Opresi

IT is impossible to life without living wisely and honorably and justly and it is impossible to live wisely and honorably and justly living pleasently. (Epicurus, 341-270 SM)

Semuanya ingin perlakuan adil. Tak ada makhluk yang mau dizalimi atau ditindas. Namun tak banyak yang sadar ia telah menzalimi atau menindas. Manusia utamanya, hari-harinya selalu melakukan opresi atau penidasan. Terkadang makhluk sebangsanya, tidak jarang bahkan tidak sedikit makhluk lain menjadi korban. Burung-burung yang sedang damai duduk di dahan menikmati kaki langit tiba-tiba terkapar dan jatuh karena kepulan asap akibat hutan yang dibakar manusia atau karena pelor senapang yang menghunjam jantungnya. Ikan yang begitu nyaman berenang dan bersuka ria menikmati kejernihan air yang beriak tenang tiba-tiba tersedak lalu merejang dan mengejang napas akibat dari limbah pabrik atau karena minyak yang tumpah atau dibuang ke sungai dan laut. Harimau, gajah, rusa dan satwa lainnya mesti lari bagai tak cukup tanah dalam gigil akibat kebakaran hutan sebagai rumahnya para kaum binatang.

Bahkan begitu damainya manusia hidup berdampingan tiba-tiba merasa tidak nyaman akibat ulah seseorang atau segolongan manusia lain yang mungkin terorganisir mengganggu orang yang sedang menikmati indah dan damainya alam Tuhan. Mereka mengganggu ketertiban umum dengan cara menguasai fasilitas-fasilitas bersama untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Mereka senang dan mungkin bahagia berlaku opresi kepada orang lain.

Manusia merupakan subjek utama opresi dalam keteraturan dan kedamaian semesta. Prilaku itu akibat dorongan nafsu yang tak terkendalikan atau membiarkan nafsu menjalar liar melebihi kaum hewani. Oleh karena ingin menguasai, ingin ditakuti, ingin disegani, ingin dihargai, dihormati secara berlebihan, ingin semena-mena maka mereka menzalimi manusia lain, menjajah kaum dan bangsa yang dianggap lawan, yang dikira tak sehaluan atau mungkin dianggap lemah namun mengganggu kepentingan rasa jahatnya.

Kezaliman adalah musuh Tuhan dan makhluk hidup. Melalui kitab-kitab suci, Tuhan mengingatkan manusia agar jangan berlaku zalim, agar jangan berlaku aniaya baik kepada sesama manusia maupun makhluk hidup lainnya. Manusia juga terkadang menzalimi Tuhannya. Segala aturan yang telah ditetapkan Sang Pencipta dilabrak dan diabaikan begitu saja. Ironinya terkadang mereka berbuat karena merasa pemegang SK dari Tuhan. Kapan mereka mendapatkan SK itu? Dan kapan diangkat? Celakanya, terkadang muncul wacana sesat bahwa agama menjadi pemicu kezaliman akibat ulah sebagian mereka yang merasa memegang otoritas kebenaran, yang sesungguhnya hanya ‘perampok di jalan Tuhan’.

Manusia juga terkadang lupa kalau ia pun telah menzalimi atau menganiaya dirinya sendiri. Ia pergunakan mulut untuk memasukkan sesuatu yang merusak dirinya ke dalam perutnya, merusak jasad dan pikirannya melalui barang-barang haram. Atau ia gunakan mulut untuk berbicara dan menyampaikan propaganda demi niat zalimnya. Pun, ia rusak hatinya yang bersih dengan memelihara sikap arogan atau tinggi hati; berprasangka buruk kepada orang lain; membiarkan imajinasinya mengalir liar kepada sesuatu yang tak diingini Tuhan dan nuraninya sendiri. Atau juga mengerjakan prilaku menyimpang atau tidak normal seperti menjadi pelaku dan bahkan bangga menjadi kaum LGBT serta lain sebagainya. Sungguh dahsyat dan lengkap sudah kegelapan mereka.

Efek dari opresi itu akan membuat dirinya menjadi sasaran laknat atau murka Tuhan baik ketika masih hidup di dunia maupun saat mata tertutup selamanya. Selain itu akan memperoleh benci dan kutuk makhluk hidup, terutama manusia yang masih punya hati nurani. Bukan manusia-manusia yang terbiasa pakai topeng, yang selalu cikar dan tangkas berminyak air.

Hati dan imaji orang zalim tidak pernah tentram. Perbuatan jahat itu dilakukan terus menerus karena ia bagaikan sedang minum air garam. Semakin diminum, semakin dikerjakan maka akan semakin haus untuk melakukan kejahatan dan kezaliman berikutnya. Dan bahkan semakin lama frekwensi dan bobotnya kian berat dan parah. Selain itu, para penganiaya ini, para zalimin ini, baik ia percaya atau pun tidak, tentu akan menerima kegelapan dalam menjalani hari-hari panjang sebelum dan setelah kematian.

Menurut Iris Marion Young (2004), ada lima “wajah” atau jenis penindasan/opresi, yaitu eksploitasi (exploitation), marginalisasi (marginalization), ketidakberdayaan (powerlessness), imperialisme budaya (cultural imperialism), dan kekerasan (violence).

Kepada para penindas, para pembuat onar, yang mungkin di dalam hatinya masih tumbuh sejungul tunas kebenaran, kembalilah ke jalan yang lurus dan tidak semak. Pulanglah ke rumah nurani. Berhentilah berbuat zalim kepada diri sendiri, umat manusia dan makhluk hidup serta kepada Tuhan. Pulanglah sebelum terlambat.

Jika tak mau kembali, maka pelaku opresi politik maupun psikologi akan masuk dalam deretan orang-orang yang dicatat dalam tinta kelam sejarah umat manusia. Ia akan berbaris dalam kafilah Fir’aun, Namrud, Qin Shi Huang, Caligula, Attila the Hun, Wu Zetian, Gengis Khan, Thomas de Torqumada, Tamerlane, Pangeran Wallacia, Czar Ivan IV, Bloody Mary, dan lain-lain. Ujung hayat mereka sungguh kelam, gelap dan sepi. Caligula alias Julius Caesar misalnya, ia meregang nyawa setelah diserang sekelompok penjaga dan ditikam sebanyak tiga puluh kali. Fir’aun tenggelam pelan-pelan ke dalam laut, lalu tulang belulangnya diawetkan hingga kini sebagai pengajaran bagi berbilang bangsa sesudahnya. Qin Shi Huang mati akibat ramuan obat yang dihajatkan agar bisa hidup abadi yang diracik para dokternya sendiri. Ternyata ‘obat abadi’ itu yang mengakibatkan denyut nadinya berhenti. Dan, dan, dan banyak lagi. ***

Baca: Makanan, Berhati-hatilah

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *