Nasibmu Bahasa (2)

Sastrawan

Nasibmu Bahasa.
Yang sering dikutip orang, Pasal 5 gurindam ke-1 berbunyi “jika hendak mengenal orang berbangsa | lihat kepada budi dan bahasa”. Yang dimaksud dengan berbangsa di sini mengandung makna denotatif maupun konotatif. Makna denotatif/harfiah/leksikal-nya dapat kita lihat misalnya dari bahasa dan ragam apa yang digunakan seseorang itu. Jika seseorang itu menggunakan bahasa Inggris dengan ragam anglo-saxon misalnya, maka dapatlah diduga ia berasal dari Britania [sementara kita lepas dulu konteks adanya orang yang mampu bermultibahasa, atau berkaitan dengan ID-card-nya, gen kedua orangtuanya, atau bahkan jatuh-bangun sebuah negara; yang semuanya itu sekarang sudah begitu rumit kombinasinya]. Demikian seterusnya, bila ingin membedah lebih jauh lagi.

Dalam makna konotatif pula, berbangsa di sini dalam konteks holistik misalnya berkaitan dengan akal-budi/tingkah-laku/karakter dan juga kedudukan sosial seseorang, kedudukan dalam konteks materi maupun non-materi  seperti profesi dan jabatan. Bila seseorang itu [selalu] menggunakan bahasa yang santun dan jujur dalam bertutur, disertai pula dengan keterbukaan dan kelapangan hati dan pikiran dalam menghadapi pemikiran baru atau bahkan kritikan, maka dapatlah diduga bangsa orang itu sudah berada dalam taraf yang bijak-bestari. Ia mungkin seorang ulama panutan, atau seorang gubernur idaman, seorang ilmuwan cendekiawan, atau [sekadar] seorang ayah yang budiman.

Atau bila seseorang itu suka berbicara tentang tulang lengan seseorang yang mengalami fraktur (bukan “patah”) atau dislokasi (bukan “selisih”) misalnya, maka kemungkinan besar dia adalah seorang dokter. Demikian juga dengan penekanan istilah-istilah khusus lain pada percakapan umum, maka mungkin dia adalah seorang pengacara, arsitek, ustad, atau bahkan mafia. Juga gaya bicara akan turut memberikan gambaran siapa seseorang itu sebenarnya. Demikian seterusnya, bila ingin membedah lebih jauh lagi.

Di wilayah akademik/pendidikan, yang Penulis tahu bahkan lebih terkesan ironis dan miris lagi. Ringkasnya, bisa kita lihat dari sisi para sarjana/lulusan yang dihasilkan, tampak tak sedikit yang lemah dalam berbahasa, atau bahkan begitu “ahli”-nya dalam berbahasa sehingga ia mampu menyampaikan sesuatu yang bukan ia maksudkan. Beberapa rekan dosen/guru sering mengeluhkan betapa rendahnya kualitas berbahasa Indonesia para mahasiswa atau muridnya. Padahal kalau dihitung, berapa tahun sudah pelajaran Bahasa Indonesia – secara sistematis sekurang-kurangnya 12 tahun – “dicekoki” kepada mereka, mengherankannya tak juga kunjung paham. Bukankah ketika para sarjana/lulusan ini tidak mahir berbahasa Indonesia [yang resmi] ini menjadi sebuah ironi? Adakah yang salah dalam pelajaran Bahasa Indonesia?

Maka barangkali itulah sebabnya kenapa kita sekarang-sekarang ini begitu mudahnya menemukan kekacauan dalam komunikasi publik. Mulai dari sekadar karena kurangnya kemahiran dalam berbahasa, sampai kepada “pemutar-balikan fakta”. Ketika seseorang berbicara kepada seorang politikus tentang rakyat, dia dengan mudahnya akan bertanya “rakyat yang mana?”. Ketika orang berbicara dengan seorang lawyer tentang pasal-pasal di dalam UU, dia akan berkata “tafsir saya seperti ini ….”. atau ketika naik berita negatif di sebuah media tentang seorang tokoh, dengan mudahnya tokoh itu akan menampik “saya tidak mengatakan seperti itu”, meskipun di masa kini rekaman digital dengan mudahnya menjadi bukti, tetapi dia akan membantah lagi “yang saya maksud adalah ….”. Dan seterusnya dan seterusnya dan seterusnya. Sehingga ada (banyak?) yang bilang, orang Indonesia memang paling pintar ngeles.

Hal nama lembaga, dalam pemerintahan atau kenegaraan, barangkali memang tidak akan kita temukan yang ironis seperti itu (lembaga NKRI kok menggunakan nama dalam bahasa asing). Tapi akan lain halnya kalau kita menelisik cukup jauh “ke bawah” seperti nama-nama BUMN(D) atau lembaga-lembaga “kecil” lainnya, kita pun akan mulai menemukan paradoksikal itu. Baik di tingkat Pusat maupun Daerah. Seperti contoh “Jakarta International Airport Soekarno-Hatta” atau “I Gusti Ngurah Rai International Airport” dan “Sultan Syarif Kasim II Int’l Airport” [lihatlah Surabaya masih menggunakan nama “Bandar Udara Internasional Juanda”, bila alasannya karena status internasional], “Waskita Toll Road”, “Adhi Realty”, “Riau Investment Corporation” (dilihat dari logonya lebih menonjol dibanding nama resminya “PT Pengembangan Investasi Riau”), dan lain-lain. Mungkin tidak banyak, tapi yang juga memasygulkan hati adalah manakala masuk ke wilayah publik, di kawasan gedung-gedung milik negara (rakyat) itu kita sekarang mulai banyak menemukan marka atau papan penunjuk atau keterangan yang lebih menonjolkan penggunaan bahasa Inggris, tak peduli tempat itu bakal dikunjungi oleh orang asing atau tidak sama sekali. Format bahasa Inggris-nya seringkali jauh lebih besar daripada bahasa Indonesianya yang kecil dan sulit dibaca. Bukan itu saja, yang kian banyak sekarang-sekarang ini kejadian seperti itu juga akan kita jumpai pada mulai dari flyer (selebaran), poster (sudah Indonesia), banner (spanduk), backdrop (latar belakang) untuk sebuah acara atau peringatan. Seolah-olah dengan seperti itu, nilai sebuah acara atau peringatan itu akan bertaraf internasional. Atau jangan-jangan mungkin memang mayoritas rakyat Indonesia lebih paham Bahasa Inggris dibanding bahasa sendiri?

Bagaimana pula dengan lembaga-lembaga swasta? Kalau lembaga pemerintah/negara saja sudah [mulai] begitu, jangan tanya lagi yang swasta. Kita dengan mudah akan menemukan di hampir setiap ruas jalan kota bahkan hingga desa, sampai-sampai tukang tambal ban dan servis dinamo pun ikut-ikutan. Inggris memang keren; begitu selalu. Lantas, akankah kita harus mengucapkan lagi, “Nasibmu bahasa?”.

Penulis jadi ingat, bagaimana untuk menumbuhkan semangat nasionalisme pada pertengahan 90-an, pemerintah menyerukan (“memerintahkan” dalam pemahaman rezim Orde Baru masa itu) agar dilakukan pengindonesiaan istilah-istilah asing di sektor properti, [papan] nama perusahaan, serta nama-nama berbagai entitas usaha lainnya seperti hotel, plaza, tempat hiburan, dan lain-lain. Pada masa itu, mungkin sekarang ini sudah serupa dengan itu, memang dapat kita temukan  kata-kata asing seperti itu berhamburan dan terpajang di ruang publik. Lalu, beramai-ramailah para pemilik “mengindonesiakan” nama usahanya, meski banyak yang terkesan lucu dan wagu. Grand Citra berubah jadi Citra Gran, Delta Plaza berubah jadi Plasa Surabaya, dan masih banyak lagi.

Politik bahasa di masa Orde Baru (baca: Soeharto) memang cukup dominan. Ada sisi positifnya, namun juga ada sisi negatifnya; pakar bahasa sudah cukup banyak mengulas soal ini. Terlepas dari penilaian itu, regulasi dan anjuran tersebut visi besarnya adalah dalam upaya menguatkan rasa nasionalisme. Soeharto sendiri hampir dalam setiap pidato resminya di pertemuan internasional selalu menggunakan Bahasa Indonesia; bukan karena beliau tidak mampu berbahasa Inggris, melainkan untuk menunjukkan dan memperkuat rasa nasionalisme itu.

Memang, memberi nama adalah hak otoritatif pemilik entitas yang akan diberi nama itu. Ia boleh memberinya nama dengan bahasa dan kata dan makna apa pun [bahkan pun tanpa harus terikat pada konvensi mana pun; ingat “kasus” Elon Musk?], tanpa seorang pun punya hak untuk menampiknya. Tapi sebenarnya juga ternyata tidak. Orang ternyata tidak semudah itu – apalagi semena-mena – dalam pemberian nama itu [ingat lagi kelanjutan “kasus” Elon Musk itu]. Ada konvensi publik yang – mau tak mau – tetap (terpaksa) harus dipatuhi. Maka, ada baiknya “anjuran” seperti di masa Orde Baru itu diterapkan lagi. Di masa borderless nation seperti sekarang ini, ada baiknya rasa nasionalisme diperkuat dan lebih didalamkan lagi [kalau negara masih ingin menjadi suatu identitas dan entitas]. Memang, banyak juga negara lain yang mengalami kasus seperti ini, tetapi tidak pada negara [dan bangsa] yang kuat kebudayaan dan peradabannya. ***

Baca : Nasibmu Bahasa (1)

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *