Kekerasan Seksual di Kampus

Pemuda

JIKA Anda pernah menonton film pendek “Demi Nama Baik Kampus”, maka anda akan merasakan betapa “kokohnya” hegemoni kaum laki-laki yang bersembunyi dibalik norma-norma atau bahkan fatwa-fatwa agama. Bagaimanapun ia berjuang menyuarakan derita yang ditanggungnya, ia hanya memperoleh jawaban yang sangat lembut dan indah, yaitu “agar kampus tidak tercoreng”.

Film yang diluncurkan oleh You Tube Kemendikbud pada ahir 2022 yang lalu ini, berkisah tentang seorang mahasiswi bernama Sinta yang sedang dalam masa penelitian untuk tugas akhirnya.

Pada saat itu, ia bermaksud mengusung atau mengangkat mengenai seorang R.A. Kartini dalam skripsinya. Menurutnya, sosok Kartini yang selama ini digambarkan oleh media, mengesankan akan kepasrahan. Padahal, menurutnya, gagasan yang ada dalam surat-surat Kartini itu, sangat tajam dan berani mengkritik hal-hal yang dianggap tidak adil bagi seorang wanita, baik dalam masyarakat, politik, maupun budaya.

Di Tengah-tengah budaya jawa yang begitu kuat akan system patriarkhinya, bahkan perempuan Jawa saat itu disimbolkan dengan jargon di kasur (menemani suami di kamar tidur), di sumur (mencuci baju), dan di dapur (memasak, cuci piring, dll), Kartini berani “melawan” dengan kritik-kritik tajam.

Sinta, sosok perepmuan dalam Film tersebut, mendapatkan pembimbing skrips seorang dosen muda, laki-laki, dan banyak dikagumi oleh mahasiswinya. Hal ini, selain karena penampilannya yang menarik, juga karena kemampuannya dalam melakukan proses pembelajan di kelasnya.

Persoalan mulai muncul, ketika Sinta memperoleh jadwal bimbingan dari sang dosen pada waktu malam hari. Alasan sederhana yang disampaikan sang dosen adalah, agar mereka memiliki waktu yang loggar dan leluasa untuk membahas skripsi Sinta.

Pada awalnya, Pak Arie, begitu panggilan sang dosen muda ini, berperilaku baik. Hingga disuatu saat, Pak Arie mendekatkan kursi duduknya disebelah Sinta, kemudian Sinta disuruh untuk memanggil Mas, pada pak Arie. Sinta semakin kurang enak, ketika tangan Pak Arie mulai menyentuh bagian-bagian sensitive dari tubuh Sinta.

Hal ini, menyadarkan Sinta, bahwa menyetuh bagian tubuh Perempuan tanpa persetujuan, dianggap sebagai bagian dari pelecehan seksual atas Perempuan.
Ketika Sinta mencoba mengelak dengan berlari ke toilet, Pak Arie juga terus mengejarnya sambil memberikan ancaman agar peristiwa ini, tidak dilaporkan kepada siapa saja. Pak Arie sedang mengancam Sinta. Sinta pun hanya bisa menangis, sangat ketakutan.

Ketakutan Sinta saya kira cukup beralasan. Pertama, ada relasi kuasa yang tidak seimbang. Sinta dibayangi oleh kehendak untuk segera memperoleh nilai dari pembimbing skripsinya; kedua, Sinta dihadapkan pada situasi yang dipersalahkan. Publik pasti akan segera menyalahkanya. Apalagi yang dihadapi adalah seorang dosen yang ramah, berpenampilan bagus, dan dianggap memiliki kemampuan “lebih” oleh kampusnya.

Nah, adegan selanjutnya saya kira sudah bisa dibaca. Setelah kejadian itu, Sinta depresi berat. Beberapa hari ia tidak kuliah, tidak berkomunikasi dengan siapapun, dia hanya sanggup diam. Syukurlah, datang teman Sinta, Namanya Abi. Lalu Sinta pun bercerita semua kejadian dirinya. Abi lalu mengajak Sinta untuk mengadu kepada Rektor. Namun Rektor lebih percaya dengan Pak Arie yang menjadi dosen favorit di kampus. “Justru dia yang merayu saya, agar mendapat nilai bagus” ujar Pak Arie di depan Rektor.

Meskipun pada ahirnya, Sinta memperoleh haknya dan pelaku mendapatkan sanksi yang setimpal, namun perjuangan yang dilakukan oleh Sinta, dalam Film ini, sungguh luar biasa. Bahkan ia hampir menyerah. Satgas PPKS berhasil membantu Sinta dalam memperjuangkan kasusnya ini.

Film ini, sebenarnya ingin menyebutkan bahwa tidak ada kata duka, bahkan duka yang sangat dalam ketika melihat Perempuan yang menjadi korban pelecehan, jutru menjadi “korban”, yang dipersalahkan. Duka itu semakin menggila, di saat yang bersamaan, peristiwa itu muncul di dunia akademik atau kampus. Sebuah Lembaga yang menjadi kawah candradimuka kaum Begawan, intelektual, dan deretan sebuatan lain yang serba “maha” melekat di sini, justru menyimpan “bom” kekerasan seksual.

Ini seperti gunung es. Kasus-kasus yang muncul dipermukaan, sepertinya hanyalah “riak-riak” saja dari “bongkahan” kasus lain di dalamnya. Kementerian PPPA pada tahun 2022, menyebutkan bahwa dari 21.221 kasus kekerasan seksual di dunia Pendidikan, yang paling banyak ada di Perguruan Tinggi.

Ketika ada pengaduan-pengaduan tentang perilaku kekerasan seksual disekitar kita, mestilah kita bijak bersuara. Sikapi dengan menjadi “shahabat” atas mereka yang menjadi korban. Ajak untuk menceritakan secara detail persitiwa demi peristiwa yang menimpanya. Atau kita diam, membiarkan perilaku-perilaku yang dilarang Tuhan untuk mendekatinya itu, hidup subur di Kampus Islam? Hanya karena “Demi nama baik Kampus”.

Ingat, Kampus yang bersih dan aman dari tindak kekerasan seksual bukanlah diukur oleh tidak adanya kekerasan seksual didalamnya, melainkan kemampuan sebuah kampus dalam merespon dan menangani kekerasan itu. Artinya, kampus yang aman dari “horror” kekerasan seksual, bukan berarti nol dari kekerasan seksual. Hari ini, justru kita menutupi kasus-kasus itu, agar kampus kita Nampak “bersih”.

Ya, kita bisa saja “menipu” orang lain dengan membungkus kasus-kasus kekerasan seksual, dalam Bahasa agama sebenarnya perzinahan, dengan cara-cara sedemikian rupa. Akan tetapi Tuhan tidak bisa kita tipu-tipu. Allah Mboten Sare (Allah tidak Tidur), kata Mbah ku dulu. Wallahu a’lam bi al-Shawab. ***

Baca: Pemuda

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews