Pahlawan dan “Reformasi”

papan reklame

LAMANRIAU.COM – Tanggal 10 November 2020 yang baru saja berlalu diperingati sebagai “Hari Pahlawan”, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Penetapan hari peringatan ini tercantum dalam KepPres No. 316/1959. Adapun tanggal 10 November yang dipilih, adalah berdasarkan peristiwa pertempuran besar pada tahun 1945 antara rakyat di Surabaya dengan pasukan Sekutu/Inggris (AFNEI) yang diboncengi oleh Belanda (NICA). Bung Tomo adalah tokoh yang berhasil membangkitkan semangat juang dan keberanian rakyat melalui pidatonya yang sangat terkenal itu, yang kemudian diakhiri dengan pekikan “Allahu Akbar” dan “Merdeka!”. Bung Tomo sendiri ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2008.

Indonesia, hingga tahun, lalu sudah menganugerahi gelar pahlawan kepada lebih dari 170 anak bangsa. Ini adalah yang terbanyak di dunia! Tapi adakah maknanya bagi kita?

Bahkan sekarang orang pun sudah sungkan mengibarkan bendera!
(Selain hanya tujuhbelasan belaka!)

Semakin banyak “koleksi” pahlawan yang kita miliki, harusnya semakin banyak pula pelajaran tentang nilai-nilai kepahlawan bagi kita. Kejujuran, menegakkan kebenaran dan keadilan, rela berkorban, membela kaum yang lemah, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia; adalah di antara nilai-nilai kepahlawanan itu. Namun hari-hari ini apa yang kita saksikan? Di level elit, yang seharusnya menjadi teladan, bahkan kita menyaksikan “keangkara-murkaan” nyaris meraja-lela. Sembari mengabaikan “kewarasan publik”, dengan membolak-balik kata-kata, mengabaikan logika, dsertai ancaman merata-rata.

Sejak merdeka, negeri kita sudah dua kali mengalami guncangan politik besar (yang sebenarnya juga bersifat multi-dimensional), yang dsusul dengan pergantian rezim. Yaitu yang pertama d ipicu oleh peristiwa G-30-S/PKI (1965), yang menumbangkan rezim Orde Lama berganti ke Orde Baru. Dan terkemudian Tragedi Trisaksi (1998), yang menjadi peletup Reformasi. Sudah satu generasi, sudah lebih 20 tahun berlalu. Para anak muda tokoh penggerak Reformasi itu, tak lama setelahnya banyak yang menjadi elit politik, hingga sekarang. Tapi sekarang yang kita dengar seringkali hanya kebisingan-kebisingan yang bahkan sampai mengganggu kewarasan akal-budi, dan rasa malu. D i manakah dahulu mereka yang tampak begitu unyu?

Ediruslan Pe Amanriza nampaknya tak lama setelah Reformasi – sementara banyak orang masih memuja-muji di masa itu – telah berhasil menangkap fenomena yang akan terjadi, dalam sajaknya yang berjudul “Reformasi”. Cobalah simak penggalannya: “Reformasi tiba-tiba berubah arti | Pagi-pagi | Dia bermakna demonstrasi | Tengah hari | lapar membuatnya | menjadi teriakan | dan ajang caci maki | …. | Reformasi buat orang jadi bijak berkata-kata | di rapat | di debat | boleh menghujat | boleh menjilat | asal dapat mendekat”. (Nyanyian Wang Kang, 1999)

Tidak hanya itu, dalam sajak yang sama Ediruslan pun tampaknya sudah dapat menduga, pada dasarnya akan sama saja perilaku para penguasa itu. Entah dari OrLa ke OrBa, maupun dari OrBa ke “OrRef” (Orde Reformasi?). KKN (korupsi, kolusi, nepostisme) yang konon ingin d iberantas, malah kian merebak dan meruyak hingga ke pelosok-pelosok kekuasaan. “Petang hari | Dia berubah jadi kompromi | bisa dari hasil diskusi | atau negosiasi || tapi malam hari | Dia bisa jadi impian | dari proposal yang diajukan | dengan sedikit gertakan | …. | Reformasi jadi kiat | jadi tongkat naik pangkat | Jadi tangga jenjang derajat | ….”

Hari-hari ini kita menyaksikan kembali gejolak demonstrasi yang masif. Pemicunya mulai dari RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) yang kemudian beralih rupa menjadi RUU BPIP (Badan Ideologi Pembinaan Pancasila), sampai RUU “Cilaka” (Cipta Lapangan Kerja) yang kemudian beralih rupa menjadi RUU (sekarang sudah UU) Cipta Kerja. Buruh, mahasiswa, ulama, kaum intelektual, dan masyarakat mulai kian ramai turun ke jalan. Ketika suara mereka d iabaikan dan saluran formal banyak labirin dan ularnya, maka “demokrasi jalanan” adalah pilihan yang logis. Dan sah. Kita tidak ragu perjuangan ini memang benar-benar untuk Rakyat, untuk Bangsa Indonesia. Kita harapkan saja semuanya pada akhirnya menemukan jalan penyelesaiannya, yang bermanfaat bagi Bangsa dan Negara.

Dan yang tak kalah pentingnya juga, pada para anak muda ini, tokoh-tokoh yang bergerak sekarang ini; janganlah sampai pada suatu masa nanti terulang kisah Lebai Malang kembali terjadi pada Bangsa ini. Jangan sampai: “… | Semuanya jadi banyolan | yang membuat anak-anakku | semakin jauh dari kebenaran | karena kenyataan | Tak ada dalam pelajaran.”

Sebagai penutup, bagaimana dengan wacana untuk mengangkat status keempat mahasiswa korban Tragedi Trisakti? Masihkah berbunyi? Mereka adalah Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Hendriawan Lesmana, dan Hery Hartanto. Memang, oleh pemerintahan SBY mereka sudah d ianugerahi Bintang Jasa Pratama, tetapi sebagian masyarakat beranggapan itu belum cukup. Mereka perlu d ianugerahi gelar sebagai Pahlawan Reformasi; bukan semata-mata untuk kepentingan mereka dan keluarganya, tetapi juga untuk menjadi tonggak atau mercu penanda bangsa. Ataukah sudah cukup sekadar menjadi martir sahaja? ***

Baca : Mendedah “Melayu”

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *