Puisi Puasa: Ramadankan Aku pada Sepuluh Malam Ketiga

Bang Long

Bismillah,
ALHAMDULILLAH, kita sudah berada pada sepuluh malam ketiga. Kita masih tetap diberikan kekuatan iman: berpuasa dan meniti amal ibadah Ramadan dengan iman. Semoga rahmat telah kita raih pada sepuluh malam pertama. Semoga maghfirah sudah kita repih pada sepuluh malam kedua. Kita pun berharap dapat bertemu dengan Allah Taala setelah menjalani sepuluh malam ketiga Ramadan, pun dengan iman. Meskipun kekadang hujan dan panas bedengkang, kita berada dalam iman untuk terus bersama Ramadan. Pada sepuluh malam ketiga ini, saya menghadirkan puisi Ramadankan Aku pada Sepuluh Malam Ketiga (TareBook, 2019:140-141).

Ramadan membawa Lailatur Qadar pada malam sepuluh malam terakhir. Ia membawa malam kemuliaan. Kita sudah dipersiapkan satu istana cahaya ketika berjumpa dengan malam seribu bulan itu: untukmu, sebuah istana dari cahaya. Perumpamaan istana itu penuh kemilau semerata tempat. Di istana itulah, kita bertahta: memendar indah sampai ke mana-mana/ engkau duduk di singgasananya.

Kita bagai raja. Carilah pada malam ganjil,” tiba-tiba Abah berbisik di sampingku.

Hampir semua umat Islam mencari malam mulia itu. Semuanya ingin bertemu dengan malam kemuliaan. Semuanya ingin terbebas dari azab api neraka di akhirat. Bahkan ketika kiamat tiba, semuanya menghendaki keamanan: di hari kiamat/ engkau datang dengan keamanan, kenyamanan, dan keriangan/ hilang gamang, tersisih sedih, terpisah susah. Tiada lagi kegamangan, kesedihan, dan kesusahan duniawi. Karena selain rumah cahaya, kita sudah disediakan suatu kota: untukmu, sebuah kota di surga. Tentu saja ini suatu hadiah utama bagi hamba beriman yang beramal selama Ramadan dan dia diampuni. Tentu celaka jika selama Ramadan kita tidak memperoleh pengampunan dari Allah Taala.

Pada sepuluh malam terakhir, kita berlomba-lomba berdoa. Minta yang banyak. Minta kebaikan apa saja. Merayu kepada Allah agar doa-doa kita diijabah. Rayulah dengan doa indah sebanyak-banyaknya. Kita tak pernah tahu dari sekian banyak rengekan doa yang kita sampaikan, mana satu yang akan diijabah Allah. Sekali lagi, kita tak ’kan pernah tahu itu. Namun yakinlah, Allah akan mengabulkan doa-doa kita: duapuluhempat doamu diijabah Allah. Ijabah-Nya sesuai dengan yang Dia rencanakan. Betapa indahnya rencana dari Allah Taala. Mentelah lagi doa-doa yang kita luncurkan pada malam kemuliaan ini: tiada azab kubur, begitu hendaknya. Allah Taala akan mengabulkan doa-doa orang yang berpuasa. Malam seribu bulan itu dipenuhi dengan keselamatan. Tentu saja kita akan meraih pahala yang berkebat-kebat: pahala-pahala terangkat berlipat/ membumbung menggunung/ selama empatpuluh tahun. Meskipun dalam keadaan susah, semoga kita selalu berdoa dan mengingat Allah Allah: Biar susah sungguh/ Mengingat Kau penuh seluruh, begitu kata Chairil Anwar dalam puisi Doa.

Sepanjang hidup, kita berharap rahmat Allah agar dimasukkan ke surga. Kita mau melewati shirat tanpa hambat. Kita ingin laksana cahaya yang melesat melewati shirat dengan rahmat sehingga neraka pun tak sangguh menyentuh kulit ini: di hari kiamat, lewati shirat bagai sambaran kilat/ penuh cahaya, penuh cahaya/ neraka tak larat. Chairil Anwar dalam puisinya berjudul Doa menulis: Caya-Mu panas suci/ Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi. Hal ini bisa saja kita peroleh karena marwahmu terangkat seribu derajat/ dalam surga penuh rahmat. Marwah laksana seribu derajat itu tentu kita raih selama memuliakan Ramadan dengan iman. Pahala-pahala yang kita raih pun akan diterima dan diberkahi Allah: bagimu, pahala seribu haji yang mabrur/ diterima Allah Yang ghaffur.

Umat Islam beriman dalam berpuasa memang memperoleh rahmat istimewa dari Yang Maha Pemberi Rahmat. Makanan dan minuman tersedia semua ada di surga. Keistimewaan tersebut bukan cuma hasil dari amal ibadah, tetapi suatu anugerah dari kesempurnaan cahaya-Nya. Anugerah yang disediakan khas bagi para pemburu malam seribu bulan. Hal tersebut tergambar dalam larik-larik ini: Makanlah buah-buahan surga/ Mandilah air salsabil, minumlah dari telaga Kautsar.

”Tadi malam”, kata Abah, ”malam terang, tenang, cerah, sunyi, tidak panas, tidak dingin seakan-akan ada bulan memancarkan cahaya terang. Tadi malam tak ada bintang yang dilemparkan kepada setan. Pagi ini pula, sinar mentari tak menyilaukan seakan bulan purnama. Mungkin tadi malam adalah malam seribu bulan itu, malam yang kita buru.” Kata Abah laksana kutipan bait puisi berikut.

Pada                                                       malam                                                 lailatulkadar
adakah                                                dialaminya                                                  peristiwa
yang                                                mengguncangkan                                           perasaan
dalam cahaya seribu bulan?
Telah lama dicarinya (Puisi LAILATULKADAR karya Ajip Rosidi).

Sepuluh malam ketiga atau sepuluh malam terakhir juga merupakan malam-malam penuh kesedihan. Inilah pertanda akhir Ramadan. Ramadan segera pergi meskipun sekejap. Namun, kita tak tahu apakah tahun depan akan bertemu lagi dengan Ramadan dan malam seribu bulan. Berpisah dengan Ramadan adalah musibah. Bumi, langit, malaikat, dan semesta menangis. Sedih: Menangislah langit/ Menangislah bumi/ Menangislah malaikat/ Sebab, Ramadan pergi walau sekejap. Semoga kita dipertemukan kembali pada Ramadan dan malam seribu bulan di tahun depan.***

Alhamdulillah.
Bengkalis, Selasa, 24 Ramadan 1443 / 27 April 2022

Baca: Berdayung

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *