Sekelumit tentang Moderasi Beragama (1)

DALAM sebuah diskusi, terdapat beberapa pertanyaan yang menarik terkait dengan pengarusutamaan moderasi beragama yang sejak tahun 2019 bergulir. Pertanyaan ini sesungguhnya yang selama ini terus muncul di lapangan. Saya ingin menguraikan beberapa hal terkait dengan pertanyaan-pertanyaan yang terus muncul di lapangan ini.

Pertama, kata moderasi sudah ada sejak Alquran diciptakan oleh Allah. Jika Alquran dipahami diciptakan Allah sebelum kelahiran Nabi Muhammad, atau bahkan sebelum manusia diciptakan, maka kata moderasi sudah ada sejak itu. Sebab, kata moderasi disandarkan kepada kata awsath atau wasatha dalam Alquran. Kata ini, dalam Alquran terulang 5 kali dalam bentuknya yang variative, yaitu pada surat al-Adiyat (100): 5, al-Baqarah (2): 143, al-Maidah (5): 89, al-Qalam (68): 28, al-Baqarah (2) : 238.

Dengan begitu, Wasathiyah atau moderat bukanlah ajaran baru atau ijtihad baru yang muncul di saat ini. Namun demikian sikap beragama yang wasathiyah atau moderat telah ada seiring dengan turunnya wahyu dan munculnya Islam di muka bumi, sejak 14 abad yang lalu. Hal ini dapat dilihat dan dirasakan oleh umat Islam yang mampu memahami dan menjiwai Islam sesuai dengan orisinalitas nashnya dan sesuai dengan konsep dan pola hidup Nabi Muhammad saw, sahabat dan para salaf shaleh.

Hampir semua mufasir sepakat bahwa makna wasathiyah adalah adil, tengah-tengah, seimbang, tidak berlebih-lebihan, dan pun tidak berkekurangan. Sikap yang moderat dalam makna ini, telah dicontohkan dalam Alquran. Misalnya, memilih pola kehidupan yang seimbang antara kebutuhan duniawi dan ukhrawi, sebagaimana yang kita ungkapkan dalam setiap doa Rabbana atina fi al-dunya hasanah wa fi al-ahirati hasanah). Contoh lain sikap moderat adalah bersikap dalam berinfaq, antara boros dengan pelit. “Dan, orang-orang yang apabila berinfak tidak berlebihan (boros) dan tidak (pula) kikir. (Infak mereka) adalah pertengahan antara keduanya,” (QS. Al-Furqan/25: 67).

Jadi kata moderat berarti sikap beragama yang tidak belebih-lebihan, Jangan Terlalu dalam beragama; yang sedang-sedang saja. Persis, seperti orang yang berbicara; tidak terlalu keras dan juga tidak berbisik-bisik.

Di sini, lawan kata dari moderat adalah berlebih-lebihan atau ekstrim. Bukan modern, lawan kata dari jadul, atau kuno. Tentu saja sangat berbeda antara modern dan moderat. Memang ada aliran dalam pemikiran Islam yang disebut dengan pemikiran Modernis, disandingkan dengan Tradisionalis. Ada pula Neo-modernis disandingkan dengan Post-Tradisionalis.

Kedua, dalam beragama kita perlu untuk mampu membedakan antara wilayah normative, qoth’i, dogmatic, dengan wilayah historis, pemikiran, peradaban, dalam Islam. Jika yang pertama adalah ajaran-ajaran agama yang disepakati kebenarannya, maka yang kedua lebih bersifat ikhtilaf, masih diperdebatkan kebenarannya.

Dalam Bahasa Prof Amril dalam artikel di jurnal Potensia, edisi Juni 2019, bahwa wilayah Islam normatif adalah menjadikan atau mendasari kebenaran pesan-pesan moral Ilahiyah pada ketentuan-ketentuan yang telah baku, disepakati dan menjadi prinsip yang mesti diikuti. Di sini ajaran-ajaran Islam tidak mentolerir adanya perdebatan, semua sepakat. Misalnya, setiap umat Islam harus atau wajib menutup aurat. Atau Allah mengharamkan riba. Perintah ini clear dan jelas. Tidak ada satu ulama pun yang membantah itu. Karena ia, normative, dogma, tidak berubah sepanjang zaman.

Namun demikian, ketika teks itu, atau perintah itu kemudian turun, melewati batas-batas pemikiran manusia, yang kemudian ditafsirkan dan mewujud pada ekpresi beragamanya, maka ia menjadi historis, menyejarah dalam kehidupan manusia. Kenapa demikian? Ketika teks itu kemudian dimaknai oleh manusia, dalam hal ini tentu saja para Ulama, ragam tafsir tentang batas aurat pun menjadi beragam.

Begitu juga soal riba. Bahwa riba haram itu adalah pasti, jelas, tidak ada satupun Ulama yang menolaknya. Namun ketika teks tentang riba itu diwujudkan, muncul ragam pandangan tentang seperti apa praktik riba itu sesungguhnya? Apakah semua tambahan dalam pinjaman di sebut riba? Samakah riba dengan bunga bank? Ternyata, pertanyaan-pertanyaan itu melahirkan pandangan yang beragam menurut para ahli.

Di sinilah kita diminta untuk bersikap moderat dalam konteks yang kedua di atas. Ketika ada orang yang berbeda dalam menggunakan jilbab, sebagaiimana dengan pemahaman kita, lantas kita kemudian “menghakiminya” sebagai orang yang salah, berarti kita tidak moderat. Begitu pula bagi mereka yang masih “ngotot” dan disertai dengan pandangan bahwa mereka yang masih menggunakan transaksi Bank konvensional adalah makan riba. Karena pada tataran ini, konsep tentang riba, masih menuai perdebatan. Ribanya sih jelas haram, tapi seperti apa praktik riba itu, masih ikhtilaf. Wallahu a’lam bi al-Shawab. ***

Baca: Kekerasan Seksual di Kampus

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews