Oleh: Ayi Jufridar
KOMANDAN kompi yang menempati pos di pinggir rawa mengumpulkan semua warga yang mereka temui setelah seorang anak buahnya ditemukan tewas dengan senapan laras panjang jenis M-16 yang hilang. Tak peduli anak-anak atau orang tua yang sudah bungkuk dan matanya rabun, semuanya diminta berkumpul di halaman rumah seorang kembang desa yang kecantikannya sering digambarkan seperti buah mangga manis dan ranum yang tersembunyi di balik rimbunnya dedaunan. Kecantikannya itulah kini yang membawa petaka bagi semua warga. Mungkin bukan kecantikan yang menjadi sumber kesalahan, melainkan prajurit muda itu yang berkunjung ke rumah kembang kampung seorang diri.
Jauh sebelum mereka ditempatkan di pos komando di kampung tepi rawa, bahkan jauh sebelum mereka diterjunkan di daerah konflik, para prajurit sudah mendapatkan penjelasan tentang prosedur tetap, tentang apa yang boleh dan tidak boleh mereka lakukan di daerah operasi. Salah satunya, mereka dilarang berkeliaran sendirian. Untuk membeli makanan di warung yang terletak 100 meter dari pos pun, minimal ada dua prajurit dan melaporkan kepada komandan regu sebelum dan sesudah berangkat.
Pada awalnya, prajurit muda itu mengunjungi rumah si kembang kampung bertiga dengan kawannya. Kabarnya, ia melihat gelagat bahwa kedua kawannya itu menaruh minat sama terhadap si kembang kampung. Diam-diam, ia memutuskan berkunjung seorang diri, tanpa memberitahukan siapa pun, termasuk komandan regunya. Dia pergi dengan hati berbunga-bunga, tetapi pulang menjadi mayat yang digantung di pohon asam.
Senjatanya yang hilang sudah menjelaskan pelakunya. Kaos lorengnya juga dilepas dan tidak ditemukan di sekitar lokasi. Dompetnya berikut sejumlah uang dan kartu anggota militer, juga tidak ada lagi di sakunya. Para prajurit yang menghubungi nomor telepon selular prajurit nahas itu, menjelaskan pada pagi-pagi sekali, nomor itu masih aktif. Tapi satu menit kemudian sudah tidak terhubung lagi. Mudah ditebak, telepon selularnya juga diambil pelaku.
Keluarga kembang desa itu yang pertama kali dipanggil bersama kepala kampung, setelahnya semua warga yang mereka temui di setiap sudut kampung. Sang komandan sudah menebar ancaman sebelum mengajukan pertanyaan; “Jangan ada jawaban tak tahu atau tak kenal. Kami butuh nama pelaku!”
Nama itu tak pernah ada karena memang tak ada yang tahu pelakunya. Gerilyawan memiliki siasat beraksi di kampung lain agar tidak dikenali. Seperti tentara dengan sebutan bawah kendali operasi atau BKO, pemberontak pun sering ditugaskan ke daerah lain.
Jawaban “tidak tahu” dan “tidak kenal”, tidak memuaskan komandan. Di hadapan anak-anak dan orang tua yang disengaja dikumpulkan untuk memberikan dampak psikologis, ia kembali menebar ancaman: Tanpa nama, maka ayah si kembang desa yang harus bertanggung jawab. Diceburkan ke sumur yang terletak di depan rumahnya. Semua sumur warga memang berada di depan rumah, bukan di dalam rumah seperti di kota-kota.
Nama yang diharapkan tak juga muncul meski tentara sudah mengokang senjata. “Jangan dikira ini main-main, ya. Ini bukan gertak sambal!”
Komandan itu memerintahkan anak buah menarik ayah si kembang desa dan mendudukkannya di pinggir cincin sumur yang dingin. Kedua kaki lelaki itu gemetar terjulur ke dalam lubang sumur yang gelap. Dia menatap istri dan anak-anaknya dengan sedih, menatap kepala kampung untuk meminta perlindungan, dan terakhir menatap sang komandan meminta belas kasihan. “Untuk terakhir kali, siapa pelakunya?!”
Semuanya membisu. Semuanya menyembunyikan rasa takut ke pangkuan masing-masing. Ketika seorang tentara menendang punggung ayah si kembang desa dengan keras, orang-orang baru membuka mulut. Bukannya menyebutkan nama pelaku, melainkan berseru kaget. Butuh waktu sekian detik untuk mendengar suara berdebum dan ciprakan air.
Hukuman itu belum cukup. Seorang tentara kemudian memuntahkan peluru ke dalam sumur. Rentetan senjata memecah gendang telinga, anak-anak kembali menangis dan para orang tua lupa membekap mulut anak-anaknya karena ketakutan sudah membunuh pikiran mereka. Adik si kembang kampung—seorang pemuda tanggung—menjerit histeris dan hendak menyerang tentara. Namun, kerah bajunya telanjur ditarik oleh kepala kampung sebelum ia bangun. Kemudian ia menangis di pelukan kepala kampung.
Kematian pun ternyata belum cukup. Komandan meminta kepala kampung mengambil air dengan timba yang tergantung di atas sumur dan memperlihatkannya kepada warga. Berkali-kali kepala kampung dipaksa menimba dan menuangkan airnya sampai menyerupai sungai kecil yang mengalirkan air kemerahan ke ujung kaki warga.
***
Sejak hari pertama warga sudah berdoa agar pasukan yang baru sebulan menempati pos di pinggir rawa itu segera pindah. Pasukan itu—yang datang dengan upacara militer seperti kompi sebelumnya—telah menyulap kampung mereka seperti neraka. Tak hanya bagi musuh, juga bagi anak-anak, perempuan, dan orang tua tak bersalah pun dipaksa melihat neraka sesungguhnya yang tak pernah terbayangkan dalam mimpi-mimpi buruk mereka.
Setiap pasukan memang memiliki karakter masing-masing yang dibentuk oleh banyak sebab, salah satunya perilaku komandan. Tongkat komando terkadang lebih kuat dari doa-doa yang mendesis dari bibir yang pecah berdarah. Setiap ada pergeseran pasukan, doa-doa malam merintih agar Tuhan mengirimkan pasukan yang hati komandannya terbuat dari beningnya air di sumur-sumur warga.
Kampung pinggir rawa itu memang memiliki cadangan air bersih melimpah. Sumur warga tak pernah kering dan rasa airnya tetap tawar meski dekat rawa. Kampung di sekitarnya justru sering kekeringan karena jauh sebelum konflik meletus, lahan warga sudah berubah menjadi kebun sawit. Sejak konflik bersenjata mendera, air mata justru lebih deras mengalir dibandingkan mata air sumur warga. Pada musim kemarau, berduyun-duyun warga kampung tetangga menuju kampung di pinggir rawa untuk mengangkut air, terutama untuk diminum.
Anugerah itu menjelma kutukan setelah kejadian tentara ditemukan gugur (mereka melarang menyebutnya tewas) tergantung. Sejak itu, sumur yang mengandung air bening dan segar berubah menjadi kuburan menakutkan. Setiap ada penyerangan, warga yang tidak tahu-menahu dipaksa terjun ke sumur untuk menjemput kematian. Tentara sulit menangkap gerilyawan yang katanya licin bagai belut dalam kubangan oli. Jadi mereka memilih untuk mengobok-obok olinya agar belutnya teler, meski faktanya justru warga yang menderita. Pasukan infanteri itu kehilangan cara untuk menangkap gerilyawan yang kerap menyerang dan kabur serta menghilang pada saat bersamaan.
Tentara harus waspada setiap saat, dan itu tidak mudah. Semuanya harus mereka curigai, mulai anak-anak, perempuan, bahkan orang tua meski kelihatannya mustahil sanggup melempar granat di tengah malam. Situasi kampung tepi rawa sangat menakutkan. Tak ada yang berani keluar rumah ketika langit mulai gelap. Semakin gelap semakin mencekam. Tapi ketakutan tak juga sirna ketika pagi menjelang.
Suatu pagi yang seharusnya indah karena masih ada ayam dan burung yang berani bersuara, terkoyak dengan letusan di depan pos komando. Ledakan itu disusul dengan raungan sepeda motor, teriakan dan makian, serta ditutup dengan runtunan suara senapan. Begitulah urutannya bila pos tentara diserang.
Tatkala warga diam ketakutan dalam rumah, tentaralah yang mendatangi mereka untuk mencari pelaku. Kalau ada yang terluka, maka harus ada warga yang mengalami derita sama. Kalau ada tentara mati—maksudnya gugur—pelurulah yang bicara. Luka berbalas luka, nyawa berbalas nyawa.
Tentara menyisir kampung terdekat dan menutup jalan keluar masuk kampung. Terbersit kabar pos komando diserang dengan granat oleh dua gerilyawan mengendarai sepeda motor yang langsung kabur ke pemukiman warga. Dua tentara piket terluka parah, bahkan seorang di antaranya dikabarkan gugur (ingat, jangan pernah menyebutnya mati) dalam perjalanan ke rumah sakit.
Tentara segera mengumpulkan warga, terutama anak muda. Bila tidak menemukan pemuda, siapa saja yang mereka lihat diperintahkan berkumpul di halaman rumah. Semua motor diperiksa. Kepala kampung datang belakangan, setelah hari terang dan memastikan pelakunya bukan dari kampung sini. Seluruh pemuda di kampung ini sudah pindah sejak konflik bersenjata. “Pasti dari daerah lain yang sengaja mengacau.”
“Kalau begitu, bawa pengacaunya ke mari!”
Tentu saja itu di luar kemampuan kepala kampung. Dia dan seluruh warga merasa terjepit di antara dua pihak yang bertikai, persis seperti menyetubuhi anak jin, begitu ia sering mengumpamakannya. Jinnya marah besar karena anaknya diperkosa, Tuhan juga marah karena bergendak itu dosa besar.
Tidak ada pemuda yang berhasil ditemukan tentara setelah menyisir ke seluruh kampung sampai tengah hari, kendati akses keluar masuk sudah dijaga ketat, bahkan seekor semut pun tak mungkin lolos. “Pasti sudah kalian sembunyikan. Siapa yang sembunyikan? Di mana?!”
Seperti biasa, warga hanya menunduk melihat tanah atau ujung kuku kaki mereka yang hitam kena lumpur. Dalam ketakutan, mereka berdoa dalam hati agar kali ini tak ada korban. Mereka sudah tak percaya lagi doa orang teraniaya akan makbul ketika tentara menarik seorang pemuda di tengah kerumunan warga yang duduk bersimpuh di atas tanah. Kepala pemuda itu terus bergerak-gerak tak terkendali dan air liurnya menetes sampai dagu. Orang-orang melirik kepala kampung, berharap ia bicara. Dengan terbata-bata, akhirnya kepala kampung mengatakan pemuda itu mengalami keterbelakangan mental dan bisu. “Tak mungkin dia pelakunya. “Dia anak idiot, tak tahu apa-apa.”
Untuk meyakinkan komandan, kepala kampung mengatakan komandan kompi sebelumnya kenal baik dengan pemuda lemah otak itu, bahkan sering memberinya ransum.
Sesungguhnya, komandan baru itu juga tahu. Tapi ia membutuhkan seorang korban agar warga tak selalu melindungi pengacau. Pemuda itu pun didudukkan di atas cincin sumur berlumut dan ditendang hingga terjatuh. Orang-orang menangis ketika mendengar suara berdebum. Kemudian terdengar jeritan histeris ketika seorang tentara menghujani sumur dengan peluru. Kepala kampung kembali dipaksa menimba dan memperlihatkan airnya kepada warga.
***
Sehari kemudian, satuan kompi itu dipindahkan. Tersiar kabar, mereka tidak ditugaskan di daerah mana pun, melainkan dipulangkan kembali ke batalyon asal. Dipulangkan ke kesatuan lebih awal dianggap penghinaan bagi prajurit di daerah perang. Beredar kabar pula, mereka bukan digeser atau dipulangkan, tetapi akan menghadapi pengadilan militer karena kejahatan terhadap warga sipil.
Warga kampung tepi rawa tak peduli kabar mana yang benar. Mereka bersyukur kompi neraka sudah pindah, melengkapi rasa syukur mereka terhadap nasib pemuda tunagrahita yang menjadi korban. Ketika kepala desa menimba dan menuangkannya, air itu tetap bening, tidak kemerahan seperti dalam insiden sebelumnya. Sang komandan meminta kepala kampung menimba lagi, lagi, dan lagi sampai orang tua itu bermandikan keringat yang menetes sampai ke dasar sumur. Namun airnya tetap bening tak bernoda. ***
*) Cerpen ini sudah ditayangkan di laman erakini.id edisi 03 Desember 2024
————————-
Ayi Jufridar, cerpen-cerpennya dimuat di berbagai media cetak daerah dan nasional. Buku kumpulan cerpennya, Cinta Dalam Secangkir Sanger (2021), berkisah tentang berbagai kekerasan dan tragedi kemanusiaan selama konflik Aceh. Empat novel yang sudah terbit: Alon Buluek (Grasindo, 2005) dan sudah diterjemahkan dalam bahasa Belanda dengan judul Alon Buluek (de Verschrikkelijke Zeegolf), Kabut Perang (2010), Putroe Neng (2011), dan 693 KM Jejak Gerilya Sudirman (Noura Books, 2015). *
Baca: Si Kresek Hitam