Sasmite?

Seroja

Ayam putih terbang malam
hinggap di dahan meranti

Ayam hitam terbang siang
hinggap di rimba dalam

Ayam bertelur di atas padi
mati kebuluran

BERULANG-kali tidak sependapat. Begitu seterusnya. Perdebatan terus-menerus berlangsung. Tetap saja tidak memperoleh kata sepakat. Kalau ditilik sepintas, nama juga sepintas-kilas persoalannya tidak mendasar. Pertanyaan selalu muncul. Kalau tidak mendasar, mengapa tidak juga diperoleh kata sepakat. Minimal sependapat. Walaupun sependapatnya atau kesepahamannya hanya basa-basi belaka.

Perbedaannya pun tidak mencolok. Persoalannya hanya pada penyebutan. Atau boleh juga dikategorikan pada vokalnya saja. Vokal hurup hidup. Semua orang seseantero dunia ini sudah tahu. Vokal itu hurupnya ada lima: a, e, i, o dan u.

Justru seharusnya pertanyaan yang susah dijawab adalah: mengapa hurup vocal jumlahnya hanya lima. Mengapa tidak enam, tujuh, sembilan atau sebelas. Wajar jika pertanyaan ini yang menimbulkan perbedaan pendapat. Minimal perbedaan pendapat dalam jawabannya. Ada beragam jawaban. Tetapi mengapa kesepakatan tidak juga diperoleh-dapati. Ada apa?

Masyarakat di negeri Kolam Susu, kampung Drian selalu menyebutkannya dengan Sasmite. Masih dalam satu negeri, tetapi lain kawasan, di kampung Lempok menyebutnya dengan Sasmito. Syahdan konon menurut cerita orang-orang di kampung Lempok dahulunya mereka bukan warga orijinal (banyak menyebutnya asli. Kaum milenial di era otda punya istilah berbeda, putra daerah).

Mereka masyarakat yang sudah mengalami transformatif istilah krennya. Oleh karena itu berlaku lumrah seharusnya disebut Sasmite menjadi Sasmito. Tidak merubah makna, namun sebutannya secara lisan berbeda akhiran. Masyarakat transformatif berakhiran o. Sementara warga tempatan e. Sebenarnya secara tak langsung terdapat kesamaan.

Mereka sama-sama berakhiran vokal. Walaupun pada kenyataannya masyarakat yang sudah bertransformatif terkadang rada-rada segan untuk vokal. Boleh jadi mereka tersandera pepatah lama,” di mana langit dijunjung di situ bumi dipijak”.

Lain lubuk lain pula ikannya. Inilah juga pepatah lama. Agak berbeda di negeri seberang. Orang-orang di negeri seberang ini sebutannya bukan Sasmito atau Sasmite melainkan Sasmita. Walaupun sama-sama menggunakan vokal, bukan o atau e, tetapi a. Di seberang menjadi Sasmita. Vokal a yang lebih muda, awal dan utama terkesan cocok, bukan dicocok-cocokan (cocoklogi). Sebenarnya sebutannya menunjukkan sebuah karakter yang konsisten. Karakter ini dialtari oleh karena antara penyebutan selalau sering-jalan (sepadu kasih-sayang) dengan penulisan.

Sikap konsisten ini memang memunculkan perdebatan. Boleh setuju. Tidak setuju juga tidak masalah. Silakan. Mohon perhatikan pada salah satu lapangan kapal terbang, bandara (bandar udara) ada yang unik sekaligus menimbulkan kelucuan.

Betapa tidak. Dahulu sebelum reformasi dalam berkomunikasi hanya dua bahasa yang digunakan. Bahasa asing dan nasional. Setelah reformasi, era otonomi daerah konon bertambah menjadi “tiga bahasa”. Tetap bahasa asing (Inggris), nasional (Indonesia), dan daerah (“Melayu”).

Yang menjadi pertanyaan sebenanya yang bertambah bahasa atau hanya sebuah dialek saja? Kemudian atas dasar ketakpahaman boleh jadi dialek tersebut diaggap bahasa? Perbedaan bahasa dengan dialek tentu saja semua orang sudah tahu. Tak perlu lagi dijelaskan seperti dalam sekolah atau kuliah mata pelajaran bahasa Melayu, eh bahasa Indonesia.

Belajar sejenak terhadap upaya penambahan “bahasa di bandara” dengan analogi kata Sasmito-Sasmita penting direnungi. Benar yang tak perlu ditonjolkan adalah perbedaan akhiran antara Sasmito, Sasmite dan Sasmita. Namun perbedaan jangan disalahtafsirkan. Perbedaan titik fokusnya pada dialeknya,bukan bahasanya. Jangan menghilangkan eksistensi untuk menonjolkan yang tak esensi. Artinya terpenting, jangan sampai dialek disamakan dengan dengan bahasa. Dialek adalah bagian dari bahasa. Dialek adalah kedinamikaan keragaman dari bahasa, minimal.

Mencermat-telaahi khilas esensianya, kata Sasmita dimaknai pertanda. Tanda-tanda. Dilekatkan pada nama,  sepengetahuan dari jejak digital banyak orang menggunkan nama Sasmito atau juga Sasmita. Rasanya belum ada (entah nanti jika baru muncul), yang menggunakan nama Sasmite (akhiran e). Lazimnya Sasmite hanya ada dalam dialek, belum dalam tulisan. Sasmite hanya dalam ucapan kebiasaan dialek berasal dari masyarakat tertentu.

Yang pasti Sasmita (Sasmito) adalah sebuah karakter bagi mereka (orang-orang) yang visioner. Mengerti dengan membaca tanda-tanda. Kalau pemimpin yang visioner. Mereka dapat “memprediksi” apa yang akan terjadi. Mereka mendapat Laduni kata Pak Ustadz.

Berdasarkan Sasmitanya, negeri Kolam Susu tak berprospek. “Di bawah air di atas asap”, kredo baru mengubah yang lama. Dulu, “di atas minyak di bawah minyak”.

Sekarang susah membedakan antara banjir atau air. Begitu juga antara api atau asap. Sampah dan harta.

Perumpamaan Sasmitanya, “ayam bertelur di atas padi mati kebuluran”. 

Wallahualam. ***

Baca : Blok Sindrom, Bukan Non Blok

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *