Puasa; Olah Batin

Pemuda

JIKA ada olah raga, yang berupaya mengolah fisik, menyehatkan badan, maka puasa adalah olah batin, yang berupaya menyegarkan sisi batin manusia. Dalam tradisi Jawa, ini biasanya disebut dengan laku tapa, sebuah upaya yang menggambarkan konsep pengendalian diri atau pengekangan jiwa dari berbagai penyakit hati. Hasil tempaan dalam laku tapa ini, akan bermetamorfosa menjadi sosok yang kuat dan digdaya.

Sebuah teks yang mengisahkan dan menggambarkan bagaimana proses laku tapa ini adalah Arjunawiwaha, yang diubah oleh Mpu Kanwa pada 1028-1035. Teks ini merupakan tonggak awal sastra Jawa Kuno. Syair yang lahir pada masa Raja Airlangga tersebut mengisahkan Arjuna dalam mencari anugrah dari Sang Pencipta (Zoetmulder, 1983).

“Untuk mendapatkan anugerah itu Arjuna melakukan tapa di Gunung Indrakila. Dalam bertapanya ia dihadapkan banyak ujian. Godaan hawa nafsu yang disimbolkan oleh para bidadari cantik. Ujian melepaskan keduniawian yang digambarkan dalam perbincangan falsafi dengan Batara Indra. Cobaan melawan keserakahan diri yang disiratkan dalam pertarungan dengan binatang buas. Uji mental dalam melawan rasa iri dan dengki yang dikisahkan melalui pertarungan ular berkepala dua. Pengekangan rasa amarah dalam diri yang dilambangkan dengan pertempuran melawan raksasa”

Dalam puasa, bukannya kita juga dituntut untuk menahan nafsu kita? Menahan diri dari godaan mata? Menahan diri dari godaan telinga? Menahan diri dari serakah, iri dan dengki, rasa amarah dalam diri? Ini semua adalah sisi-sisi batiniyah manusia, yang harus kita olah, kita latih, melalui ritual puasa.

Puasa merupakan laku spiritual bagi setiap muslim, yang mampu mengontrol sisi batin manusia untuk jauh dari perilaku maksiat. Saat puasa, kita sedang belajar, mengkondisikan diri dan merasakan sebuah situasi dimana kita harus mesti menunda berbagai keinginan, seperti makan, minum, gosip, mengumpat, atau ekspresi marah lainnya.

William C. Chittick dalam bukunya The Vision of Islam, menyebut bahwa ibadah puasa merupakan ibadah yang paling berkarakter dalam Islam, merupakan ritual batin. Ia mengatakan bahwa puasa merupakan rukun Islam yang paling berkarakter dan sangat spiritual, karena merupakan ujian kejujuran seorang hamba terhadap agama mereka.

Ibadah puasa mampu mendorong seseorang meningkat kualitas kemanusiaannya secara spiritual. Ada ungkapan Jawa yang menyebut proses berpuasa itu sebagai “mangan turu neng longan”, makan dan tidur untuk dikurangi. Dengan berpuasa, kita diajak untuk belajar mengurangi hal-hal yang bersifat material, makan, minum, seks, juga hal-hal yang bersifat non-material; nafsu, amarah, nalar, iri, dengki, dan seterusnya.

Tubuh fisik yang kita miliki, adalah tanah yang kering dan tersinari oleh cahaya, akan menjadi debu yang mudah untuk terbang ke Langi (Murata dan Chittick, 2005: 36, 137). Puasa dengan begitu, akan memberikan titik kesadaran manusia dalam mencapai pengendalian atas tubuh, bukan tubuh yang menguasai jiwa. Dengan kemampuan mengendalikan jiwa inilah, Rahmat dan anugerah Allah akan dengan mudah “menyelinap” masuk kedalam diri sesekorang.

Banyak ulama’ yang berhasil mencapai kualitas spritualitasnya, melalui puasa. Ada seorang pemuka ulama pernah menyebutkan “Peganglah ilmu, lapar, lemah (khumul), dan puasa. Karena ilmu adalah cahaya yang menerangi, dan lapar adalah hikmah.” Dia juga mengutip pernyataan Abu Yazid, “Tak sehari pun aku lapar karena Allah, melainkan aku melihat satu pintu hikmah di hatiku yang belum pernah kulihat sebelumnya.”

Namun demikian, sangat disayangkan, tidak sedikit orang mengaku berpuasa, tetapi aktivitas selama masa berpuasa, tidak sejalan dengan subtansi ibadah itu sendiri. Jika usia kita saat ini 40 tahun misalnya, setidaknya sejak masa akil baligh (bila kita pukul rata-rata usia 15 tahun), sudah menjalani puasa Ramadhan sebanyak 25 kali. Angka yang sejatinya tak lagi sedikit seiring dengan meningkatnya kemampuan daya jejalajah spiritual kita. Wallahu a’lam bi al-Shawab. ***

Baca: Marhaban ya Ramadhan

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews