Pemuda

Pemuda

HAMPIR pada setiap perubahan dalam Sejarah, di sana ada peran pemuda. Bung Karno, sang inisiator Sumpah Pemuda tahun 1928, saat itu baru berusia 27 tahun. Ketika Panglima Besar Jenderal Soedirman melawan agresi Belanda, beliau baru berusia 38 tahun.

Dibelahan dunia sana, Thariq bin Ziyad menerobos benteng Andalusia, saat dia berusia 18 tahun. Sementara Solahudin Al Ayubbi tatkala membebaskan Palestina, ketika ia berumur 17 tahun.

Professor B. J. Habiebie, mencatat Sejarah penting dengan menyelesaikan gelar doktoral dan profesor pada saat berumur 26 tahun. Dia menjadi profesor dan doktor termuda di Jerman pada zamannya.

Maknanya adalah bahwa peran generasi muda pada masanya, telah mampu menorehkan catatan Sejarah penting bagi negara dan bangsanya. Mereka dengan penuh dedikasi, motivasi dan visi yang sangat kuat, untuk memberikan perubahan.

Tidak heran jika kemudian Bung Karno pernah menyatakan “Berikan aku 10 pemuda, maka akan aku guncang dunia”.

Persoalannya kemudian adalah adakah korelasi antara batas usia seseorang dengan kematangan dan profesionalitas seseorang dalam melakukan perubahan, terutama menjadi seorang pemimpin publik? Adakah alasan sosiologis atau filosofis, yang mengharamkan batas usia tertentu untuk melakukan perubahan atau memimpin?

Pertanyaan ini lah kemudian menggiring pada perdebatan terkait dengan batas usia seseorang untuk menjadi pejabat publik di negeri ini, misalnya menjadi anggota DPR, Bupati/Wali Kota, Gubernur, dan Presiden.

Sebagaimana diketahui bersama bahwa pada senin tanggal 16 Oktober 2023 yang lalu, Mahkamah Konstitusi telah menetapkan batas usia minimal Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan sebagai kepala daerah melalui pemilihan umum.

Dengan dasar ini, Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo, melenggang tenang untuk maju sebagai cawapres Prabowo Subianto.

Dalam perspektif psikologi, batasan umur minimal seseorang bisa menjadi pemimpin sudah kurang relevan dengan situasi saat ini. Batasan usia pemimpin itu sangat pas diterapkan di masa lalu, saat akses informasi dan kesempatan belum terbuka lebar seperti sekarang. Demikian kata Galang Lutfiyanto, pakar psikologi kognitif sekaligus dosen pada Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Begitu juga menurut Taufiq Pasiak, ahli Neorosains yang juga Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta. Dalam beberapa keputusan tentang batas usia pemimpin di negara-negara modern, tidak pernah melibatkan sains. Tetapi lebih menonjolkan kepentingan politik dan budaya di negaranya masing-masing. Sehingga pertimbangan-pertimbangan sains, sering terabaikan.

Nah, kepentingan-kepentingan politik terkadang justru “mencederai” semangat pemuda untuk maju di negeri ini. Keserakahan akan kekuasaan tiba-tiba sudah merasuki alam fikir para pemuda. Jaminan menjadi “sultan” tanpa bekerja keras, telah mengilhami setiap generasi muda Indonesia, untuk berpolitik. Bahkan Dokter Spesialis pun tertarik untuk berdiri gagah menjadi “pelayan Rakyat”.

Dalam lipatan kepentingan-kepentingan itu, yakinlah para pemuda Indonesia akan dengan sangat mudah tenggelam dalam pentas Sejarah. Para pemuda yang seharusnya menjadi agent perubahan, takluk oleh nafsu kekuasaan, berdiri karena bayang-bayang kekuasaan keluarganya, Sejarah pasti akan menenggelamkan dengan sendirinya.

Padahal seoarang pemuda memiliki energi dan antusiasme yang sangat tinggi untuk maju. Dan ini menjadi modal sosial (Social capital) baginya untuk mewujudkan visi dan misinya dalam membangun negeri ini. Bukan modal dari keluarganya. Wallahu a’lam bi al-Shawab, ***

Baca: Palestina; Nasibmu Kini

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews