Jalan Kedua Integrasi Keilmuan

PADA Kamis yang lalu, tepatnya tanggal 14 September 2023, UIN Suska Riau menggelar seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis atau ulang tahun UIN Suska Riau. Tema yang diangkat cukup reflektif, yaitu merajut kembali Integrasi Ilmu. Sebuah upaya mengingatkan kembali “benang yang berurai” tentang integrasi keilmuan di UIN Suska Riau.

Dalam beberapa pergantian pimpinan UIN Suska Riau, memang nyaris hilang suara integrasi keilmuan, yang merupakan salah satu alasan utama terjadinya metamorfosa IAIN menjadi UIN Suska Riau. Kita masih berdebat soal “apa yang akan diberikan”, sementara ditempat lain sudah berbicara “apa yang akan dilakukan”.

Kita hampir melupakan integrasi keilmuan yang menjadi core dalam mengembangkan penelitian, pengabdian dan pengajaran. Sayup-sayup tiada lagi terdengar penyusunan kurikulum yang melibatkan integrasi keilmuan didalamnya. Malah ada yang berteriak-teriak “apa sih integrasi itu?” “Saya dulu kan sudah usulkan konsep integrasi itu seperti ini”. Dan banyak lagi.

Momen dies natalis ini tentu menjadi menarik, untuk “merajut” kembali integrasi keilmuan. Di kampus lain, para peneliti sudah bergerak menuju “jalan kedua” integrasi keilmuan. Penggagas jalan kedua integrasi itu adalah Professor Amin Abdullah, yang menjadi salah satu Narasumber utama dalam seminar tersebut. Ibtime menyebut beliau sebagai sosok filosuf, sosok yang selalu konsisten berbicara tentang integrasi interkoneksi. Almarhum Prof. Azra, juga pernah mengakui akan hal ini.

Gagasan utama dari integrasi-interkoneksi ini adalah upaya untuk menghentikan egoism sectoral yang dimiliki oleh masing-masing disiplin keilmuan. Masing-masing keilmuan harus saling “menembus” satu sama lain. Mereka semestinya saling sapa, saling berhubungan dan berinteraksi secara aktif dan dinamis. Meskipun pada prosesnya, masing-masing disiplin ilmu akan tetap menjaga identitas dan eksistensi keilmuannya sendiri, namun ia harus tetap membuka diri untuk selalu berdialog, berkomunikasi dan berdiskusi dengan ilmu lain.

Dalam konteks dunia saat ini, yang dalam Bahasa Cak Nur disebat sebagai global village (desa buana), maka interaksi antara satu manusia dengan manusia lain sudah tiada batas lagi. Orang dengan sangat mudah berinteraksi dengan siapa saja dan dimana saja, tanpa memandang etnis, suku, Bahasa dan agama.

Konsekuensi dari situasi itu adalah meneguhkan atau menekankan kembali nilai-nilai kemanusian sebagai dasar pengembangan ilmu dan teknologi, budaya bahkan agama menjadi cukup relevan untuk selalu dipertimbangkan. Ketika dasar kemanusaiaan ini menjadi kata kunci, maka seluruh desain keilmuan semestinya juga meneguhkan hal yang sama.

Artinya, antara satu manusia dengan manusia lain yang memiliki displin ilmu yang berbeda, harus dengan jujur untuk saling mengisi, berdialog, bertegur sapa, demi menyelamatkan harkat dan martabat manusia. Bukan sebaliknya, yaitu saling menjatuhkan, saling mencemooh, saling menindas, dan seterusnya.

Sebab, kata Prof. Amin, diskursus dalam studi keagamaan atau studi Islam, tidak hanya berkaitan dengan ketuhanan semata, melainkan yang sangat penting adalah wacana kemanusiaan (historis-cultural) ini. Kita boleh saja mati-matian menjaga dan meneguhkan identitas keagamaan atau keilmuan kita sendiri, namun ketika berjumpa dengan yang lain, lebih-lebih yang berbeda, patut untuk terbuka, bertegur sapa, berdialog, mengisi ruang-ruang yang sama.

Oleh karena itu, isu-isu yang menjadi tantangan intergrasi keilmuan mendatang, dan UIN sebagai penggeraknya, adalah isu-isu yang berkaitan dengan Hak Azasi Manusia, Kekerasan Seksual, Ekologi, Korupsi yang benar-benar sudang menggurita di Indonesia, dan lainnya. Semua disiplin keilmuan di UIN, secara bersama-sama dan bekerja sama menyelesaikan persoalan-persoalan itu berdasarkan disiplin dan metodenya masing-masing (multidisipliner).

Melangkah lebih maju lagi adalah melakukan sintesa dari dua atau lebih disiplin keilmuan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan tersebut (Interdisipliner). Upaya pemaduan ini bisa dalam bentuk metode, data, Teknik, teori, maupun persepktifnya, sehingga interaksi yang terbangun sedemikan intensif antar disiplin keilmuan.

Puncaknya adalah meleburnya beberapa hal yang ada di dalam berbagai disipin keilmuan dalam satu tarikan nafas (Transdisipliner). Tujuannya adalah munculnya pengembangan ilmu yang baru. Ia berupaya melakukan pengembangan teori atau aksioma baru dengan memanfaatkan antar berbagai disiplin keilmuan.

Itulah jalan kedua dari integrasi interkoneksi yang dibangun oleh Prof. Amin dalam konteks integrasi keilmuan di UIN. Namun yang patut untuk menjadi refleksi bersama, dan meskipun oleh Prof. Amin ini sudah menjadi bagian penting dari berdirinya UIN itu sendiri, akan tetapi bagi saya, ini juga menjadi sangat penting dalam membaca UIN kedapan dalam konteks UIN sebagai Lembaga keilmuan dan Lembaga negara.

Sebagai Lembaga keilmuan, UIN dituntut untuk terbuka, mentradisikan berfikir kritis-dialogis, tidak merasa benar sendiri, saling sapa antar disiplin ilmu, dan seterusnya. Bahkan dalam catatan Prof. Amin, sebagai Lembaga keilmuan, UIN juga dituntut untuk memperbanyak ruang-ruang perjumpaan antar warga bangsa yang berbeda-beda ini; suku, ras, etnis, bahkan agama.

Lebih-lebih UIN merupakan Lembaga negara, Lembaga publik, milik semua warga negara, sehingga siapa saja boleh mempunyai akses yang sama. Menjaminkan hak-hak warga negara pada Lembaga negara atau Lembaga Publik ini, menjadi sangat penting untuk dilakukan, dengan tanpa memandang suku, ras, etnis, dan agama. Wallahu a’lam bi al-Shawab. ***

Baca:  Marah

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews