LAMANRIAU.COM – Sajak “Melayu” karya Usman Awang nampaknya cukup masyhur di laman youtube. Ada banyak pilihan video, beberapa di antaranya mendapat viewer sampai puluhan ribu. Tidak se-wah Sapardi memang, tapi cukup menggaung. mendedah
Baca : Soempah Pemoeda
Sajak “Melayu” d iciptakan beliau tahun 1996. Cukup panjang, yang kalau d ibentangkan d i sini seluruhnya cukuplah menghabiskan halaman ini. Namun ada yang menarik sehubungan dengan video-videonya yang d youtube itu, sepertinya – entah sengaja atau tidak – hilang bait ketiga dalam puisi “Melayu” itu. Yaitu yang berbunyi: “Melayu d tanah Semenanjung luas maknanya: | Jawa itu Melayu, | Bugis itu Melayu, | Banjar juga d isebut Melayu, | Minangkabau memang Melayu, | ….” dan seterusnya. Sehubungan dengan keganjilan ini, mungkin ada teori konspirasi yang bisa d ikembangkan?
Sebagai puisi naratif, orang “dengan mudah” dapat memahami “watak” orang Melayu dalam “Melayu”. Usman Awang – yang juga dkenal dengan namapena Tongkat Warrant, dan beberapa lainnya – membentangkan watak orang Melayu itu secara ironis, sinis, bahkan paradoksis. Sindiran. Namun terasa lembut sekali, halus, hingga tak terasa sebenarnya telah menghunjam ke dalam resam. Tetapi kita tetap merasa geli, karena ada kejenakaan yang komikal membalutnya. Sehingga orang [Melayu] tak dapat tersinggung, apalagi marah. Bagi yang ingin paham, tinggallah kerja perenungan.
Tersebab, “Melayu” tak hanya memuji sembari menyindir, tetapi juga memberi laluan hal cabaran yang akan d ihadapi masa hadapan, sekaligus ujaran-ujaran pembangkit dan penyemangat. Simaklah penggalannya :
“Bagaimanakah Melayu abad dua puluh satu | Masihkah tunduk tersipu-sipu? | Jangan takut melanggar pantang | jika pantang menghalang kemajuan; | ….”
Sebenarnya, hal mendedah sajak “Melayu” ini bisa panjang urusan dan halamannya, sekurang-kurangnya butuh satu kertas-kerja. Tak cukup di laman ini saja. Ada berbagai aspek, baik intrinsik maupun ekstrinsik, serta sudut-pandang yang dapat dipakai untuk mendedahnya – tentu saja dalam tema besar Melayu. Salah satunya adalah hal Melayu Raya, yaitu paham yang berpandangan bahwa peradaban Melayu sejatinya membentang dari Malagasi hingga Rapa Nui dan dari Formosa hingga Aotearoa. Baik ditinjau dari aspek antropologis, linguistik, politis, entah apa lagi. Bagi sebagian orang paham ini mungkin hiperbolik, bahkan terkesan terjangkit megalomaniak; namun bukti-bukti saintifik kian lama tampaknya kian mendukung pemahaman ini. (Ada juga konsep/gagasan Melayu Raya dalam konteks menyatukan Indonesia, Malaysia, dan Brunei dalam satu negara, yang dikembangkan sejak 1920-an, yang di Indonesia disokong oleh beberapa tokoh, termasuk Yamin dan Soekarno).
Sajak “Melayu” ini bolehlah d iduga oleh Usman Awang sebenarnya dtujukan kepada Melayu Semenanjung sahaja. Di sana orang-orang Bugis, Banjar, Aceh, Minangkabau, Jawa dan lain-lain tampaknya sudah berhasil “melebur” sebagai satu bangsa, yaitu Melayu Semenanjung/Malaysia. Sekurang-kurangnya dalam ujaran-ujaran resmi mereka semua sudah semata disebut sebagai orang Melayu. Tapi ada setidaknya satu bait di dalam sajak itu yang menyiratkan – mungkin di bawah sadarnya – perhatian pengarang pada paham Melayu Raya itu. Sila simak: “Dalam sejarahnya | Melayu itu pengembara lautan | Melorongkan jalur sejarah zaman | Begitu luas daerah sempadan | Sayangnya kini segala kehilangan.” Kebetulan Usman Awang sendiri pernah bekerja sebagai proofreader di suratkabar Melayu Raya di Singapura (terbit 1950-1953), entah ada hubungannya atau pun tidak.
Sebagai penutup, baiklah kita ulang dan sambung lagi bait sajak yang tadi.
Bagaimanakah Melayu abad dua puluh satu
Masihkah tunduk tersipu-sipu?
Jangan takut melanggar pantang
jika pantang menghalang kemajuan;
Jangan segan menentang larangan
jika yakin kepada kebenaran;
Jangan malu mengucapkan keyakinan
jika percaya kepada keadilan.