Nan Silam

BELAJAR dari masa lalu merupakan salah satu cara bijak untuk bergerak ke depan dengan haluan yang jelas dan terarah. Masa silam terkadang bagaikan cermin buram atau cermin retak yang memantulkan wajah walau tak sempurna pada saat ini, kini dan di sini. Olehnya, masa lampau jangan hilang, tidak lenyap begitu saja tanpa ada jejak. Darinya yang lampau, yang silam, yang setu dan yang lalu itu sejumlah pengetahuan dapat digali, dijadikan referensi untuk berbagai ihwal.

Masa lalu atau masa setu dapat direnungi melalui sejumlah kisah, baik dari tokoh protagonis maupun antagonis, baik dari tokoh yang menang maupun yang kalah atau yang dikalahkan, baik dari kisah pilu maupun cerita rindu, yang pada puncanya menjadi sejarah. Yang sejarah itu lebih banyak ditulis oleh orang yang menang atau dimenangkan. Ya, semua kisah yang menjadi data sejarah itu dapat dijadikan pengajaran dan dokumen berharga dari berbagai sudut penglihatan. Untuk inilah maka penyair pujangga baru, Tengku Amir Hamzah pernah mengungkapkan bahwa, dalam beberapa hal, yang silam tetap berharga.

Kisah-kisah heroik masa lampau dapat dilihat dari tokoh-tokoh, untuk menyebut beberapa nama seperti Sulaiman, Musa, Harun, Ya’kub, Yusuf, Zakaria, Yunus, Ibrahim, Ismail, Isa, Muhammad Saw dan lain sebagainya. Kisah-kisah gelap dapat pula ditonton dari Pharao, Namrud, Qin Shi Huang, Tamerlane, Julius Caesar, Thomas de Torqumada, dan lain-lain.

Apa guna belajar dari masa lalu, dari orang-orang dahulu? Kenapa ilmu sejarah tetap eksis sepanjang masa?

“Pelajarilah sejarah agar tidak tergelincir di hari depan,” ungkap Thomas Carlyle. Sementara Soekarno mengingatkan, “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarahmu sendiri. Jikalau engkau meninggalkan sejarah, engkau akan berdiri di atas vacuum, engkau akan berdiri di atas kekosongan.”

Belajar dan mengambil pengajaran dari tokoh masa lampau melahirkan sikap bijak memandang kini dan di sini, sekarang dan di masa datang. Selain itu juga menyenangkan, melahirkan sikap cermat, cergas dan bijaksana dalam berpikir serta bertindak. Belajar dari tokoh di masa lampau juga menginspirasi sehingga kehidupan manusia menjadi kreatif, dinamis, estetis, humoris dan berdada luas.

Prilaku opresi dari tokoh-tokoh sejarah sejatinya hanya untuk dibaca dan diketahui bahwa itu menyalahi fitrah. Namun kesan dan bau wangi dari tokoh-tokoh pembawa kedamaian mesti direnungin dan diikuti, langkah bijak bestari mereka sejatinya didukung dan dilanjutkan. Bahwa sejarah terus berlanjut dengan tokoh yang berbeda, dan kisah serta sepak terjang yang tidak sama. Tinggal memilah dan memilih sebagai pembawa pedang berlumur darah, atau penating buku dan keharuman bunga dengan wajah ceria.

“Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian.” (QS. As-Shaffat: 108)
Kepahlawanan, kecintaan dan kesetiaan Ibrahim kepada Tuhan nan tiada bandingnya membuat namanya dicatat dalam sejarah besar. Namanya bahkan diabadikan dalam buku agung, yaitu kitab suci sebagai manusia terpuji.

Sebaliknya prilaku Pharao juga diabadikan namun sebagai pengajaran agar jangan mengikuti prilakunya dalam merenangi alam Tuhan. Pharao yang lupa diri. Mengenakan busana kesombongan yang bukan pakaiannya.

“Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu (Fir’aun) supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu, dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami.” (QS. Yunus: 92)

“Tunjukilah kami jalan yang lurus. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. AlFatihah: 6-7)

Wallahu a’lam. ***

Baca: Opresi

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *