Suatu Ketika di Tepi Selat Malaka

Muslim Paripurna

MAK TIFAH, mungkin begitulah orang-orang memanggilnya. Atau setidaknya nama itu disematkan penulisnya dalam kisah ini. Perempuan berumur kepala lima itu tampak sibuk memungut berjenis-jenis ikan dan udang di sela-sela gelas Aqua dan sampah yang berserak di atas pasir putih membentang pada pukul 22. 22 waktu Indonesia bagian barat.

Di depannya, di atas pasir yang timbul tenggelam, yang sekali sekala dielus ombak kecil, dua orang remaja sedang membentang jaring pukat. Di atas kening mereka menyala lampu senter. Mereka terlihat sangat serius, dan seolah bersegera menuntaskan pekerjaan itu. Barangkali karena sekejap lagi laut akan tiba pasang. Atau entahlah. Dan, jika pasang tiba, tentu saja prosesi memukat ikan di pantai segera usai. Air laut akan menenggelamkan segalanya, termasuk rezeki mereka malam itu. Ketika pasang datang menjenguk itu, ombak besar segera tiba. Yang akan terlihat hanya ombak dan gelombang atau lampu-lampu kapal, atau lampu-lampu yang berkelipan dari negeri seberang.

Satu bladi alias satu ember Mak Tifah sudah hampir penuh berisi udang-udang kecil. Separuh keranjang besar sudah pula terisi ikan-ikan dari berbagai jenis, termasuk lomek.

Perempuan paruh baya itu duduk menunggu anak-anaknya menarik pukat ke tepi pantai. Sesekali ia nyalkan lampu senter di kepalanya, dan menghalakan cahayanya ke tengah laut. Sesekali dihadapkan pula ke sekelilingnya.

Di tengah laut, di belakang anaknya, di kaki langit tampak awan hitam seperti pohon gergasi tegak menjulang yang seolah-olah kakinya terhunjam di tengah laut. Sekali pandang atau salah-salah pandang, bayangan itu amat menakutkan.

Lelaki asing yang menyaksikan aktivitas Mak Tifah dan anak-anaknya itu segera meninggalkan pantai. Angin laut ketika malam membuat tubuhnya bergetar kedinginan. Lagi pula matanya sudah mulai berat dihimpit ngantuk karena kelelahan dan kurang tidur.

***

Matahari belum timbul di langit. Suara deburan ombak menghantam dinding tebing terdengar riuh gemuruh. Pasir putih yang semalam diinjak Mak Tifah dan dua anaknya sudah tak ada lagi. Hanya beberapa perahu nelayan yang terlihat di kejauhan seperti terombang ambing, oleng kiri dan kanan diayun gelombang.

Di depan sebuah villa yang beradegam di pinggir laut, di atas gazebo yg tegak di atas laut, lelaki asing itu duduk sambil memainkan gadjet. Ibu jarinya cekatan dan cikar meloncat serta melompat di atas tuts gadjet. Sementara deburan ombak kian ganas. Sekarang laut sedang pasang. Air tak sejernih semalam. Namun langit tampak jernih. Pohonan awan hitam semalam sudah hilang. Awan putih kebiruan dan sesebuah tampak keabu-abuan menghiasi langit.

Sudah hampir setengah jam lelaki itu menikmati suasana alam sekitar. Matahari sudah mulai menyembul di sela-sela awan. Angin mulai bertiup agak kencang. Suara ombak bertambah gemuruh.

Pancaran sinar matahari sudah menimpa laut. Berkilau, memanjang seolah hendak bersalaman atau setidaknya menyapa tubuh lelaki itu. Lelaki itu sebenarnya ingin menikmati pantai dan menunggu pasang segera timpas. Namun ternyata menunggu itu tak mungkin karena ia segera pergi, segera menuju untuk menyelesaikan tugas lain yaitu bertemu dengan tokoh-tokoh budaya di kampung tepi selat itu, dan kembali lagi ke kota tempat ia bermastautin.

Sebelum kembali, ia menuju villa antik yang menjura di tebing sebagai tempat ia menginap. Ia mengambil pakaian renang atau tepatnya celana basahan mandi. Ia ingin menikmati air laut yang sedang pasang. Membiarkan ombak menampar tubuhnya dengan leluasa.

Ya, pantai semalam sudah hilang, tinggal berendam di ombak pasang. Ia nikmati dinginnya air laut dengan hati sangat senang walau warnanya pagi itu sedikit keruh kehitaman. Ia biarkan arus gelombang mendorong dan menariknya. Ingin ia berlama-lama berendam., membiarkan tubuhnya ditarik hela gelombang. Namun tiba-tiba melintas di pikirannya bahwa ketika pasang seperti ini boleh jadi monster kecil berupa jellyfish alias si ubur-ubur imut dapat saja menyengatnya. Ya, bukan todak yang menyerangnya seperti dalam kisah Singapura Dilanggar Todak tapi ubur-ubur. Ya, ubur-ubur, si makhluk lunak namun memiliki bisa beracun.

***

Jalan dari pantai menuju pelabuhan demikian rusaknya. Apalagi semalam terjadi hujan lebat. Salah satu mobil innova yang mereka naiki tak dapat keluar dari jalan lecah dan licin yang ditimbun kayu-kayu balok. Berkali-kali driver menaikkan gas, berkali-kali pula ban mobil menggasing alias berputar seperti gasing. Mobil tetap tak beringsut walau setapak. Selain driver, mereka pun keluar dan mendorong mobil itu. Setelah sekian lama berusaha, akhirnya mobil pun terlepas dari jeratan. Namun sebagian dari mereka mesti berkubang tanah karena cipratan ban yang meronta dari licinnya jalan.

Mobil terus melaju menyusuri jalan yang terkadang sangat laju karena meluncur di jalan yang beraspal, namun tak lama kemudian terpaksa melambat karena aspal yang pecah-pecah atau sekali sekala terpaksa terlonjak-lonjak di atas jalan pasir batu yang lubangnya menganga di sana sini.

Kira-kira pukul 14.00 WIB mereka tiba di pelabuhan penyeberangan setelah tadi bertemu dan berbincang dengan beberapa orang batin atau tokoh adat dari kelompok proto malay yang berasal dari suatu kampung yang terdapat di pulau itu. Ia amat senang dan merasa puas karena memperoleh informasi yang amat berguna dan bernilai bahwa local wisdom atau kearifan lokal memang amat diperlukan, dan takkan lapuk dihempas zaman. Akan tetapi dalam beberapa hal, kemajuan teknologi dan keterbukaan informasi serta mental pragmatis membuat kaum muda mereka seolah ingin meninggalkan semua nilai-nilai antik itu.

Dari haluan kapal, mata lelaki itu memandang ke seberang, ke tempat di mana pokok bakau tumbuh elok di tepi pantai, di belakang kapal-kapal besar dan kecil yang menyandar. Ia teringat aktivitas kemarin siang di hutan mangrove milik kelompok tani. Ia dan beberapa rekan menanam bakau sebagai upaya untuk mencintai makhluk penyelamat pantai dari abrasi. Ia ingin jika suatu ketika datang lagi kemari, bakau-bakau yang ditanamnya dapat menemani tanaman mangrove lain yang dihajatkan sebagai penahan serangan gelombang yang hendak menenggelamkan tempat itu.

Kapal penyeberangan alias roro mulai bertolak ke tengah selat. Pikiran lelaki itu mulai berganjak dan teringat semua peristiwa yang dilaluinya beberapa hari ini. Teringat Mak Tifah dan anak-anaknya yang sangat menikmati pantai serta hasil laut yang seolah datang menyadai ke pelukan mereka.

Amatlah pantas jika mereka tak mau meninggalkan negeri alias merantau ke seberang walaupun itu hanya sepelempar batu saja. Kalau di negeri kami semuanya ada, mengapa kami harus bersusah-susah menyeragai alias bekerja keras di kampung orang? Bukan kami tidak bermental fighter dan manja apalagi malas. Bukan itu. Sungguh bukan itu. Akan tetapi untuk apa berkelahi dengan nasib dan sesuatu yang tak pasti di laman orang sementara di muka pintu rumah sendiri, nasib kami telah berbunga? Tanah kami subur. Apa yang ditanam segera tumbuh. Laut kami makmur, alat tangkap yang dipasang dan direntang akan menghasilkan ikan, kepiting dan udang-udang. Tanah kami tanah surga. Laut kami hamparan nirwana. Indah menyala di mana-mana.***

Baca: Bola Cinta Maroko

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews