Bola Cinta Maroko

MOROCCO (Al-Mamlakah Al-Maghribiyah) atau orang Indonesia menulis dan menyebutnya Maroko merupakan negeri yang unik. Ia memiliki dua ibukota, yaitu Rabat sebagai ibukota administratif dan Casablanca sebagai ibukota industri.

Negeri yang dikenal dengan julukan singa atlas ini memiliki dua pegunungan yaitu Atlas dan Rif. Mayoritas penduduknya beragama Islam. Memiliki masjid-mesjid dengan menara-menara indah. Sebagian daerah pasarnya terlihat khas, begitu juga dengan benteng dan bangunan abad pertengahan yang eksotis.

Dalam sejarahnya, terkabar bahwa Prancis pernah menguasai negeri ini melalui Traktat Fez yang ditandatangani pada 13 Maret 1912. Dalam traktat itu diterakan bahwa Sultan Abdel Hafid menyerahkan kedaulatan Maroko kepada Prancis.

Pada perhelatan sepakbola sejagat (FIFA World Cup 2022), tim kesebelasan kerajaan yang menjadi terletak di Afrika Utara ini telah menarik perhatian banyak mata. Tim yang diasuh Walid Regragui tersebut telah mengandaskan harapan tim-tim besar dunia seperti Spanyol, Portugal, Belgia dan beberapa tim lainnya. Kesebelasan dari bagian Afrika Utara yang semula bagai mentimun bungkuk ini mampu menembus babak semifinal. Bukan saja pencinta bola dari negeri ini yang bersuka ria, namun dari negeri-negeri muslim lainnya ikut mendukung. Sebagian yang awalnya mendukung tim besar lainnya berubah mencintai dan mendukung Maroko secara fanatik. Persaudaraan sesama muslim (al- Ukhuwah al-Islamiyah) telah memicu rasa cinta dan dukungan itu. Tawa Maroko adalah bahagia kami, luka Maroko adalah derita kami.

Kenapa tim Maroko begitu dipuja dan didukung? Karena di samping permainan yang menawan sehingga mampu melaju ke babak semifinal, juga karena attitude atau sikap mereka. Setiap kali menyelesaikan pertandingan, akan terlihat seluruh kepala mereka bersujud ke bumi, menunjukkan rasa syukur kepada Ilahi. Setelah itu sebagian mereka berlari ke pinggir lapangan, ke bangku para supporter, mencari sosok perempuan yang amat berjasa dalam hidup mereka, yaitu ibu.

Foto-foto pelatih dan pemain Maroko yang mencium, memeluk dan bergembira dengan sang bunda menjadi viral di media. Sepakbola bagi Maroko bukan sekadar permainan untuk dimenangkan dengan angka di papan skor tetapi juga bagian dari upaya menyadarkan manusia pada rasa cinta sejati. Prilaku tim Maroko ini telah menambah unik dan hebatnya sepakbola yang dilaksanakan di Qatar. Wajah dakwah yang disuguhkan tuan rumah sejak pembukaan telah dilengkapi dan diperindah oleh Maroko, bahwa Islam begitu indah, bahwa menjadi muslim adalah menjadi manusia sejati. Bukan menjadi monster atau teroris bagi semesta. Qatar dan Maroko menunjukkan keindahan, kedamaian dan kemolekan Islam bagi dunia.

Di luar lapangan, selama pertandingan, para supporter Maroko pun meneriakkan yel-yel mereka dengan menyanyikan lagu Rajawi Filistini sebagai dukungan kemanusiaan bagi Palestina yang tertindas.

Prancis mengandaskan mereka di semifinal karena Theo Hernandez dan Randal Kolo Muani melesakkan si kulit bundar ke jala yang dijaga Yassine Bounou. Impian Achraf Hakimi, Hakim Ziyech, Youssef en-Nesyri dan teman-teman pupus sudah untuk melangkah ke final, untuk menorehkan sejarah baru dalam sepakbola dunia. Selama sekitar 90 menit permainan, Maroko memperlihatkan keperkasaan mereka karena menguasai bola (football possession), dan beberapa kali memperoleh peluang mencetak gol. Namun takdir berkata lain. Sampai peluit panjang dibunyikan wasit Cesar Ramos asal Mexico, tak ada perubahan di papan skor. Seusai pertandingan, walaupun dalam suasana sedih, Achraf Hakimi tetap memeluk sahabatnya Kylian Mbappe, dan saling bertukar jersey. Hakimi juga menyungkurkan keningnya ke rumput hijau walaupun saat itu ia dan timnya belum beruntung melangkah ke partai puncak. Ia mafhum bahwa rasa cinta kepada umat manusia dan kesyukuran kepada Ilahi tak boleh dikalahkan ambisi berlebihan atau nafsu buta dalam setiap perhelatan dunia, apa pun bentuknya.

Walaupun hasil di lapangan memihak kepada Prancis. Namun Maroko telah menang di hati umat manusia. Tim Maroko telah membawa pesan bahwa sepakbola bukan hanya kepiawaian mengocek bola untuk meraih kemenangan di lapangan hijau tetapi juga ‘menghijaukan’ hati umat manusia yang kini gersang kerontang. Mata dunia terbelalak. Mata hati mereka terbuka bahwa menjadi muslim ternyata menjadi manusia seutuhnya. Manusia pembawa cinta di mana pun mereka berada.

Terima kasih Maroko. ***

Baca: Asia Bangkit

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *