Nasibmu Bahasa (1)

Nasibmu Bahasa. (3)

Nasibmu Bahasa.
“Bahasa”? Begitu saja?
Bukan Bahasa apa begitu, maksudnya?
Ya, hanya “bahasa”.

Kalau masih ingat, belum terlalu lama berlalu, saat peralihan milenium. Antara tahun 1990-an hingga 2000-an. Ketika itu teknologi media penyimpan audio-visual sedang ramai menjadi minat khalayak. Pun saat itu pula sedang terjadi peralihan teknologi, dari pita magnetik ke sistem digital (CD/VCD, LCD, DVD, hingga blueray) dalam bentuk cakram padat.

Kalau masih ingat, saat itu sempat juga terjadi “kehebohan” di jagad media, ketika ada khalayak hobi film yang tersadar dan “terusik” rasa nasionalismenya. Sebenarnya masalah sederhana saja, bahkan terhitung sangat sepele. Pada setiap produk audio-visual (film) di dalam cakram padat itu, [hampir] selalu tersedia pilihan mengenai bahasa [dalam bentuk teks] terjemahan (subtitle). Biasanya muncul dalam berbagai kombinasi, tersedia pilihan apakah bahasa Inggris, Perancis, Cina, Melayu, dan yang hampir selalu ada di kita … Bahasa. Bahasa? Itu saja? Bukan Bahasa Indonesia? Ya, itulah yang terjadi, dan sempat memantik heboh rasa nasionalisme itu. Nampaknya tulisan “bahasa” itu entah bagaimana dianggap sudah mewakili frasa “Bahasa Indonesia”. Kalau tak salah ingat, bahkan Google dan Wikipedia pun sempat “terpeleset di lantai yang sama” pada masa-masa itu.

Sekarang, semua teknologi perekaman yang disebut di atas, sudah masuk ambang senja. Kalau pun masih ada film-film baru yang direkam dalam DVD atau blueray, kasus Bahasa itu sudah tidak kita temukan lagi.

Tetapi, sudah senangkah hati kita? Sudah tegakkah pilar nasionalisme, sekurangnya dalam hal Bahasa Indonesia?

Secara konstitusional hal Bahasa Indonesia kedudukannya sebenarnya sudah sangat powerfull, karena tercantum di dalam Ps. 36 UUD 45 yang berbunyi: “Bahasa Negara ialah bahasa Indonesia.”. Bab XV di mana pasal ini tercantum pun kemudian dielaborasi lagi dalam bentuk perundang-undangan, yaitu UU Nomor 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Di mana hal Bahasa Indonesia tercantum di dalam Bab III Bahasa Negara.

Kurang apa lagi, coba.

Tetapi kita dapat melihat dalam tataraan realitas, penggunaan Bahasa Indonesia nampaknya mulai terdegradasi, terinfiltrasi, atau sekurang-kurangnya mengalami erosi. Walaupun di dalam KBBI sudah diakui, saya menggunakan istilah ter-degradasi, ter-infiltasi, dan erosi ini pun sebenarnya sudah “mengurangi nilai rasa” nasionalisme, karena seharusnya [masih] dapat menggunakan kata yang “lebih” meng-Indonesia. Misalnya “mengalami kemunduran; kemerosotan” atau mungkin bisa istilah lain, “terpuruk”; untuk tergedradasi. Juga “tersusup(+i)” atau “tercampur(+i)” untuk terinfiltasi. Dan “tergerus” atau “terkikis” untuk mengalami erosi. Tapi ini hanyalah contoh kecil saja.

Yang menjadi perhatian utama kita tentulah penggunaan Bahasa Indonesia di wilayah [komunikasi] publik. Untuk memudahkan, Penulis dalam ruang yang ringkas ini sementara memetakan sekurang-kurangnya ada pada 7 segmen, yaitu: (1) pejabat/tokoh publik; (2) akademisi/pendidikan; (3) nama lembaga, baik pemerintah maupun swasta; (4) periklanan, utamanya media elektronik; (5) marka/penanda/petunjuk; (6) kalangan remaja; (7) warga asing; dan (8) internasional.

Memang, penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, yang mematuhi kaidah-kaidah PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia; berdasarkan PerMenDikBud Nomor 50/2015, pengganti EYD atau Ejaan Yang Disempurnakan), bahasa formal, hampir selalu diasosiasikan hanya “wajib” diterapkan dalam ragam bahasa tulis (yang itu pun juga dalam konteks urusan formal). Sedangkan bahasa lisan, tidak begitu terikat pada aturan-aturan tersebut. Begitulah yang dipahami umum. Lagi pula, toh, bahasa bersifat arbitrer.

Baca : Hutan Melayu

Maka, kita dapat menyaksikan banyak pejabat/tokoh publik, yang dalam status komunikasi publiknya, tidak dapat menunjukkan penggunaan bahasa yang baik dan benar. Beberapa bangga dengan berbagai istilah bahasa langit atau pun bercampur-baur dengan bahasa asing tanpa penjelasan yang memadai atau bahkan bahasa antah-berantahnya sendiri, yang lain pula memang benar-benar tak/kurang pandai berbahasa Indonesia. Dalam konteks ilmu komunikasi yang lebih jauh lagi: beberapa sengaja tidak menyampaikan kebenaran, atau sekurang-kurangnya memberikan informasi yang tidak lengkap, atau menyembunyikan suatu informasi; yang lain pula bahkan menjungkir-balikkan fakta/kebenaran dengan berlindung di balik “keindahan” berbahasa. Belum lagi pula sekarang sudah banyak juga pejabat publik yang tidak lagi mampu berbahasa dengan santun, entah disengaja maupun tidak. Bahkan tak jarang pula ada “wakil” yang sudah berani mencaci-maki bahkan mengancam rakyatnya [walau sekarang dalam konteks politik mereka bisa/biasa lagi ngeles “rakyat yang mana ….”].

Sebenarnya Raja Ali al-Haj (Raja Ali Haji), yang telah menyusun semacam kodifikasi bagi Bahasa Melayu “modern” di pertengahan abad XIX yang kelak bahasa itu bermetamorfosis menjadi Bahasa Indonesia (dalam konteks NKRI), telah banyak menulis dalam karyanya yang terkenal Gurindam Dua Belas perihal kaitan [ber]bahasa dengan akal-budi/perangai/karakter manusia. Bukan hanya di Pasal 5 yang sudah kadung terkenal itu saja.

Dalam Pasal 3 gurindam ke-3 dinyatakan “apabila terpelihara lidah | niscaya dapat dari padanya faedah”. Lalu di Pasal 4 gurindam ke-5 “jika sedikit pun berbuat bohong | boleh diumpamakan mulutnya itu pekung”, dan pada gurindam ke-8 “barangsiapa perkataan kotor | mulutnya itu umpama ketor”. Dalam Pasal 7 gurindam ke-1 pula akan kita temukan “apabila banyak berkata-kata | di situlah jalan masuk dusta”. Dalam pasal yang sama kita juga bisa menghimpun mulai dari gurindam ke-7 hingga 10. Dan di Pasal 8 dapat kita temukan dalam gurindam ke-3 hingga 7.

(bersambung)

LamanRiau.com

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *