Semesta Sastra (1)

papan reklame

LAMANRIAU.COM – Semesta sastra terdiri dari lima dunia. Dunia karya sastra itu sendiri. Dunia [para] pengarangnya. Dunia [para] penikmatnya. Dunia alam raya. Dan dunia antar-karya sastra. Pembahasan perihal semesta sastra di sini bukanlah sebagaimana yang lazim dipaparkan dalam teori-teori tentang kajian sastra, meski mungkin nanti ada juga hubungannya sedikit-banyaknya. Semesta sastra berusaha memandang dan membahas setiap objek bahasan sebagai sebuah dunia sendiri, meskipun tentu saja bukan sebuah dunia yang bebas dan menyendiri. Itu pun di sini dengan serba keterbatasan, yang coba disiasati.

1. Dunia karya sastra.

Bayangan banyak orang masa kini ketika disebutkan tentang sebuah karya sastra, yang muncul paling tebal dalam benak mereka umumnya hanyalah cerpen, novel, dan puisi. Padahal itu baru sebagian. Itu pun yang tampil berupa teks yang tercetak, baik di suratkabar, majalah, jurnal, maupun buku (yang nampaknya sekarang keberadaannya sudah berada di ambang senja); serta terkemudian dalam bentuk digital (e-book, e-magazine, e-paper, dan di berbagai aplikasi medsos). Pernah juga sebelumnya dalam bentuk micro-film, tapi itu sekadar peralihan media, karena sumbernya juga tetap yang sudah tercetak pada media yang lain sebelumnya (batu, papirus, kulit kayu/hewan, bambu, kertas, dll).

Tapi itu semua baru karya sastra yang [secara fisik] tampil melalui bentuk tulisan. Ada juga yang tampil melalui bentuk lisan (suara, cakapan). Sayangnya pada masa ini (bahkan sejak beberapa dekade ke belakang), sastra lisan sudah dianggap ketinggalan zaman. Tak pernah lagi kita menemukan para pencerita (tukang cerita, tukang koba), para troubadour, berkeliling dari satu kota ke kota berikutnya [dahulu sekali lebih tepatnya disebut pemukiman] untuk menceriterakan sebuah kisah epos, romantika, maupun jenaka kepada para pendengarnya. Mulai dari bertempat sekadar di atas tanah lapang, hingga balairung istana. Baik dia seorang diri, maupun bersama rombongannya (wayang kulit dan sejenisnya, randai dan sejenisnya).

Ribuan tahun hal itu berlangsung, sejak dari zaman mitos, epos, hingga ke zaman romantika. Mereka sentiasa ditunggu oleh para khalayaknya, kadang berbulan-bertahun, untuk sekadar mendengarkan sebuah cerita [kadang juga berupa atau berisikan berita], yang tak jarang harus didengar selama berhari-hari saking panjangnya. Ya, ketika dahulu, para tukang cerita itu begitu dihormati, bahkan disegani, karena dianggap memiliki kewaskitaan yang mumpuni, meski mungkin mereka hanya sekadar tukang cerita, bukan sekaligus pencipta cerita itu [yang dalam hal ini berarti “hanya” berstatus sebagai media bagi cerita itu].

Dan sekarang kita tidak lagi dapat menemukan mereka. Memang ada upaya untuk menghidupkan kembali “tradisi” troubadour ini [yang ternyata sangat disukai oleh kanak-kanak, juga bagus sekali untuk pendidikan mereka], namun dalam konteks ini barulah sebatas men-“dongeng sebelum bobok”, yang biasa (seharusnya) dilakukan oleh orangtua kanak-kanak itu. Kita masih bisa menyaksikannya di beberapa komunitas, sesekali muncul di teve, atau di laman youtube dan aplikasi medsos lainnya. Tetapi troubadour sendiri dalam pengertian yang sebenarnya, mungkin telah benar-benar hilang dan takkan kembali lagi. Mungkin radio, mungkin televisi, yang telah menyingkirkan para troubadour ini.

Yang jelas zamanlah yang telah “menyingkirkan” mereka. Dan sekarang peradaban tulisan yang dicetak pada media tradisionil nampaknya mulai menunggu gilirannya; digilas peradaban (teknologi, preferensi) roda zaman.

Padahal peradaban tulisan juga sudah berlangsung ribuan tahun, dan mencapai puncaknya sejak ditemukan cara menduplikasi (memperbanyak) suatu tulisan dengan [sangat] cepat. Mesin cetak. Gutenberg. [Tetapi orang Perancis lebih menghargai Procopius Waldfoghel]. Ketika mesin itu berhasil diciptakan, dan kemudian kian disempurnakan, hilanglah dengan sangat cepat para sarjana penyalin naskah. Lama sebelumnya kedudukan mereka begitu dihormati, segera menjadi tiada arti. Umat manusia – demi kemajuan – kadang tanpa sadar “membunuh” manusia lainnya. Sekarang, kembali saat-saat umat manusia “membunuh” manusia lainnya akan terjadi lagi, termasuk mesin-cetaknya.

Namun untuk menentukan sebuah karya sastra itu adalah sastra lisan atau sastra tulisan ternyata tidak sederhana. Baik dulu, maupun sekarang. Ada karya sastra yang semula tampil dalam bentuk lisan, lalu dalam perkembangannya kemudian dimunculkan dalam bentuk tulisan. Demikian pula sebaliknya. Namun, baik lisan maupun tulisan, itu sebenarnya hanyalah media linguistik bagi sebuah karya sastra. Tak ada cara lain, karena alat komunikasi formal manusia hanyalah melalui verbal.

Tapi benarkah demikian?

Sejarah mengajarkan kepada kita bahwa sastra pun tak kurang terpengaruh oleh perkembangan zaman, terutama dalam hal ini yang berkaitan dengan teknologi. Memang sebatas ini bukan pada sastra-nya, tetapi baru “sekadar” pada wahananya. Meski demikian, kalau ditelisik lebih jauh, sebenarnya juga bukan “sekadar” semata. Cobalah simak kembali apa yang bisa dilakukan oleh sastra lisan, dan apa pula yang bisa dilakukan sastra tulisan yang muncul lebih kemudian. Sastra tulisan [ketika “menggantikan” sastra lisan] ternyata banyak menghilangkan “daya imaji” sastra lisan, meskipun di sisi lain juga mampu memunculkan “daya imaji” yang baru. Dan di antara itu semua, kita takjub dan bangga dengan keindahan-keindahan bahasa [verbal] yang berhasil kita atau pengarang ciptakan. Padahal mungkin satu saat bahasa [verbal] itu pun akan hilang!

Seperti kata Heraklitus, “panta rhei kai uden menei”. Semuanya mengalir, tidak ada yang tetap. Kalian tidak bisa turun dua kali ke sungai yang sama [karena airnya mengalir, meskipun tebing dan dasarnya masih sama, pada kenyataannya sungai itu bukanlah sungai yang sebelumnya]. Tidak ada yang tetap, kecuali perubahan itu sendiri. ***

Baca : Pahlawan dan “Reformasi”

 

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *