Kuala Lumpur, Bali, Oktober

PADA 7 Oktober, ia menginjakkan kaki di Kuala Lumpur, Malaysia. Dari tempatnya bermalam, menara kembar alias Petronas Twin Towers tampak menjulang megah. Jika ia mengalihkan pandangan sedikit saja, menara kembar tersebut tegak seolah-olah serampang bermata dua hendak mencucuk awan.

Ia hanya menghabiskan tiga hari dua malam di tanah semenanjung. Hari pertama, mengunjungi Dataran Merdeka, duduk sejenak di depan Perpustakaan Kuala Lumpur, menyaksikan keramaian orang-orang dari berbagai suku bangsa yang menikmati suasana di sana.

Petang menjelang maghrib, ia dan keluarganya menikmati air mancur berwarna warni di area Petronas Twin Towers. Anak kecilnya tak sadar bahwa mereka memang sedang di Malaysia. Setelah melihat ke belakang lalu menengadah ke atas, mulut mungil si kecik bergumam. “Kita di Malaysia, Yah. Malaysia,” katanya seolah tak percaya. Mata kecilnya terbelalak.

Keesokan harinya, bersama keluarga, ia berangkat ke Resorts World Genting, yang terletak di puncak Gunung Ulu Kali, pegunungan Titiwangsa, Malaysia. Mereka menikmati perjalanan dengan cable car yang meluncur di atas lereng dan perbukitan.

Saat meluncur, menengok ke bawah, dan melihat ke sekeliling, ia teringat akan Sumatera Barat. Banyak keindahan dan perbukitan berlapis seperti di Genting ini maujud di sana. “Sungguh malang negeriku,” pikirnya. Semua keindahan dan kedamaian itu terasa jauh. Bukankah negeriku kaya akan hasil alam dan sumber daya manusia? Mengapa negara besar itu tidak dapat mewujudkan tempat seperti di Pahang, Malaysia ini?

“Ah, besok masih ada harapan. Bukankah negeriku baru saja berganti nakhoda? Semoga dengan semangat dan tindakan baru, tuan kapten kapal dan para pembantunya yang akan dilantik pada akhir bulan Oktober dapat membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik di masa depan,” doanya dalam hati. Namun, andai suatu hari ia dapat berdiri di tempat yang serupa ini di sana, tentu tanpa campur tangan kasino. Ya, tanpa lapak judi.

Dari Malaysia, ia bertolak ke Bali. Aneh memang, mengapa ia ke Bali melalui Kuala Lumpur? Ya, ke Bali mesti memakai paspor. Ternyata, tiket yang dipesan istrinya dari Pekanbaru via Kuala Lumpur Internasional Airport (KLIA) menuju Bali lebih murah dibandingkan tiket dari Pekanbaru ke Bali via Jakarta. Menarik memang. Tapi sudahlah, baginya ini seperti sekali merengkuh pengayuh, dua tiga tanjung terlampaui, singgah sekejap di Kuala Lumpur dan bermain sejenak di Bali.

Setelah tiga jam terbang, akhirnya mendarat di Bandara Ngurah Rai sekitar pukul 20.30 WITA. Mobil yang akan membawanya berkeliling negeri pura sudah siap. Malam itu ia menyetir sendiri melalui jalan-jalan sempit menuju salah satu guest house di Desa Adat Tuban. Ini merupakan pengalaman pertamanya menyetir di luar Sumatera, tanah pujaannya.

Pagi-pagi sekali, mereka berkeliling Bali. Ia terkesima dengan perbukitan dan hutan yang tampak menguning. Dahan dan ranting kelihatan kering, seolah ditinggalkan daun hijau. Panas matahari terasa menyengat sangat.

“Bali sedang meranggas,” gumamnya dalam hati.

Siang itu mereka mengunjungi Pura Uluwatu yang megah di atas tebing laut yang hijau. Di tengah panas berdentang, ia dan anak bungsunya bercanda dengan monyet-monyet pencuri kacamata, sesekali melihat turis-turis yang ingin berinteraksi dengan monyet-monyet nakal tersebut. Sekali-sekala, ia melirik ke bawah, ke arah deburan ombak yang menerjang tebing. Sekali dua menghalakan pandangan pula ke tengah laut. Terkadang air tampak hijau, sesekali berwarna biru.

Setelah berkomunikasi imaji dengan Mpu Kuturun dan Danghyang Nirartha, ia melanjutkan perjalanan ke Pantai Pandawa, Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Hari sudah mulai agak petang. Bersama dua anaknya, mereka berendam sambil menikmati hempasan gelombang sebelum matahari terbenam di tengah selat Bali. Sementara istri dan anak keduanya menelusuri tanah barak. Konon menjadi tempat yang viral di media sosial karena menjadi instagramable.

Ia sedikit terganggu saat seekor anjing hitam berlari ke arahnya ketika berendam di tepi laut. Pemilik anjing tersebut, seorang wanita bule hanya tersenyum dari jauh ketika melihatnya berenang ke tengah secara tergesa-gesa karena cemas dikejar binatang itu.

Malam itu juga, mereka berangkat menuju Kuta untuk beristirahat, lelah sedikit menghimpit.

Pagi, seusai sarapan, istri dan anak-anaknya menjejakkan kaki di Pantai Legian, sementara ia menunggu mereka sambil melepas lelah di kamar.

Ketika matahari baru sedikit tinggi, mungkin melebihi sepenggalah, ia mengemudikan mobil putih menuju Tanah Lot. Di sana, ia menikmati deburan ombak yang menerpa dua pura. Sambil merendam tumitnya di pinggir laut yang berbatu lumut, ia menikmati alunan musik dari daratan saat umat beribadah di dalam pura.

Sebelum petang menjelang, mereka beranjak menuju Pantai Lovina, Kecamatan Buleleng. Mereka menginap hampir di bibir pantai. Suara ombak menjadi nyanyian pengantar tidur malam itu.

Pagi-pagi buta, sebelum matahari terjungul di langit Bali, mereka pun menunggang gelombang, bertemu dengan sekawanan lumba-lumba yang asyik bermain di tengah laut. Setelah sekian lama saling berkejaran dengan perahu-perahu lain, mereka menepi ke pantai, berenang sejenak, menyelam, mengapung, berkecipak kecimpung, dan berkejaran dengan ikan-ikan karang di akuarium raksasa Pantai Lovina.

Sebelum kembali ke dermaga, ia menatap perbukitan di tepi pantai. Bukit-bukit itu tampak menguning. Pepohonan meranggas. “Bali sedang meranggas…” gumamnya lagi.

Angin dan gelombang laut seolah bercanda dengannya, membuat alam tampak berputar di matanya. Kepalanya terasa pusing. Ia meneguk air mineral, memejamkan mata.

Ia bergumam dalam: Bali, ketika kutiba, kau meranggas.

Semua kuning. Yang tersisa kering. Tinggal kerontang.

Bali, dalam riuhmu masih ada hijau.
masih ada biru, haru, sendu
di hati sunyi,

dalam diamku tak mengerti,
dalam selimut sepi yang pagi,
dalam laut rinduku, pergi…
(bersambung)

Baca: Rumah Baca

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews