Masih Ada Jalan Lain

MASIH ada jalan lain? Ya. Berliku, melebar, menyempit, memanjang, terentang. Boleh jadi seolah-olah tak berujung atau boleh jadi seperti buntu. Tapi tentu saja memiliki batas. Berjalan terus. Terus dan terus.

Tak terasa waktu demikian gegas berlalu. Serasa baru kemarin pagi menginjak 2022, eh kini sudah tiba di ujungnya. Matahari 2023 segera terbit. Artinya semua ‘kan kembali dimulai walau segala, sebagian sedang berlangsung dan yang hendak diakhiri belum juga tuntas.

Ada yang berubah? Tentu. Kemarin rambut masih hitam, kini sehelai dua sudah memutih. Kemarin semua masih tajam dan nyaring, kini mulai memudar dan serak. Mata, telinga, ucapan, analisa, prediksi. Semua tak sama lagi. Segala berubah, bergerak, pelan, dan, pasti.

Semua yang lalu tak terlipat dan melipat begitu saja. Sebagian masih membentang dan memanjang.  Yang luka kadang masih terasa. Yang cerah nyata sebagian masih membias. Melupakan terkadang bermakna mengingat dalam bentuk yang lain. Karena segala sesuatu tak seperti menghapus debu di meja. Segala bekas masih tersisa. Semua tapak masih berjejak walau tak sejelas pahatan di batu.

Pada akhirnya manusia akan hilang. Lengang. Namun semua jejak jalan tetap tak hilang. Hidup akan usai namun segalanya belum selesai. Ya, seperti dalam puisi Johan Wolfgang von Goethe: … Biarkan aku sendiri, di atas pelana kudaku/ Silakan kalian mau tinggal di mana/ Di rumah atau di dalam kemah-kemahmu/ Sedangkan aku?/ ya aku sendiri?/ Aku akan menyusuri jalan-jalan lengang//…

Atau dalam puisi Ajip Rosidi: … Lalu kututupkan jendela/ Malam lengang/ Malamku yang lengang// (Tretes Malam Hari)

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al Hasyr: : 18-19)

Sekali kita belajar tentang kematian, kita akan belajar tentang kehidupan. Demikian Morrie Schwartz, guru besar sosiologi terkemuka di Brandeis University menyampaikannya pada Selasa ke-4 dari 14 Selasa sebelum ia pulang abadi dalam Tuedays With Morrie yang ditulis murid setianya Mitch Albom.

Sesungguhnya, tersebab itulah agaknya para sufi melakukan berbagai bentuk ritual karena kematian itu sebenarnya awal kehidupan yang lain. Bahkan kehidupan yang sesungguhnya. Mati bukan akhir dari segalanya. Malaikat maut tiba merupakan awal dari memulai semuanya. permulaan untuk bergerak dalam sebuah perjalanan di lebuh panjang yang terkadang terasa menyenangkan, dan juga terjal, licin, lapang, menyendeng, miring, berbelok, zigzag, menurun, serta mendaki.

Maka segalanya mesti dipersiapkan. Memahami, menyerah, berlatih, dan menerima dengan dada dan hati terbuka yang pada ujungnya berbahagia, dan menerima akhir dunia dengan segala konsekwensinya.

Tenas Effendy mengingatkan: wahai ananda dengarlah peri/ tunangan hidup adalah mati/ siapkan bekal ketika pagi/ supaya tidak menyesal nanti// Wahai ananda dengarlah amanat/ hidup di dunia amatlah singkat/ banyakkan amal serta ibadat/ supaya selamat dunia akhirat.

Wallahu a’lam. ***

Baca: Suatu Ketika di Tepi Selat Malaka

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *