Cerpen Zulhan Nurhathif: Lelaki yang Takut dengan Cermin

Ilustrasi

SETIAP kali menghadap cermin ia merasa takut atau paling tidak ia merasa gentar seperti perasaannya terhadap waktu.

Di dunia ini ada ribuan atau mungkin jutaan cermin, padahal. Di rumahnya saja ada 3 cermin, satu di kamar orang tuanya, satu di kamar kakaknya, dan satu lagi di ruang tengah. Dulu di kamarnya ada satu cermin yang biasa ia gunakan untuk mematut muka sehabis mandi, sebelum berangkat sekolah atau sebelum ia bertemu dengan pacarnya. Tapi 2 tahun lalu ia membuang cermin yang ukurannya tak seberapa besar itu. Sebab ia takut, sangat takut, atau mungkin lebih tepatnya ia gentar, sangat gentar saat menghadap cermin.

Awalnya saya mengira rasa takutnya (atau rasa gentarnya) kepada cermin itu timbul setelah ia menyadari jika di mukanya yang sawo matang jerawat telah tumbuh subur dan beranak pinak, bibirnya yang menghitam karena terlalu sering menyesap rokok kretek, atau mungkin ia sadar jika dirinya dan terutama mukanya itu terlampau ndeso untuk bisa mengikuti mazhab fashion Mas-Mas Korea seperti Tae hyung, Jungkook, Ji Chang Wook, Han So Hee atau seorang tokoh yang lain yaitu Lee Min Ho.

Perkiraan saya mendasar pada sikapnya akhir-akhir ini yang sering terlihat murung saat menghadap cermin, bahkan ia sering berlama-lama di depan cermin dengan wajah yang semakin lama semakin kusut itu. Apakah karena semakin ia sering menatap mukanya di cermin menjadikannya semakin sadar jika memiliki muka yang putih, bersih dan terawat dengan rambut belah tengah hanyalah halusinasi belaka?

“Mukamu terlalu ndeso!” demikian olok-olok yang paling sering ia dengar entah itu dari teman, tetangga atau bahkan anggota keluarganya yang mengetahui jika diam-diam ia mengidolakan Mas-Mas Korea.

Ia tentu saja muak mendengar umpatan itu bertahun hingga pada suatu saat karena kesadarannya—dan tentu saja omongan orang-orang—itulah pada suatu sore, ketika ia pulang ke rumah dan tetiba masuk ke kamarnya dengan tergesa, ia berdiri menghadap cermin. Cukup lama ia becermin, sesekali jari-jari tangan kanannya memegang dagunya yang sebelah kiri kemudian ia memiringkan wajahnya ke kanan begitu juga sebaliknya, ia ingin melihat muka itu secara lebih detail.

Hari itu mungkin adalah hari di mana kesadarannya puguh dan purna. Setelah lebih dari 30 menit mengawasi muka yang ada di dalam cermin, dengan diliputi perasaan putus asa ia menggumam, “Menjadi oppa bukanlah jalan ninja saya!” Ia menghembus nafas panjang dan lalu merebahkan tubuhnya yang nampak lesu di atas kasur.

***

Dulu, sebelum mempunyai perasaan takut terhadap cermin ia memang jarang becermin. Ia hanya akan becermin saat berada di kamarnya, dengan cermin cermin yang ada di kamarnya. Ia sangat menyayangi cermin itu, pun itulah satu-satunya barang yang pernah ia minta kepada Bapaknya. Ia merasa jengah.

“Jika Bapak berkenan, Saya ingin di kamar Saya ada cermin.” Ia mengatakannya dengan malu-malu.

“Untuk?” Bapaknya menjawab dengan pertanyaan singkat.

“Saran dari Pak Was.”

Kegemarannya becermin bermula sejak ia menginjak kelas 3 sekolah menengah pertama. Seperti sekolah lain pada seminggu pertama setelah libur semester 2 biasanya hanya diisi dengan perkenalan, obrolan ringan, dan pembicaraan sepintas lalu mengenai apa-apa saja yang akan mereka pelajari selama satu semester, hanya guru-guru dengan semangat api yang membara yang mengisi hari itu dengan pelajaran.

Nah, pada hari-hari itulah ia berkenalan dengan gurunya yang bernama Waskito (ia dan teman-temannya kemudian menyapanya Pak Was), beliau pengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia sekaligus wali kelasnya.

Di antara sekian banyak guru yang masuk ke kelasnya hanya Pak Was satu-satunya guru yang baginya menarik. Sebab Pak Was lain, ia tak serupa guru-guru pada umumnya; galak, serius, dan pilih kasih. Tidak! Pak Was jauh dari itu. Jika guru yang lain sangat menyayangi muridnya yang pandai maka Pak Was sebaliknya.

Bagi Pak Was tugasnyalah untuk mencerdaskan muridnya yang bodoh. Maka ia tak habis pikir saat ada lomba pidato Bahasa Indonesia antar kelas ia yang dipilih untuk mewakili kelasnya. Tentu saja ia protes kenapa ia yang dipilih bukanya Yuli. Tapi, tanggapan Pak Was membuatnya semakin mengaguminya, ia pun menurut.

Baginya, Pak Was adalah seorang yang bijak, pandai bercerita dan terutama humoris. Banyak cerita yang Pak Was kisahkan, banyak kebijaksanaan yang Pak Was beberkan, dan banyak humor yang Pak Was lontarkan dalam setiap pertemuan. Sehingga menjadi wajar bila ia mengidolakan Pak Was dan selalu bersemangat bila Pak Was mengajar kelasnya, meskipun ia tak menyukai pelajaran yang Pak Was ajarkan: Bahasa Indonesia.

Namun, dari kesemuanya itu, hal yang paling membuatnya teringat dengan Pak Was adalah cermin. Pada pertemuan pertama itu Pak Was bercerita tentang banyak hal salah satunya adalah masa kecilnya. Beliau bercerita tentang pohon jambu tempatnya biasa belajar dan tentang cermin ajaib. Dan yang terakhir itulah yang paling menarik.

Syahdan, saat Pak Was kelas 3 SMP beliau mempunyai sebuah cermin ajaib di kamarnya. “Cermin itu berisi rajah yang membuat saya menjadi seperti sekarang ini,” katanya.

“Kalian tahu apa bunyi rajah itu?” tanya Pak Was.

Semua murid terdiam dan hanya menggelengkan kepala. Mereka semua penasaran dengan apa bunyi rajah itu. Bahkan ia sudah menyiapkan pulpen untuk mencatat apa bunyi rajah itu: ia akan menuliskannya juga di kamarnya dan setelah ini ia akan meminta Bapak untuk membelikannya cermin.

***

Ia baru bangun sekitar jam 11 siang saat perutnya terasa lapar. Semalam ia begadang—seperti puluhan malam yang lain. Yang ia lakukan pertama kali adalah membuka gawainya yang kini malih menjadi sepi dan menakutkan. Tapi toh ia tetap membukanya. Mula-mula ia membuka whatsapp, barangkali ada chat yang masuk, pikirnya. Nihil. Terakhir kali chat masuk satu minggu yang lalu. Kemudian ia beralih menonton video pendek sampai tak sadar jika waktu rupanya terus melaju. Ia masih telentang saat azan zuhur berkumandang.

Kegiatan semacam itu sudah ia lakukan sejak sebulan lalu, atau dua bulan lalu, atau bahkan lima bulan yang lalu. Dari sekian banyak manusia saya rasa dialah yang paling pemalas dan nyaris tak punya gairah hidup. Padahal, teman-teman sebayanya sudah bekerja bahkan banyak yang sudah berkeluarga.

Tapi begitulah, ia masih menjalani harinya dengan malas, sangat malas. Ia tampaknya tak peduli dengan masa depan, baginya hidup akan selamanya seperti itu. “Nasib baik tak ada!” katanya, “Saya telah dikutuk untuk selamanya gagal, menderita dan kesepian.”

Di perantauan tempatnya kuliah ia tak punya teman. Sebagian teman sekelasnya telah lulus, sebagian yang lain sedang sibuk dengan skripsi. Hanya dia yang sibuk nganggur. Satu-satunya teman adalah pacarnya.

Nahas lima bulan lalu ia diputus oleh pacarnya. Alasan si perempuan cukup masuk akal. Ia seorang aktifis selain juga sibuk bekerja untuk membiayai sendiri hidupnya. Dan karena itu si perempuan tidak punya waktu untuk terus menerus menemaninya, mendengarkan curhatnya, mendengar dia mengutuki nasibnya. Perempuan itu bosan dengan seorang pengangguran yang hidupnya acakadut, yang hanya menyesali nasib tanpa berusaha memperbaikinya.

Sebenarnya ia menyesal terutama saat ia meminta uang dengan dalih keperluan untuk kuliah. Ia merasa berdosa sebab ia sudah meninggalkan kehidupan kampus lima bulan yang lalu. Ia sadar selama itu ia berbohong, tapi toh sekalipun berdosa jika dikerjakan terus menerus akan terbiasa.

***

Pagi itu hari Minggu, setelah begadang semalaman ia memutuskan untuk pulang barang sejenak. Jarak menuju rumah hanya sekitar dua jam. Begitu sampai ternyata rumah kosong. Ia tak sempat memberi kabar Ibunya jika hendak pulang. Selalu seperti itu.

Karena rumahnya kosong dan tak ada apapun untuk ia kerjakan, ia pun masuk ke kamar. Waktu tidurnya semalam harus ia balas. Tapi sebentar, baru sejenak ia berbaring matanya tertuju ke sebuah benda yang menempel di lemari bajunya.

Rupanya benda itu masih di sana, masih sama seperti 10 tahun lalu saat ia memintanya kepada Bapak. Ia lantas berdiri. Mendekati benda yang menempel di lemari bajunya itu; mengawasinya.

Ingatannya saat mengawasi benda itu melayang jauh menuju saat pertemuannya dengan Pak Was waktu pertama masuk kelas 3 SMP dulu. Ia masih ingat kenapa ia ingin punya benda itu, Pak Was menyebutnya cermin ajaib. Ia juga masih ingat kenapa disebut cermin ajaib karena Pak Was membubuhinya rajah, dan rajah itulah yang ia tulis juga kemudian.

Ya, dia melihatnya, tulisan yang ia tulis di cerminnya 10 tahun lalu. Dadanya mendesir dan ia ingin menonjok sosok yang ada di dalam cermin saat pelan-pelan membaca tulisan itu:

“SEPULUH TAHUN LAGI KAMU JADI APA?”

“Bangsat!”.

(Prraaang!) Cermin itu pun pecah, dan darah mengalir dari tangannya.

Al Ikhsan, 25 Juni 2024

*) Cerpen ini telah ditayangkan oleh erakini.id edisi 28 Juni 2024

——————

Zulhan Nurhathif, lahir di Pemalang, 2002. Santri Pondok Pesantren Al Ikhsan Beji, pencinta kretek dan aktif di Komunitas Kepenulisan Al Ikhsan (KOPIAH). *

Baca: Suatu Kebermaknaan

*** Laman Cerpen terbit setiap hari Minggu dan menghadirkan tulisan-tulisan menarik bersama penulis muda hingga profesional. Silakan mengirim cerpen pribadi, serta terjemahan dengan menuliskan sumbernya ke email: [email protected]. Semua karya yang dikirim merupakan tanggungjawab penuh penulis, bukan dari hasil plagiat,- [redaksi]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews