Negara dan Kekerasan

Pemuda

SALAH satu dictum penting dalam moderasi beragama adalah menghindari sekuat mungkin tindakan kekerasan dalam mencapai tujuan tertentu, bahkan dalam mewujudkan kemuliaan agama sekalipun. Tindakan kekerasan, apapun bentuk dan narasinya selayaknya untuk selalu dihindari.

Setiap umat beragama, selayaknya untuk senantiasa menghindari tindakan kekerasan dalam bentuk apapun, termasuk didalamnya adalah kekerasan fisik, psikologis, seksual, dan ekonomi. Prilaku kekerasan ini, tidak saja akan merugikan diri sendiri dan lingkungan sekitar, yang pasti akan merobek-robek rasa kemanusiaan.

Esensi dari setiap agama adalah menghargai kemanusiaan. Setiap kebijakan hukum atau kebijakan apapun itu, mestilah memberikan ruang seluas-luasnya bagi kemashlahatan bersama. Ketika Rasul yang mulia, berdiri untuk menghormati seorang jenazah Yahudi sedang lewat dan para shahabat protes, Nabi menjawab “Bukankan dia manusia?”.

Di sini, kemanusiaan seperti tidak memiliki sekat-sekat sosial, tanpa hijab ras dan warna kulit, bahkan tanpa dipisah oleh agama.

Dalam Islam, Allah senantiasa mengingatkan kepada para hamba-Nya untuk saling memuliakan; menyerukan kepada semua umat manusia untuk saling memuliakan satu sama lain: Walaqad karramna Bani Adam –Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. (Q.S. Al-Isra’/17:70). Allah tidak mengkhususkan bagi umat Islam semata, atau orang-orang yang beriman saja, melainkan Bani Adam, anak cucu Adam.

Siapapun yang merasa anak cucu Adam, tanpa membedakan jenis kelamin, etnik, agama, dan kepercayaannya, wajib menghormati satu sama lain. Wajib bagi kita untuk memuliakan umat manusia sebagaimana Sang Penciptanya memuliakannya.

Nah, ketika suasana beragama yang demikian mulia dalam memuliakan manusia, justru negara mendemonstrasikan perikau kebiadaban yang merusak nilai-nilai kemanusiaan. Ketika negara sedang mengarusutamakan moderasi beragama, pada saat bersamaan negara sendiri yang membongkarnya dengan tindakan kekerasan.

Tragedi kemanusiaan itu terjadi pada tanggal 7 September 2023 yang lalu. Seluruh unsur pertahanan dan keamanan negara turun; ada TNI, Polisi, Satpol PP, dan Ditpan Badan Pengusahaan yang menyerbu warga Pulau Rempang di Jembatan 4 Barelang Kota Batam. Peristiwa ini, tentu saja menuai kecaman public. Banyak kelompok-kelompok warga negara yang mengecam tindakan kekerasan negara atas warga sipil itu.

Tragedi kemanusian itu tidak saja telah melukai secara fisik warga Rempang. Namun juga secara psikologis. Peristiwa kekerasan itu justru terjadi didepan anak-anak. Siswa-siswi SDN 24 dan SMPN 22 Galang, menjadi saksi kebrutalan negara dalam menangani sebuah persoalan. Adegan kekerasan itu, tentu akan menjadi “memory” penting dalam Sejarah Panjang kehidupan anak-anak itu di masa depan.

Jika negara yang menjadi “suri tauladan” bagi warganya, begitu menghalalkan perilaku kekerasan, maka jangan heran jika kekerasan demi kekerasan akan terus “bersemi” dalam diri Masyarakat ini. Lihatlah diberita-berita, ragam kekerasan begitu “hilir-mudik” di depan kaca televisi; suami bunuh istri; menantu membunuh mertua; ibu membunuh anaknya; dan adegan-adegan kekerasan lainnya.

Moderasi Beragama yang “di-hymne-kan” dijagat negeri ini, mengalun indah dengan berbagai “orkestra” kegiatan, menjadi lipstifikasi semata. Maksud anti kekerasan dalam dictum Moderasi Beragama seharusnya bermakna “untuk tidak menyakiti dengan tindakan, tidak menyakiti dengan kata-kata, bahkan tidak menyakiti sejak dalam pikiran” justru melahirkan sesuatu yang menyebabkan rasa sakit yang amat sangat, dan akhirnya menimbulkan kebencian dan konflik.

Selayaknya negara menjadi tauladan bagi warganya, untuk selalu memberkan rasa damai bagi seluruh rakyat Indonesia. Negara bukan menjadi alat bagi sekelompok orang untuk melampiaskan binalitas hasrat, nafsu, amarah, angkara atau lainnya. Dan siapapun kita, yang hidup di bumi Indonesia, sesungguhnya adalah bagian dari negara tercinta ini. Wallahu a’lam bi al-Shawab.***

Baca: Jalan Kedua Integrasi Keilmuan

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews