilempar).

Hunjam Tapai, walaupun kata hunjam berbeda dengan melempar, namun hunjam menjadi lebih tragis manakala yang dilempar mengena (menyasar sararan). Sasaran tidak harus personal (orang perorang). Kediaman adalah juga personifikasi dari sasaran. Sementara “jadi Apam” adalah personifikasi absurd (yang tak mungkin, tak disangka, tak diduga) wujud dari yang disasar.

Hanya saja Hunjam (lemparan yang menyasar, menukik) dan Apam (peroleh, hasil, nilai) sesungguhnya episode kelam kehidupan yang juga diklasifikasi sebagai absurd. Namun dalam realitas kekinian peristiwa itu wujud. Peristiwa itu ada. Peristiwa itu sebuah kenyataan. Maka dalam hubungan dengan masyarakat yang beradat (menghargai tatanan nilai yang dijunjung tinggi), “Hunjam Tapai Jadi Apam” adalah sesuatu yang mustahil. Sesuatu yang absurd.

Pertanyaannya: walaupun mustahil-absurd, mengapa terjadi?
Mengapa harus kepala?
Mengapa tidak pundak lutut kaki?!
Pundak lutut kaki?!

Wallahualam. ***

Baca : Sasmite?

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *