Cerpen Sobirin Zaini: Akhir Riwayat Biola Tua

AKHIRNYA kutelusuri juga jalan setapak menuju rumah beratap daun rumbia dan bercat biru muda itu sambil sesekali memandangi batang kelapa yang berjejer dan berlapis-lapis di sekelilingku. Hanya beberapa hitungan langkah lagi, tak terasa, aku telah hampir berada di depan pintunya. Tapi entah kenapa, jantungku terasa lebih cepat bergerak dari gerak langkahku sendiri. Padahal rumah bercat biru muda berdinding papan yang sudah kelihatan sangat tua itu bukanlah sesuatu yang asing di mataku. Rumah itu, seperti juga rumah masa kecilku­­—yang berjarak beberapa rumah dari sini—adalah satu dari sekian puluh rumah di kampung ini yang tetap akan menyisakan cerita dan kecemasan-kecamasan yang tak sudah.

Rumah di sudut kampung muram itu adalah rumah Wak Sandung, lelaki tua pemain biola satu-satunya yang masih hidup yang ingin sangat kutemui beberapa bulan terakhir ini.

Tapi sepertinya aku benar-benar gugup petang ini, bayangan lelaki tua dan alat musik gesek bernada miris itu semakin berkelebat dan melesat-lesat dalam pandanganku. Keinginan untuk menemuinya dan segera mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan ilmu menguasai alat musik tua miliknya itu serupa air hujan jatuh ke tempayan yang penuh, membuncah-buncah memenuhi lambung dan terasa ingin berjurai-jurai dari mulutku. Padahal aku belum bisa pastikan, apakah dia memang benar-benar ada di rumah itu atau tidak. Karena memang dari pertama kali aku melihat rumah itu, pintu dan jendelanya kelihatan tertutup sangat rapat.

“Assalamualaikum…, Wak…,” imbauku sesampainya tepat depan pintu rumah panggung itu. Tak ada jawaban. Sunyi masih tetap sama sejak aku melangkahkan kaki ke rumah ini dan saat aku menerka-nerka usia batang kelapa yang berjejer menemaniku sepanjang jalan tadi.

Assalamualaikum, Wak…wak…” masih tak ada jawaban.

“Wak… oiii Wak…, wak…” panggilku lagi, tetap tak ada suara yang menyahut. Hanya cericit induk ayam dan anak-anaknya dari bawah rumah menelingkahi suara sekawanan perenjak yang bertengger diatas pohon ciku. Sampai tiba-tiba lamat kudengar ada gerak kaki yang terseret-seret menyentuh tanah dari arah samping rumah. Aku memutuskan untuk tidak memanggil-manggil lagi. Segera aku melompat dari tangga depan pintu rumah itu, dan aku dapati Wak Sandung dengan parang tua di tangannya memandangku lekat. Sepatu getah kelihatan sanggam di kakinya. Topi lusuh berwarna gelap tertengger lesu di kepalanya. Menutup sebagian rambutnya yang mulai memutih. Sepertinya tadi, ia sedang menebas-nebas semak di sekitaran rumah. Kami saling berpandangan. Aku berusaha senyum, tapi lelaki tua itu masih menatap lekat ke arahku, senyumnya belum kudapati mengembang. Baru setelah aku mendekatinya dan mengulurkan tangan dihadapannya, senyum dan tawa terkekeh lelaki itu menyapu sunyi sekaligus melenyapkan gugup yang kurasakan sejak tadi.

“Oh, kau, Awang. Kapan kau sampai, Wang?” tanyanya dengan keramahan yang tak luntur sejak dulu.

“Tadi pagi, Wak. Apa kabar Wak?” sambutku.

“Alhamdulillah, Wak sehat,” jawabnya. Ya, dia memang kelihatan masih segak seperti dulu. Tengoklah, tak ada sedikitpun raut kecemasan dan tanda keluh kesah di wajahnya, meski keriput di dahi dan beberapa gigi yang mulai berkurang di mulutnya tak bisa ia sembunyikan. Aku semakin semangat.

“Yuk, kita masuk kedalam,” ajaknya kemudian.

“Ah, tak usah kedalam lagilah, Wak. Di anjung ni lebih sedap nampaknya,” jawabku spontan. Entah kenapa, inisiatif menolak ajakannya kedalam rumah itu tiba-tiba keluar dari kepalaku, sehingga lelaki tua itu sedikit terperanjat. Anjung rumah yang kulihat saat kami beranjak menuju kedalam rumah tiba-tiba menawarkan suasana lebih santai dibanding dalam rumah itu. Aroma itu terpancar dari bilah-bilah papan yang tersusun menjadi bangku. Dan aku sudah membayangkan, alunan syahdu dari alat musik gesek itu pasti lebih terasa nikmatnya saat lelaki tua itu memainkannya di sana. Tapi aku pun lupa, bisa jadi lelaki tua yang ada di depanku ini tersinggung pula jadinya, karena ajakannya masuk kedalam rumah ternyata secara tak langsung aku tolak.

“O yalah, disini saja. Duduklah. Wak nak buat air dulu,” ujar lelaki itu menepis dugaanku. Perkiraanku meleset. Lega rasanya. Bayangan demi banyangan lantunan syahdu dari gesekan senar alat musik tua di panggul lelaki itupun semakin melesat-lesat di mataku. Aku tak sabar lagi rasanya. Sementara lelaki itu masih didalam rumah. Suara denting sendok yang beradu dengan gelas batu terdengar hingga keluar. Bersalah juga aku rasanya, kenapa kubiarkan orang tua ini membuatkan air untukku? Macam tamu terhormat betullah aku ini. Tapi begitulah orang kampung ini menghargai tamu. Hanya saja Wak Sandung, tak punya lagi siapa-siapa di rumah ini. Dia kini sendiri. Ditinggal bini. Anak-anaknya dihangkut lakinya masing-masing. Karena tiga orang anaknya itu kebetulan semuanya perempuan. Itu yang membuat aku bersalah dan sedih.

“Jadi, apa maksud kedatangan engkau ni, Wang? Apa sebab pula tiba-tiba engkau balek kampung?” tanya lelaki tua itu sesaat keluar dari dalam rumah membuyarkan lamunanku. Dua gelas kopi itu diletakkannya di atas bangku. Aku maklum, aku memang sudah lama tak balek. Kampung ini sudah lama aku tinggalkan sejak hijrah ke Semenanjung. Aku melanjutkan sekolah disana. Karena itulah Wak Sandung bertanya seperti itu.

“Ya, Wak. Saya sebenarnya memang dah lama nak balek ketemu dengan Wak. Tapi belum ada waktu yang pas. Sekarang inilah, semasa libur setelah ujian, saya kemudian balek. Karena juga dah rindu dengan mak bapak dan keluarga disini, dan tentu juga karena rindu dengan kampung ni, termasuk dengan Wak,” jawabku menjelaskan. Lelaki itu terkekeh-kekeh mendengar jawabanku. Aku heran juga, apa yang lucu? Ah, mungkin dia tertawa karena mendengar kalimatku yang terkahir itu; aku rindu dengannya. Ya, mungkin.

Aku pun ikut tertawa. Tapi tak berani bertanya kenapa dia tertawa. Sementara tangan lelaki tua itu kulihat asyik melinting tembakau yang ia keluarkan dari bungkus pelastik setengah kilo dengan beberapa lipatan kertas putih didalamnya. Benda itu sudah tak asing lagi di mataku. Hampir sejak sepuluh tahun lalu, aku sudah melihatnya selalu ada bersama lelaki itu. Dia dengan sebungkus tembakau itu dah jadi macam pinang dibelah dua. Serasi betul kelihatannya. Dan lelaki tua itu kulihat semakin mahir melinting sekaligus menghisapnya.

“Yalah, Wang. Macam tulah hendaknya anak-anak kampung ni yang merantau, jangan lupa dengan tanah leluhurnya. Macam apapun mike nanti berhasil di kampung orang, kampung ni tetaplah harus selalu mike ingat,” sahut Wak Sandung kepadaku kemudian. Aku berhenti tertawa.

“Tapi, pasti ada satu hajat membuat engkau datang ke rumahku ni, kan?” serangnya kemudian. Matanya menatapku tajam. Dia seperti tak sabar untuk tahu hajat kedatanganku menemuinya petang ini. Ketaksabarannya itu sama dengan ketaksabaranku menyampaikan keinginan itu.

“Ya, Wak, memang ada hajat saya menemui Wak petang ni,” sahutku menimpali.

“Ha, apa tu, Wang..,” tanyanya lagi memburuku.

“Begini Wak, saya dah lama sebenarnya nak belajar main biola dengan Wak. Bahkan sejak saya pertama kali pergi kuliah di Semenanjung dulu. Tapi waktu itu saya tak sempat nak cakap langsung dengan Wak. Balek lebaran kemarin sebenarnya saya nak bercakap tentang keinginan saya ni. Apalagi setelah saya tengok biola tua Wak tu masih ada tersangkut di dinding rumah Wak, tapi waktu itu saya lagi-lagi lupa, Wak. Sehingga sampai di Semenanjung saya baru ingat. Dan petang inilah, kebetulan dah bertahun-tahun setelah itu, kebetulan saya baru dapat balek dan saya jumpa dengan Wak petang ni, saya nak mewujudkan niat dan keinginan itu, Wak,” jelasku panjang lebar pada lelaki itu. Asap dari lintingan tembakau yang ia sulut dengan api itu terus mengepul-ngepul di mulutnya. Tatapan yang jauh menembus batang kelapa di sekeliling rumah itu terasa tiba-tiba mengabaikan penjelasan-penjelasanku itu. Selintas ada yang tak sedap di hati. Orang tua di depanku itu tiba-tiba seperti berubah sikap. Tapi karena memang semangat untuk segera bisa belajar dengannya petang ni sudah membara, aku terus saja bercakap. Meski dia tetap saja menatap nyalang bebatang kelapa itu dan diam. Diam seribu bahasa.

“Saya tahu, Wak, tak ada lagi orang di kampung ni yang berminat meneruskan keahlian memainkan biola seperti Wak. Keinginan saya ni mudah-mudahan dapat terkabul setelah Wak mau mengajari saya memainkan alat musik tua milik Wak itu. Saya tahu, Wak sendiri pasti risau dengan keadaan orang-orang muda di kampung ni yang lebih suka main pakau dibanding main alat musik tradisional itu. Jadi takkan ada penerus Wak lagi besok. Karena itulah Wak, terimalah saya mewakili orang-orang muda kampung ni untuk belajar memainkan alat musik itu dengan Wak,” timpalku lagi panjang lebar. Tapi lelaki tua di depanku ini masih saja diam. Sempat kutunggu beberapa detik, tapi tak juga ada respon. Tak sepatah pun ucapan keluar dari mulutnya. Aku jadi heran.

“Macam mana Wak?” tiba-tiba aku putuskan untuk bertanya balik. Memaksa dia bicara. Memutuskan apakah ia sudi atau tidak memenuhi permintaanku itu. Memberi jawaban dari niat kedatanganku petang ini. Tapi lelaki tua pemain biola bernama Wak Sandung itu masih saja diam. Membuatku semakin bertanya-tanya dan menerka-nerka. Tentu, prediksi terakhirku kalau sudah melihat gelagatnya begitu adalah, dia takkan mau memenuhi permintaan dan mewujudkan keinginanku. Atau, dia sendiri memang sudah ingin melupakan keahliannya memainkan biola tuanya dan mengubur kenangan-kenangan bermain biola sejak muda itu dalam-dalam. Seperti kabar yang kudengar belakangan dari beberapa orang di kampungku ini, bahwa irama gesekan biola tua itu jarang sekali terdengar dari rumahnya. Dan tengoklah, dia masih tak menjawab. Aku termangu-mangu sendiri sembari terus menatapnya menenggak kopi dan menghisap dalam-dalam asap tembakau itu. Tapi tak mungkin pula aku terus tertonggok di bangku anjung ini hanya untuk melihatnya menenggak kopi dan menghisap tembakau itu. Lama-lama aku hendak memancingnya juga untuk menjawab.

“Macam mana menurut Wak? Bisa kan Wak?” tanyaku lagi kedua kali. Pertanyaan kali ini menurutku tak mungkin harus kusertakan lagi dengan penjelasan-penjelasan itu. Aku menatapnya dalam. Dia balik menatapku. Dan akhirnya ia bicara juga.

“Bukan aku tak mau mengajari engkau bermain alat musik yang dah aku anggap anak itu, Wang. Tapi benda tu dah aku jual seminggu yang lalu,” jawabnya perlahan, tapi jawaban itu cukup terasa menusuk ulu jantungku yang paling dalam. Aku terdiam sejenak. Aku seperti tak percaya dengan apa yang kudengar dari mulut lelaki tua itu barusan. Jawaban itu memaksaku bertanya lagi untuk menegaskan apa yang ia ucapkan.

“Dijual? Kenapa Wak jual?” sergahku.

“Untuk beli beras, Wang,” jawabnya santai sembari mengalihkan pandangan kembali ke arah batang-batang kelapa yang ada di sekeliling rumah itu. Kami sama-sama diam. Ngilu tiba-tiba merambat di sekujur tubuhku. ***

mrpynpku, 13 Januari 2010

———————-

Sobirin Zaini, menulis dua genre sastra (puisi dan cerpen) lalu membaca berbagai buku. Buku puisinya, Balada Orang-orang Senja, menjadi buku Pilihan Sagang 2009. Bersama kawan-kawan Pers Kampus AKLaMASI UIR menggerakkan Program “Cinta Buku, Gemar Membaca”. Sobirin Zaini saat ini memilih untuk menetap di kampung halamannya Desa Teluk Pambang, Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis.

Baca : Cerpen Ida Jubaidah: Menjadi Dewasa

*** Laman Cerpen terbit setiap hari Minggu dan menghadirkan tulisan-tulisan menarik bersama penulis muda hingga profesional. Silakan mengirim cerpen pribadi, serta terjemahan dengan menuliskan sumbernya ke email: [email protected]. Semua karya yang dikirim merupakan tanggunjawab penuh penulis, bukan dari hasil plagiat,- [redaksi]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *