Hutan Melayu

papan reklame

LAMANRIAU.COM, PEKANBARU – Hutan Melayu adalah salah satu tutupan hutan hujan tropis terbesar di dunia. Ianya membentang dari Madagaskar hingga Rapa Nui, dari Formosa hingga Aotearoa. Jadi Melayu bukan hanya “menguasai” area perairan lautan yang begitu luas, namun juga hutan hujan tropis, yang jadi paru-paru dunia dan sumber keanekaragaman hayati utama. Sadarkah kita, Melayu-melayu modern masa kini?

Baca : Semesta Sastra (1)

Pada Januari 2019 AFP memberitakan bahwa sepanjang 2018 kawasan hutan tropis yang sirna luasnya adalah 120.000 km2, atau hampir setara dengan negara Inggris! Seluas 30 lapangan sepakbola hutan sirna setiap menitnya! Sepertiga di antaranya adalah merupakan hutan primer (hutan perawan). Memang, pada tahun itu penyumbang deforestrasi terbesar adalah Brasil dan Kongo [Indonesia di urutan berikutnya; dan Madagaskar sendiri musnah seluas 2 % hutannya di tahun itu saja], namun berbilang tahun sebelumnya negara-negara di kawasan Melayu “tradisionil” (Asia Tenggara) adalah jawaranya.

Dalam tradisi/budaya Melayu, hutan adalah salah satu kawasan alam yang sangat penting dan sangat dijaga, serta salah satu yang mendapatkan perhatian paling penting, karena hutan memiliki fungsi yang begitu beragam. Ada banyak sekali ungkapan yang berhubungan dengan hutan atau rimba belantara ini, seperti: “apabila hidup tak berhutan tanah, ke laut menjadi lumut, ke darat menjadi ulat”, atau “apabila hutan sudah meranggas, adat lembaga ada yang lepas”, atau “selagi ada hutan tanah, hidup takkan berkeluh kesah”; yang dapat menggambarkan bagaimana relasi dan perlakuan orang Melayu terhadap hutan-tanah.

Dalam Kearifan Pemikiran Melayu, Tenas Effendy membentangkan pemikiran orang Melayu tentang pemukiman dan lingkungan alam sekitar dengan ungkapan tradisi sebagai berikut: “Yang disebut adat di kampung, adat dijaga lembaga dijunjung, rumah beratur dusun dikungkung, halaman luas ladang bersambung, suak dan sungai sama dilindung, hutan dipelihara hidup bersambung, di sana tempat anak-cucu berlindung.” UU Hamidy pula dalam Jagad Melayu menjelaskan perihal pandangan dan tradisi orang Melayu tentang hutan sebagai berikut: “Dalam hal hutan tanah, pemangku adat Melayu telah membuat semacam tata ruang …. Pertama, rimba simpanan atau rimba larangan, kedua tanah kebun dan peladangan, ketiga rimba kepungan sialang, keempat tanah pekarangan.”. Bagi orang Melayu, “Semua makhluk hidup mendapat tempat untuk hidup secara wajar dalam tata ruang masyarakat adat Melayu. …, karena semuanya itu adalah pancaran dari kasih sayang Tuhan seru sekalian alam, ….”

Ungkapan-ungkapan tradisi ini bukanlah sekadar pemanis bibir belaka. Peneliti dari Universitas Belfast, Irlandia, Dr. Chris Hunt, mengungkapkan hasil penelitiannya selama 15 tahun dalam Journal of Archeological Science, yang menyimpulkan bahwa masyarakat adat (di Asia Tenggara) sudah mengelola hutan hujan tropis selama 11.000 tahun dengan baik. Katanya pula: “…. Namun dari hasil penelitian ini membuktikan bahwa pola manajemen aktif masyarakat di sekitar hutan terhadap hutan hujan tropis di Asia Tenggara sudah berjalan selama 11.000 tahun, dan orang-orang ini kini memiliki bukti untuk mendapat pengakuan.”

Sastrawan pula, sebagai penggema hati nurani, tak kurang-kurang perhatiannya pada masalah hutan, dan semesta alam semula-jadi; termasuk sastrawan-sastrawan Melayu masa kini. Salah satu di antaranya adalah Nik Mansour Nik Halim, seniman Melayu Champa (Vietnam). Yang membentangkan puisinya yang berjudul “Darah dari Hutan” pada helat Hari Puisi 2018 di Pekanbaru. “Siapa merampok hutan kami?”, tanyanya. “Aku mendengar. Dulu kala, kampung kami | dikelilingi beribu corak, warna-warni alam | Aliran air bergemericik, biru | Jutaan sayap mengepak-ngepak berkibar | Setiap kawanan hewan liar bermain bebas kesana kemari.”

Itulah kenangannya yang tersisa tentang hutan Champa. Alam yang asri, menyejuk hati, dengan berbagai anekaragam hayati bermain-main dengan riang gembira. Tetapi bukan itu saja. “Orang-orang Radhe pergi ke hutan untuk menanam padi | Orang-orang Radhe pergi ke hutan untuk menjebak binatang liar.” Lalu tetiba: “Di mana binatang buas itu? | … | Lihatlah, asap hitam naik dari jauh | Orang-orang membakar tunggul | Lihatlah, asap putih naik ke langit | Orang-orang mengoperasikan pabrik | Tanah basal gundul dan berdarah | Langit merah darah.”

Seperti kita di Riau, bukan hanya kayu-kayan yang tumbang, bukan cuma harimau-gajah yang meregang, bukan sekadar alam yang meradang, tetapi juga penderitaan dari suku-suku asli, suku-suku tua, yang telah tersingkir dari tapak peradabannya, hingga hilang maya, dan hilang nyawa.

Rhett A Butler dari Mongabay mencatat, sejak 1973 sepertiga hutan Kalimantan telah luluh-lantak. Dan kalau dilihat di petanya, mayoritas terjadi di kawasan hutan pesisir di mana tapak puak Melayu berada. Jangan lagi cerita di Sumatera dan Tanah Semenanjung. Tahun 1990-an rerata 11,3 juta ha luas hutan tropis dunia mengalami deforestrasi [eksploitasi kayu-kayan, dan konversi lahan yang mayoritas ke hutan tanaman industri, perkebunan/pertanian besar, pertambangan, perindustrian, dan pemukiman]. Meskipun sejak milenium baru terjadi penurunan laju deforestrasi (jadi 9 jutaan ha per tahun), tetap saja luas hutan tropis dengan cepat akan berkurang, dan akan habis pada suatu masa nanti, bila tidak segera dihentikan. Tak lama setelah itu terjadi, mungkin umat manusia pun akhirnya juga sirna dari muka bumi.

Para sastrawan Melayu, mari terus gaungkan jerit hutan dan semesta bumi, supaya jadi kesadaran kolektif umat manusia. ***

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *