“TIDAK penting apa pun agama dan sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.” (Gus Dur)
***
Beberapa tahun lalu, sewaktu menjelang pelaksanaan shalat Jumat, tepatnya saat seorang ustaz muda sedang menunggu waktu hendak naik mimbar untuk menjadi khatib, seorang mantan pejabat menceritakan kepadanya kisah tentang keajaiban sedekah, yaitu sebuah kisah tentang kekuatan, kelebihan dan motivasi agar berbuat baik tanpa memandang warna kulit, suku, bangsa, agama, atau status sosial.
Saat itu belum ramai Jemaah datang ke masjid. Hanya beberapa orang yang sudah tua saja yang mengisi saf-saf paling sudut.
Mantan pejabat yang merupakan anak jati Melayu itu menceritakan masa ketika ia menjabat sebagai camat di salah satu daerah di Kepulauan Riau, ketika provinsi tersebut masih menjadi bagian dari wilayah Provinsi Riau. Kondisi ekonomi masyarakat pada waktu itu sangat memprihatinkan, dengan banyaknya keluarga yang bahkan kesulitan mendapatkan beras, makanan pokok yang menjadi bagian terpenting dari kehidupan sehari-hari.
Dalam kisahnya, saat dirinya mengunjungi sebuah kampung yang dihuni oleh masyarakat dengan latar belakang etnis yang beragam. Ia membawa bergoni-goni beras untuk dibagikan kepada warga yang kurang mampu. Salah satu masyarakat yang ia temui adalah keluarga etnis Tionghoa yang hidup dalam kemiskinan.
Sekitar 20 tahun kemudian, kejutan tak terduga datang menghampiri. Saat itu ia telah duduk sebagai pejabat tinggi di tingkat provinsi. Pada masa itu, istilah gratifikasi yang sering terdengar sekarang belum begitu dikenal.
Suatu hari, ketika ia sedang berada di Jakarta, dan baru saja selesai bertemu dengan seorang pengusaha, ajudannya menyerahkan sebuah map yang berisi amplop. Tanpa curiga, ia membuka amplop tersebut di perjalanan, dan betapa terkejutnya ia saat melihat di dalamnya terdapat cek senilai jutaan rupiah.
Segera ia memanggil ajudannya untuk meminta nomor telepon pengusaha muda yang baru saja ia temui.
“Ada apa, Pak?” suara di ujung telepon terdengar sedikit terkejut.
“Ini ‘kan Anda yang memberikan amplop tadi?” jawab sang mantan camat bertanya.
“Iya, Pak,” jawab suara dari seberang.
“Sepertinya ada kesalahan. Anda salah beri amplop kepada saya. Ini nilainya sangat banyak. Tolong ambil kembali. Di mana kita bisa bertemu?” tanya sang mantan camat.
“Pak, itu bukan salah beri,” jawab pengusaha itu dengan suara yang sedikit tercekat. “Itu memang untuk Bapak.”
Sang mantan camat pun bingung. “Tidak, saya tidak mau menerima ini. Ini jumlahnya terlalu besar,” ujarnya tegas.
“Begini, Pak. Izinkan saya menceritakan sesuatu,” jawab pengusaha tersebut dengan nada yang lebih serius.
“Silakan, apa yang ingin Anda ceritakan?” tanya mantan camat tersebut.
“Ketika Bapak menjadi camat di salah satu daerah di Kepri sekitar 20 tahun lalu, pada suatu hari Bapak membawa beras satu goni ke rumah keluarga keturunan China,” suara dari seberang terhenti.
“Ada anak lelaki gendut yang duduk di samping pintu Bapak masuk. Itu adalah saya, Pak,” suaranya seperti tercekat di kerongkongan.
Mantan camat itu terdiam sejenak, lalu mulai mengingat kejadian tersebut. “Oh, itu kamu rupanya?” katanya pelan.
“Ya, Pak. Kalau saat itu Bapak tidak memberi kami beras, mungkin sudah dua hari kami tidak bisa makan nasi,” ujar pengusaha tersebut dengan suara bergetar. “Kami benar-benar miskin saat itu, Pak.”
Sang mantan camat pun terdiam.
“Jadi, cek itu sebenarnya tidak ada kaitannya dengan pertemuan kita tadi, Pak. Tapi adalah bentuk terima kasih saya atas kebaikan Bapak yang sudah membantu keluarga kami,” lanjut pengusaha muda tersebut.
Mantan camat itu menceritakan kepada ustaz muda bahwa cek tersebut ia gunakan untuk mendaftar haji bagi dirinya dan keluarganya pada tahun itu. Pada masa itu, keberangkatan haji tidak memerlukan waktu bertahun-tahun seperti sekarang. Sebagai hasilnya, ia dan keluarganya pada tahun itu berangkat ke Tanah Suci dengan dana tersebut.
Kisah ini menggambarkan betapa besar manfaat dari berbuat baik. Namun, apakah seseorang mesti berbuat baik dengan harapan menerima balasan seperti itu? Tentu tidak. Kebaikan yang tulus dan ikhlaslah yang akan mendatangkan keberkahan berlipat-lipat. Tapi jika Allah membalas kebaikan seperti kisah di atas, tentu sebuah anugerah yang luar biasa untuk disyukuri karena Allah Swt membayar tunai semua kebaikan itu saat masih berada di alam dunia.
Kisah ini menjadi bukti nyata dari janji Allah Swt dalam Alquran. “Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada setiap bulir terdapat seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. 2: 261):
Dalam ayat lain: “Dan perumpamaan orang-orang yang menginfakkan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis pun mencukupi. Dan Allah melihat apa yang kamu lakukan.” , (Q.S. 2: 265):
Agar kebaikan itu menjadi sempurna, ada beberapa syarat yang mesti diperhatikan. Di antaranya, ikhlas, semata-mata mencari keridhaan Ilahi; infakkan sesuatu yang paling baik; tidak menyebut-nyebut kebaikan itu; tidak merendahkan harkat dan martabat orang yang menerima kebaikan tersebut; tidak riya atau pamer; dan kebaikan itu hendaknya dilakukan secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi walaupun dilakukan terang-terangan juga tidak mengapa.
Wallahu a’lam.***