Kuala Lumpur, Bali, Oktober (2)

MATAHARI hampir tegak lurus di atas ubun-ubun. Di sudut kafe yang terintegrasi dengan supermarket, mereka menikmati panorama megah Gunung dan Danau Batur. Kebahagiaan merasuki jiwanya; pemandangan ini dulunya hanya terpampang dalam buku agenda ayahnya atau kalender yang menghiasi dinding rumah. Kini, ia benar-benar berada di sini. Namun, keindahan gunung dan danau itu tampak berkurang, tidak sehiijau kenangan yang tersimpan dalam buku agenda dan almanak tersebut.

Pikirannya melayang ke Genting Highlands di Malaysia beberapa hari lalu. Bukankah pemandangan ini serupa, bahkan lebih lengkap dan eksotis? Danau Batur, yang dikenal sebagai salah satu danau tercantik di Indonesia, menambah kesegaran pandangan, meski gunung Batur kini terlihat agak kekuningan, mungkin akibat kemarau yang melanda.

Ah, andai ada skyway seperti di Genting Highlands di sini, pasti kemolekan puncak Kintamani akan semakin sempurna. Skyway itu akan menghubungkan puncak Kintamani, meluncur menuju Gunung Batur, dan berakhir di Danau Batur. Setelah menikmati keindahan danau, pengunjung dapat kembali ke puncak Kintamani, melanjutkan perjalanan ke mana hati mereka ingin dibawa. Jika saja itu menjadi kenyataan, negeri pura ini akan semakin menjadi ‘kampung bule’. Menyebutnya demikian, tentu ada rasa ngeri namun sekaligus menggoda. Namun, semua itu masih sekadar angan.

Setelah meneguk secangkir kopi, ia melanjutkan perjalanan menuju Puncak Kintamani, tertegun sejenak di depan bangunan mirip koloseum tak jauh dari tempatnya ngopi. Ia ingin mengabadikan momen si kecil dengan latar belakang Gunung Batur dan Danau Batur.

Mereka merangkak di jalan berkelok yang melilit pegunungan, menuju Desa Penglipuran di Kabupaten Bangli, sebuah perkampungan adat yang diakui UNESCO sebagai desa terbersih ketiga di dunia. Benarkah?

Matahari sudah mulai condong ke barat ketika mereka tiba di desa Wisata Penglipuran. Turis dan penduduk lokal dalam balutan baju putih berlalu-lalang di jalanan. Payung-payung kuning yang disebut tedung menghiasi area tersebut, sementara janur kuning atau penjor membungkuk seolah memberi hormat kepada para pengunjung yang datang menjelang senja itu. Desa ini memang menawan dan bersih.

Tak lama kemudian, mereka beranjak menuju Sanur, merencanakan malam di sana sebelum melanjutkan penyeberangan ke Pulau Nusa Penida esok harinya.

***

Pagi, 13 Oktober. Pantai Matahari Terbit Sanur dipadati pelancong. Sebagian menikmati keindahan laut, sementara banyak yang bergegas menuju dermaga. Lelaki itu bersama keluarganya termasuk dalam rombongan panjang menuju pelabuhan Sanur yang didominasi turis asing.

Setelah berlayar lama, mereka akhirnya tiba di Pulau Nusa Penida, pulau cantik yang konon memiliki aura mistis. Mobil dari agen travel siap mengantar mereka ke Kelingking Beach, Broken Beach, Diamond Hills, Paluang Cliff dan destinasi lainnya.

Sinar matahari terasa begitu garang. Pepohonan di kiri kanan jalan tampak meranggas, daunnya berguguran, batang dan dahan kekeringan.

Saat tiba di Diamond Hills, si kecil meminta es krim. Untuk satu batang es krim, ia merogoh saku puluhan ribu rupiah. “Di Bali, nilai rupiah sepertinya semakin jatuh,” katanya kepada istrinya. Istrinya hanya tersenyum sambil menatap ke bawah, ke tebing curam yang dihantam ombak. Uniknya, es krim itu tidak habis dimakan si kecil; sebagian dibagikan kepada abangnya. Entah karena kurang lezat atau sekadar ingin berbagi, ia tidak tahu.

Sebagaimana di destinasi wisata Bali lainnya, tempat ini pun ramai oleh turis asing. Ia terus mendampingi si kecil, sementara istrinya berjalan bersama anak keduanya, Fikraneil. Jalan menurun dan mendaki membuat si kecil dan anak ketiganya enggan bergerak.

Setelah berfoto di lokasi yang instagramable, mereka pun kembali. Suhu semakin membara. Karena teriknya matahari, ia tidak bisa sepenuhnya menikmati panorama yang indah. Semua terasa tidak nyaman.

Mereka terus menapaki jalan-jalan berbatu dan berbukit, singgah di setiap destinasi.

Hampir senja, mereka tiba di Pantai Batu Mulapan, tempat mereka akan bermalam. Sebelum gelap benar-benar tiba, ia dan anak-anaknya menikmati hempasan ombak yang menjilat pasir pantai. Zidan dan Hanan sibuk mengumpulkan tripang lalu melemparkannya kembali ke laut.

Malam datang dengan sempurna, hitam menyelimuti segalanya. Suara ombak kian hingar, deburannya seakan memantak telinga.

***

Lelaki itu asyik berbincang sambil meneguk secangkir kopi bersama sahabatnya, sastrawan Indonesia asal Bali, Wayan Jengki Sunarta. Lama sudah mereka tak bersua, sejak Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia di Mercure Ancol tahun 2017.

Perbincangan siang itu tidak hanya mengalir dan fokus tentang sastra dengan segala seluk beluknya, tetapi juga meliputi konsep mikrokosmos dan makrokosmos, tentang alam nyata dan yang tak kasat mata. Dari perbincangan inilah, ia tahu bahwa Pulau Nusa Penida yang memesona itu dulunya dianggap sebagai tempat mistis. “Untuk ngecas kesaktian bisa dilakukan di salah satu pura di sana, Bang.,” ujar Jengki senyum tipis. “Mengapa baru sekarang Bli Jengki sampaikan?” tanyanya dengan senyum pula.

“Tapi Abang sudah dicas ‘tu karena sudah menginjak pulau tersebut,” ungkap lelaki berjaket biru itu tersenyum lagi.

Mereka tertawa bersama. Sungguh, perbincangan itu penuh keasyikan, dan seolah-olah tak akan berakhir.

Ia membiarkan keluarganya menikmati Bali Zoo, yang di dalamnya juga terdapat Kampung Sumatera, tempat di mana mereka bisa melihat kekayaan alam Sumatera dan sebagian kebudayaannya serta fauna dari berbagai belahan bumi lainnya.

Petang menjelang, anak-anak dan istrinya berkumpul kembali. Tak lama lagi, mereka akan menuju Denpasar, karena esok pagi-pagi sekali akan kembali ke Kuala Lumpur, lalu pulang ke Pekanbaru. ***

Baca: Kuala Lumpur, Bali, Oktober

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews