Tok Bah dari Natuna

barau

Hatta, dari Denmark Sampai ke Midai

      Bahari Talib anak asli Suku Laut
      Budak kecik, jauh, dari Pulau Midai
      Kalaulah konsep Bung Hatta terwujud
      Takkan ekonomi rakyat sampai tersadai

1949 ~ empat tahun setelah kemerdekaan.

Orang-orang sangat ramai, berkerumunan seputar pelabuhan. Bahari Talib kecik ~ anak Suku Laut, jauh memandang ke tengah lautan.

Dia mencari sesuatu di dalam kabut.

Hari memang sudah siang. Tetapi di sana-sini, laut masih tampak tetap berkabut tipis. Meremang-remang.

Lalu, di kejauhan.

Di antara hempasan derau gelombang. Di tengah Laut Natuna yang terbentang panjang. Tampaklah membayang-bayang. Apa yang ditunggu-tunggu, sejak pagi sampai siang, akhirnya datang juga menjelang.

“Horee..! Horeee..! Itu dia datang..!!”

Anak-anak pulau pun bersorak.
Bersahut-sahutan. Sangat riang.

Bahari Talib kecik bukan main takjub.
Dia juga sangat girang.

Matanya berbinar-binar. Dadanya berdebar-debar. Rasa bangga dalam hatinya pun berkobar-kobar.

“Di dekat dermaga itu kapal-kapal itu akan bersandar.”

Pada masa itu Bahari Talib baru duduk di kelas tiga, di sekolah rakyat. Gurunya memintanya ikut bersama teman-temannya, menyambut kedatangan orang hebat. Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama, yang menjadi pujaan rakyat.

Bahari Talib sangat gembira.

Dia. Anak Suku Laut. Seperti dapat penghargaan. Diberi kesempatan juga untuk terlibat. Ikut menyemarakkan. Dapat pula menyaksikan tokoh besar itu dari dekat.

Bahari Talib bukan main bangganya
Pulaunya yang nun jauh dari Jakarta
Midai terletak di Kepulauan Natuna
Dikunjungi Bapak Muhammad Hatta

Empat kapal perang milik TNI yang membawa dan mengiringi kunjungan Mohammad Hatta pun semakin mendekat. Pelan-pelan ke dermaga besar mereka merapat. Di daratan – di salah satu pinggiran pulau – di seputar pelabuhan yang padat, rakyat menyambut kedatangan calon Bapak Ekonomi Bangsa itu dengan hangat.

Mata Bahari Talib kecik tak berkejab.

Menatap sosok Bung Hatta lekat-lekat.

“Betulkah? Dia akan bangkitkan ekonomi rakyat yang melarat?”

Baru empat tahun merdeka sudah bertekat begitu hebat. Bangkitkan ekonomi rakyat. Bayangkan bila sudah berjalan seperempat abad. Setengah abad. Tentu tidak ada akan lagi rakyat yang melarat. Sumber daya alam sangat kaya, berlipat-lipat. Dari dalam-luasnya laut sampai rimbun-lebat padatnya darat. Jelang seabad, negeri ini akan jadi paling hebat sejagat.

“Semoga saja beliau kuat memegang amanat rakyat.”

Setiba saja menapakkan kaki di pelabuhan, Bung Hatta langsung melangkah mengelilingi Pulau Midai. Menyaksikan orang-orang kampung bertani. Melihat kebun rakyat yang menghampar. Lalu langkahnya berakhir di markas Ahmadi & Co. Meninjau koperasi yang telah jadi urat nadi di Negeri-negeri Bahari. Menyimak tata olah lembaga. Menyimak tata kelola administrasi.

Ahmadi & Co di gerbang nusantara.

Wangi nama koperasi ini sudah lama terdengar oleh Bung Hatta ketika dia masih menuntut ilmu di Negeri Belanda. Terletak di jalur pelayaran internasional, di ujung Kepulauan Segantang Lada, sudah berdiri sejak zaman Kerajaan Melayu Riau-Lingga. Kerajaan yang kemudian dipecah-belah oleh penjajah Inggris dan Belanda, kemudian terbagi-bagi dalam tiga negara. Indonesia, Malaysia dan Singapura.

Raja Haji Ahmad bin Raja Haji Umar yang pelopor berdirinya Koperasi Ahmadi & Co ini, tahun 1906. Jelang lima tahun berakhirnya Kerajaan Melayu Riau-Lingga, 1911. Diruntuhkan Belanda kedaulatannya.

Peran Ahmadi & Co sangat luar biasa.

Koperasi ini mengelola pangan serta beragam hasil bumi yang berserak-serak di Kepulauan Natuna. Mulai mengekspor cengkeh sampai kopra, hingga memasokkan barang-barang keperluan pokok untuk warganya dari Singapura dan Malaysia.

Sampai ketika Indonesia merdeka. Koperasi yang berpusat di Pulau Midai, Natuna, sempat pula buka cabang di Singapura. Di Kampung Gelam, dekat Masjid Sultan, sampai kini bangunannya masih ada seperti sedia kala.

Ahmadi & Co bukan saja mengurus memasokkan pangan dan hasil Bumi Kepulauan Natuna, sempat pula mengelola penerbitan dan mewadahi lembaga untuk para cendekiawan Riau-Lingga. Menerbitkan buku-buku agama dan karya-karya sastra. Termasuk buah tangan sastrawan besar nusantara, Raja Ali Haji (RAH), pujangga Melayu yang melegenda.

Jika hendak mengenal orang berbangsa
Lihatlah kepada budi dan bahasa

RAH;1847, Gurindam 12, pasal 5 ayat 1.

Inilah yang membuat Bung Hatta terpesona.

Sejak kuliah di Belanda Hatta memang menginginkan segera hidup berbangsa sebagai bangsa yang merdeka. Berdaulat mengelola negaranya sendiri, dengan mengandalkan dan mengendalikan sendiri segala warisan pusaka yang kaya-raya, mulai dari kekayaan sumber daya alam yang tak terhingga sampai beragam budaya, yang merupakan potensi amat besar untuk membangkitkan bangsa.

Minimal, sumber kekayaan warisan pusaka bangsa yang disediakan alam sebanding dengan peringkat kesejahteraan segenap warga bangsanya.

Hatta pun belajar sistem tata kelola koperasi yang dipakai Ahmadi Co; kisah kaum cendekia Riau-Lingga yang tersisa membangkitkan dan mengawal ekonomi jelata; sebagaimana sebelumnya, beliau sudah matang juga belajar koperasi di Belanda. Lantas berkejaran pula sampai ke Denmark dan negeri-negeri di Skandivia lainnya.

Di Denmark, Hatta menemukan konsep yang tepat bagaimana membela ekonomi rakyat dan mengekalkan kekuatan ekonomi kaum jelata.

Di Denmark, sektor pertanian, peternakan, perikanan semuanya dikelola oleh rakyat. Segala usaha yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak tak boleh disentuh konglomerat. Tidak ada peluang mafia untuk dibeking aparat, atau pun di-back up pejabat.

Semua bertekuk lutut di depan petani !

Nasib konglomerat?

Nyaris hanya kebagian salam “gigit jari.”

Di Denmark, 90 persen pangsa pasar produk pertanian, peternakan dan perikanan serta berkait-kelindan dengannya dikuasai oleh koperasi. Sisanya dikelola UKM (usaha kecil menengah yang mandiri).

Modal alami kekayaan alam dari rakyat
Semuanya untuk sekejahteraan rakyat
Akan memunculkan kekuatan dahsyat
Bagaimana bangsa tidak akan hebat?

Bung Hatta menyimpan niat, dia harus betul-betul berjuang menyiapkan konsep ekonomi yang betul-betul tepat, untuk negerinya yang akan merdeka bila tiba saatnya.

Terkait tekat macam ini Raja Ali Haji menukilkan begini :

hendaklah berjasa
kepada yang sebangsa

hendaklah jadi kepala
buang perangai yang cela

hendak memegang amanat
buanglah khianat

RAH;1847, Gurindam 12, ayat 1, 2, 3.

Andai benar-benar dikelola oleh para pemimpin dan para menteri yang amanah membela hajat hidup rakyatnya, Hatta percaya, Indonesia juga akan menjadi negeri yang digdaya.

raja mufakat dengan menteri
seperti kebun berpagar duri

RAH;1847, Gurindam 12, ayat 1.

Lalu, di Belanda, semasa mahasiswa itu, Hatta dan kawan-kawan pun merumuskan prinsip ekonomi untuk Indonesia yang akan merdeka.

Satu dari lima prinsip di Belanda itu :

“Memajukan koperasi pertanian dan bank-bank rakyat”.

Sejalan dengan Ahmadi & Co.

Terwujudkan cita-cita mulia Bung Hatta?

Terpental, ternyata.

Kata Fadli Zon :

“Konstelasi politik pada saat Hatta hidup tidak memungkinkan penerapan gagasan Hatta dijalankan dengan baik.”

Zon, 2016

Hatta dikenal sebagai seorang negarawan intelektual, rupanya payah mendapatkan dukungan politik semasanya ikut memimpin negara. Partai politik sibuk dengan kepentingan kelompok masing-masing. Pemimpin lainnya sibuk pula dengan ambisi lainnya sendiri.

1956, Geliat tekat Hatta pun kandas ketika satu dari dwitunggal pemimpin negara melencengkan haluan bangsa dengan memancangkan Demokrasi Terpimpin, berlanjut dengan melibas lawan politik serta membubarkan semua partai politik dengan sesukanya.

“Konsep kediktatoran!” Kecam Hatta.

: 20 Juli 1956, Hatta pun tegas menyatakan mundur dari wakil presiden Republik Indonesia.

Muhammad Hatta kandas di Jakarta
Bahari Talib pun melunta di Natuna
Muhammad Hatta sangat kecewa
Bahari Talib ikut jejak leluhurnya

Turun-temurun; nelayan abadi: selamanya.

Mengarungi laut demi laut di nusaraya. Menangkap ikan berbagai rupa. Lalu singgah di banyak dermaga, di berbagai pulau kampung dan kota. Menjual ikan mentah tangkapannya milik juragannya.

Menjadi kembara laut nusantara menghabiskan usia.

Tok Bahari Talib pelaut kembara
Sumatera Jawa Sulawesi sudah diarung
Kalimantan-Semenanjung bolak-balik hari-hari

Ke mana ekonomi bangsa ‘kan dibawa?
Para konglomerat semakin tidak terhitung
Jelata papadana sudah berajal sebelum mati

Seperti Hatta yang tak kuat menggempur tirani kuatnya tembok ekonomi kaum yang bersengkongkol dengan para taipani, Tok Bah – begitu Bahari Talib ketika usia sudah tua disapa – pun tak mampu membantu menaikkelaskan kelas ekonomi keluarga kerabatnya, apatah lagi masyarakat tempatannya.

Memang. 17 Juli 1953, Mohammad Hatta gelar sebagai Bapak Koperasi Bangsa. Tetapi sebatas gelar. Gagasan pemikiran Hatta tetaplah pudar. Koperasi nama pajangan saja. Untuk mengisi file dan rak administrasi belaka. Tak punya gerak dan daya upaya.

Cita-cita pasal 33. Mimpi hampa. Sejenak saja nikmati merdeka. Saat deklarasikan merdeka. Sudah itu? Tidur panjang selama-lamanya. Dari waktu belatung jadi cacing. Sampai waktu cacing bisa terbang. Jadi naga-naga. Belum bangun-bangun juga.

       Tok Bahari Talib di usia senja
       Memandang laut di balik tingkap
       Pemulung jetset makin meroket saja
       Peladang sawo matang semakin tiarap

Kini, Tok Bah di Midai mungkin sudah tiada. Hasrat bangkitnya ekonomi rakyat pun sudah lama dilupa.***

Pekanbaru, 2021

Catatan:
Kecik : kecil. 2. Segantang lada : sebutan gugusan Kepulauan Riau

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *