Sedarah

SEDARAH hemat saya merupakan asal kata saudara. Sebagian orang Melayu, untuk mengakrabkan diri memanggil orang baru atau yang tidak tahu apa panggilannya, apakah paman, adik, abang atau kakak, dan lain-lain maka akan dipanggil atau diteriak dengan kata ‘sedare, sedaro, sedara’.

Pada hakikatnya manusia memang bersedarah (bersatu darah). Darah yang mengalir dalam tubuhnya masih darah yang satu, yaitu darah Adam dan Hawa sebagai  pohon awal asal-usul keturunan manusia. Manusia pun pun diciptakan oleh Zat Yang Satu yaitu Allah Swt. Oleh karena diciptakan oleh Yang Satu dan dari darah yang satu maka sejatinya mereka menyatu. Menyatu dalam satu, yaitu satu cinta, satu kasih dan satu sayang.

Sutardji Calzoum Bachri, Presiden Penyair Indonesia dalam puisinya berjudul “Satu” mengingatkan: …daging kita satu arwah kita satu walau masing jauh yang tertusuk padamu berdarah padaku.

Islam memandang persaudaraan itu dalam empat kategori. Pertama persaudaraan sesama manusia (al-ukhuwah al-insaniyah/ al-basyariyah); kedua, persaudaraan karena seketurunan (al-ukhuwah al-nasabiyah); ketiga, persaudaraan sebangsa dan setanah air (al-ukhuwah al-wathaniyah); dan Keempat, persaudaraan sesama beragama Islam (al-ukhuwah al-islamiyah).

Oleh karena awalnya berasal dari satu darah dan dari satu pencipta, dan hidup di semesta yang satu, walau datang dari berbagai daerah dan suku bangsa, walau warna kulit aneka rupa, walau agama, budaya dan bahasa berbeda-beda, namun cinta, kasih dan sayang tetap terjaga. Sejatinya, menjaga bumi tetap wangi dan molek untuk ditempati adalah tugas mulia yang senantiasa didahulukan daripada kepentingan apa pun.

Untuk itu diperlukan saling mengenal, memahami, tolong menolong serta jaga menjaga, menyayangi, mencintai, menghargai dan menghormati antara satu dengan yang lain. Klaim para penduduk langit tentang kehadiran manusia (Adam) sebagai khalifah hanya akan menumpahkan darah mesti ditepis. Jangan sampai prediksi para penduduk langit tersebut terbukti. Bahwa kehadiran manusia sebagai manejer semesta sejatinya membawa pesan keteduhan, kemesraan, kerukunan, kedamaian dan kecintaan. Bukan saja damai, penuh rukun antara sesama manusia tetapi juga dengan makhluk lainnya. 

Oleh karena alam ini diciptakan Tuhan penuh kemolekan dan keindahan. Maka sejatinya prilaku manusia sebagai penghulu alam mesti juga indah, elok dan baik. Bukankah manusia merupakan makhluk ciptaan Ilahi yang paling indah dan sempurna?

Sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (QS. Al-Tin: 4)

Kehadiran manusia-manusia yang memporak-porandakan kedamaian, yang menebarkan kebencian dan permusuhan adalah menyalahi kodratnya yang berasal dari darah yang satu, dan diciptakan Pencipta Yang Satu. Maka sejatinya tidak ada perang karena sengketa lahan ekonomi, tak ada permusuhan dan saling benci karena berbeda pandangan politik dan perbedaan pengamalan dan aliran keagamaan. Sejatinya tidak ada silang sengketa akibat mendahulukan nafsu ego tak terkendali yang mendahuli akal budi dan hati nurani.

Adat hidup orang mulia; mengasihi sahabat, menyayangi saudara, lebih dan kurang tiada berkira, pahit dan manis sama dirasa. Berkawan tidak memilih bangsa, bersahabat tidak memandang harta, bersaudara tidak memilih darah. (Tenas Effendy)

Ya Ilahi, damaikan dan tanamkan saling cinta di antara kami di bumi yang Engkau ciptakan penuh dengan keindahan dan keteraturan ini. Jauhkan kami dari pertumpahan darah yang sesungguhnya kami berasal dari darah yang satu, yang semulanya penuh dengan cinta dan saling rindu.

Wallahu a’lam. ***

Baca : Ajak Bijak

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *