……
Raja adil raja disembah
Raja lalim raja disanggah!
Ditikamnya keris ke lambung Sultan
Tikam menancap memutih darah
Sultan bersumpah:
Tujuh keturunan orang Bentan
Bila menginjakkan kaki di Kota Tinggi
Akan muntah daraaaaaah…!
…….
ITULAH penggalan dari puisi Tragedi Berdarah di Kota Tinggi karya Samson Rambah Pasir yang telah tayang di channel youtube miliknya, penyair yang kini duduk di depanku. Lelaki yang berasal dari Rokan ini, meskipun sudah beberapa tahun berlalu, tidak banyak berubah. Bahkan, ia kini tampak semakin lincap, lincah dan penuh semangat. Mungkin kebahagiaan semakin menemani hari-harinya di Batam.
Hari itu, ia mengajak beta menikmati teh tarik di sebuah kafe di kawasan Bengkong. Belum lesap secangkir teh, tiba-tiba ia bangkit, minta diri untuk bernyanyi. Wah, ternyata selain seorang penyair, ia juga seorang penyanyi. Semoga penyanyi kafe tidak merasa iri padanya, pikiku. Istrinya pun sibuk merekam suaminya yang bernyanyi dengan penuh semangat.
Tak lama, seorang pria berperawakan kecil dengan tanjak hitam di kepala dan berbaju layang warna hitam memasuki kafe. Beta langsung mengenalinya. Itu adalah Tarmizi Rumah Hitam, seorang yang dulu sering berbicara tentang karya sastra dan budaya dengan identitas warna hitam yang khas. Kami saling menyapa dan bersalaman. Tarmizi, dengan senyum khas dan gaya ‘jerrrr-nya’, segera bergabung dengan kami.
Kami bertiga pun terlibat dalam obrolan menarik tentang berbagai hal. Bicara dengan seniman seperti Samson dan Tarmizi memang selalu menyenangkan dan tak pernah terasa bosan. Tarmizi, yang kini lebih dikenal dengan sebutan Sultan Rumah Hitam, mengajak kami ke bengkel tanjaknya yang sangat ia banggakan.
Setelah berpamitan dengan Samson Rambah Pasir dan istrinya serta penyanyi kafe, kami melanjutkan perjalanan. “Pak Doktor,” kata Tarmizi, “Kita jemput Datok dari Malaysie dulu ye. Die masih mude, tapi cukup berpengaruh di Malaysie,” katanya. “Silakan,” jawabku. “Die memang mude, tapi punye pengaruh cukup besar di Semenanjung,” lanjutnya.
Kami menuju sebuah hotel, dan setelah beberapa waktu menunggu di parkiran, akhirnya dua pria, yang satu tampak tegap dengan tubuh tinggi dan mengenakan kaos oblong, keluar dari lobi hotel. Mereka berjalan menuju mobil kami. Setelah kaca mobil dibuka, sambil tersenyum Tarmizi menyapa mereka, “Silekan masuk, Datok.”
Percakapan pun dimulai dengan akrab di antara kami. “Ini Tuan Doktor dari Pekanbaru Riau, Datok,” kata Tarmizi memperkenalkan beta kepada tamunya yang duduk di bangku belakang. “Oh, ya?” sambutnya dengan senyuman. Beta pun membalas senyumannya dengan senyum kecil.
Petang itu, Batam sangat padat. Lalu lintas macet sangat, terutama di jalan yang berada di sisi kanan kami. Kami terus beringsut pelan, menuju ke arah masjid untuk menunaikan shalat Maghrib. Sesampainya di masjid, kami langsung bergabung dalam saf dan shalat berjamaah. Saat imam mulai membaca surat Al-Fatihah di rakaat pertama, kami pun tiba.
Usai shalat Maghrib, Tarmizi mengajak kami ke rumah butiknya. Di sana, kami melihat berbagai koleksi busana Melayu, kain sampan, capal, souvenir, aksesoris dan tanjak dengan bentuk yang beragam. Sambil berbincang, kami mencoba beberapa koleksi dan berfoto bersama. Tarmizi juga sempat mewawancarai beta dan datok dari Malaysia. Mungkin akan diunggahnya di saluran YouTube milik-nya. Ya, mungkin agaknya.
Di bengkel rumah hitam itu, beta sempat berpose dengan beberapa busana yang sangat menarik. Dalam hati, bertekad suatu saat akan mengoleksi busana-busana indah itu.
Tak lama kemudian, Tarmizi mengajak kami ke kedai minuman teh telur serai, yang menurutnya merupakan resep rahasia miliknya. Setelah meminumnya, beta merasa kuliner ini memang istimewa. Daku juga memesan nasi goreng, yang ternyata lezat nian dan mengenyangkan.
“Nasi gorengnye sedap?” tanya Datuk dari Malaysia.
“Di lidah saye, sangat sedap,” jawabku.
“Kalau begitu, pesan satu lagi,” katanya sambil tersenyum.
Saat kami menikmati hidangan malam itu, Tarmizi dan kedua tamu dari negeri jiran berbincang tentang berbagai hal. Beta sesekali ikut serta dalam percakapan. Dari obrolan kami, daku mengetahui bahwa salah satu tamu dari Malaysia itu ternyata berasal dari Bintan, Kepulauan Riau. Ia juga menceritakan pengalaman-pengalamannya berkunjung ke Bengkalis dan beberapa daerah lainnya di Riau.
“Kalau begitu, Datok, boleh datang ke kabupaten Pelalawan besok,” ajakku. “Di sane juge ade jejak kebesaran tanah Semenanjung,” lanjutku.
Lelaki itu tersenyum, dan kami pun saling bertukar nomor WhatsApp.
Setelah tiba di Riau, kami saling bertukar informasi tentang kegiatan masing-masing. Ternyata, Dato’ Indra Setia Nazri Al Bentan adalah keturunan kesembilan dari Laksmana Bintan/Bentan, yaitu Megat Seri Rama yang terkenal karena keberaniannya menegakkan kebenaran dengan menentang Sultan Mahmud Mangkat Dijulang di Kota Tinggi, Johor. Ini sesuai dengan isi puisi Samson Rambah Pasir di awal Tepilangit hari ini.
Selain itu, Dato’ Haji Nazri bin Kamal Al Bentan juga merupakan Presiden dan Pengasas Persatuan Kebajikan Zuriat Keturunan Pusaka Bentan Malaysia, serta seorang pegiat tanjak yang dikenal di Malaysia, Singapura, Indonesia, Jepang, dan banyak negara lainnya.
Ah, di Batam sekali ini, beta menemukan sesuatu yang tak terduga dan sangat berharga tapi tentu saja telah direncanakan oleh Yang Kuasa. Ada Tuan Samson dengan Puisi tentang Megat Seri Rama, maujud pula Tuan Tarmizi yang dermawan, ada juga Dato’ Nazri Al Bentan. Semua seperti kebetulan, tapi sesungguhnya bukan kebetulan tapi kebenaran. Ya, semua benar-benar telah diatur oleh Dia. Bukankah di dunia ini tidak ada yang kebetulan? Tuhan tidak bermain dadu dengan alam semesta, di bawah aturan yang Dia buat sendiri, seperti yang dikatakan Albert Einstein.
Ya, semua telah disusun, dirancang, dan diskenariokan sedemikian rupa oleh-Nya. Manusia hanya makhluk lemah yang mampu takjub, mengikuti, dan mensyukuri segala yang diberikan-Nya.
“Ke depan, ape lagi yang nak akan kite lakukan, Datok?”
“Tuan Samson dan Tuan Tarmizi, kapan kite akan membace puisi dan berdiskusi bersame di Batam tentang Melayu kite, seperti zaman dulu, ketike Riau dan Kepri masih dalam satu provinsi?”
“Bilekah itu???” ***