Majelis Udang

Bang Long

Bismillah,

KETIKA kecil, saya sering makan udang. Boleh dikatakan setiap hari saya makan udang. Bermacam jenis udang yang pernah dihidangkan Emak. Udang ketak, udang duri, udang putih, udang merah, dan udang gogo. Kata Emak, udang mengandung protein dan bagus untuk pertumbuhan badan. Bagus juga untuk otak. Tak perlu heran mengapa setiap hari kami makan udang. Abah setiap hari melaut. Abah memasang dan membangkit bubu di tengah laut. Saya mengikutnya melaut. Beliau menjadi kuli bubu. Di tengah alur kapal tanker dan gelombang kuat itulah, Abah memasang dan menarik bubu dengan tangannya. Saat pulang dari melaut, ada kantong asoi atau tombo yang bergelantungan di sepeda Abah. Isinya udang dan ikan.

Udang memang sedap. Berbagai masakan bisa disajikan dengan bahan dasar udang. Dari kecil hingga saat ini, saya masih sangat suka kalau Emak membuat penaram. Penganan ini sejenis bakwan, tetapi rasanya lebih gurih. Tangan Emak memang telaten mengadon udang, tepung, dan perencah serta menggorengnya sehingga menjadi penaram. Namun, kata perawat gigi di sebelah rumah, kalau ada riwayat sakit gigi, boleh makan udang jika kulitnya sudah dikupas semua. Jangan coba-coba makan udang yang dimasak, tetapi kulitnya tidak dikupas habis. Sakit gigi akan kambuh. Apa iya, ya?

”Makan udang itu bagus, tapi jangan seperti otak udang,” Emak berpesan. Perempuan nomor satu di dunia ini mengingatkan kami agar selalu menjadi manusia beradab dan berilmu. ”Supaya kalian hidup bermarwah,” itu harapannya.

Dengan adab dan ilmu, derajat hidup melangit. Namun, bukan itu yang menjadi tujuan utama. Tujuan utama kita hidup adalah berbuat dan menebarkan kebaikan. Tak perlu yang muluk-muluk. Mari lakukan kebaikan semampu kita dan sesederhana apa pun. Bekerja untuk kebaikan. Ikhlas itu yang penting. Ikhlas itu seperti nama suratnya dalam Al-Ikhlas, tidak tertulis dan tidak diucapkan.

”Kalau masih ada udang di balik batu, itu namanya tidak ikhlas,” sekak Emak.

Tidak mudah menghilangkan udang di balik batu ketika kita diminta untuk mengerjakan sesuatu. Hati kita sulit ditebak. Hati kita bisa bolak-balik. Kita berharap mengerjakan sesuatu dengan tanpa ada maksud tertentu. Menolong orang dengan sepenuh hati. Plong! Beribadah dengan tulus pasrah. Bermasyarakat dengan lurus tekad. Bekerja dengan bersahaja. Hidup ini adalah pengabdian. Pengabdian sejati hanya kepada Allah Taala. Biarpun susah sungguh, saya akan mencoba bekerja hanya sebagai pengabdian kepada Allah Taala.

Setiap orang punya kelebihan atau keistimewaan. Setiap orang pun punya kekurangan atau kealpaan. Manusia terbaik bukan semata punya kelebihan. Manusia terbaik pun bukan sombong dengan keistimewaan sebagai udang tak tahu bungkuknya. Bisa saja manusia terbaik adalah orang yang tahu di mana letak kekurangan dirinya. Karena sadar dengan kekurangan itu, dia tidak mengutamakan kesombongan.

”Janganlah seperti udang dipanggang,” sergah Emak. ”Sombong selalu menghadirkan malu. Lagi pula, apa yang nak disombongkan dalam kehidupan ini? Semuanya akan kembali kepada-Nya.”

Selain malu, sombong atau bongkak akan menghadirkan gelisah dan susah. Hati selalu berkecamuk. Diri merasa besar. Orang lain selalu direndahkan. Diri merasa benar bahkan merasa paling benar. Orang ini selalu membusungkan dada. Jika berjalan, ia selalu mendongak. Diri merasa melangit. Ia merasa dirinya selesa. Padahal, tanpa disadari, dia seperti udang dalam tangguk.

Hakikatnya, sombong adalah aib diri. Namun, diri yang sombong merasa itu adalah kelebihan diri. Padahal, bongkak itu bentuk dari kekurangan diri secara batiniah. Dengan sombong itu, diri akan mengatai orang lain. Dia lalai mengatai diri sendiri. Dia tidak insaf akan aib diri. Diri sibuk dengan aib orang lain. Diri seperti ini bagaikan udang hendak mengatai ikan. Diri lupa bahwa kehidupan kita ini berada dalam majelis cahaya.

Kita mesti berharap berada dalam majelis bercahaya. Dalam majelis bercahaya itu, ada adab dan ilmu yang bergema. Gema majelis bercahaya akan menggetarkan cinta Ilahi. Cinta Ilahi inilah harapan teragung untuk diri, bukan kesombongan. Majelis bercahaya merupakan majelis bermarwah. Majelis ini akan menjadi penangkis segala kesusahan dan kezaliman.

Berbanding terbalik, berapa banyak kita menyaksikan majelis gulita. Majelis gelap ini tentu direstui dengan cinta iblis atau setaniah. Dalam majelis gulita itu, ada biadab dan semu yang meraung. Di sinilah, getar-getar nafsu melangit. Tiada harapan terbaik dari majelis ini, kecuali gerhana hati. Inilah majelis udang. Majelis-majelis udang, tahi di kepala.

”Udang tetaplah udang. Kita adalah diri sendiri yang selalu mengejar cahaya seperti kelekatu,” tutup Emak pada majelis ini.***

Alhamdulillah.
Bengkalis, Senin, 11 Zulhijah 1443 / 11 Juli 2022

Baca : Adiwiyata

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *