Memerankan Malam
Aku melihat malam; tidak tidur. Di situ ada bintang, mengedari hari esok, kelamnya menjaga rembulan, lewat kidung mata pencaharian nelayan
Aku memotong malam
hitam; luruh menggores tanggal
dari bising kesunyian
dari hening kendaraan
yang mogok, yang bersandar
pada halamannya masing-masing
Aku mendengar malam,
dalam dada yang meringis
gelandangan mendengkur
di pondok merica menumpuk
memupuk resah menelungkup — menagih langkah kelelahan hidup
Aku merasakan malam,
menebar, menyebar haluan
menebah, memapah kesangkilan
Aku menyandera malam;
seperti udara menampung hujan, rintik yang ringkih, membasahi langit
ketika menangis
Aku mengabadikan malam,
mati pandang yang terlelap, masih hidup di alamatulhayat
Aku menyangsikan malam; kalam. Hingga pagi datang lembut — sebelum malam benar-benar terebut
Aku melihat malam. Aku memerankan malam. Aku menjadi malam. Aku adalah malam itu..
2023
Agresi
Tubuh bengkok
lawan arus melenggak-lenggok
Telinga ramai seru igauan
teriak makna dimuntahkan
Biar sendiri di sini
kemerdekaan bangkit kembali
Biar jauh beribu-ribu
seribu aku; bunuh lebih dulu!
2023
Waktu
Waktu, waktu selalu habis di pergelangan tanganku.
Dinding-dinding rubuh, dimakan waktu
Waktu, waktu selalu habis di balik perjalananku.
Aku memoar di pojok buku
Waktu selalu habis di tangan kiriku.
Waktu, waktu yang terpotong; terpenggal dari sayatan gunting yang merobek kepalaku
Waktu; selalu waktu.
Tubuhku telah hangus menjadi abu.
Terpacak aku dalam waktu
Waktu yang berdetak dan tak menentu.
Waktu, telah habis mengenal tubuhnya sendiri..
2023
Ini Puisi Pecah
Telepon genggam pecah, jam tangan pecah, kacamata pecah, gelas pecah, piring pecah, asbak pecah, lampu pecah, patung-patung pecah berserakan di telapak kakimu
“Awas barang pecah belah!”—stiker fragile ditempel dari gambar yang pecah-pecah, kepercayaan yang pecah, kerukunan yang pecah, keadilan yang pecah, kemanusiaan yang pecah, keperawanan yang pecah, (identity) yang pecah, dan pecahan-pecahan bilangan matematika yang merumus-padanan lembaran kertas. Pecah
Mencorat-coret, pecah. Sobek-sobekan, pecah. Meremas-remas, pecah. Kusut kasau, pecah. Sebuah kertas pecah ketika langkah-langkah menapak tempat yang salah
Ke hutan pecah, ke gunung pecah, di pohon pecah, diskotik pecah, konser musik pecah, rumah sakit pecah, isi kloset pecah, tempat ibadah pecah, alam pecah, tata surya pecah.
Masa depan pecah berkali-kali melihat penguasa serakah
Aku; pecah.
Identity; pecah.
Bahasa; pecah.
Puisi; pecah.
Semua; rekah
Tuhan, maukah Engkau ikut pecah bersamaku?
2023
Kesimpulan Terakhir
Engkau seperti parafrasa ketika aku menjadikanmu wacana di kalimat akhir
Engkau adalah kesimpulan terakhir ketika aku tidak mengarang di buku lain
Aku tertambat; dalam markah yang berpindah di lembar-lembar itu saja
Engkau; menjadi biografiku.
2023
————————–
Rifqi Septian Dewantara asal Balikpapan, Kalimantan Timur Mei 1998. Karya-karyanya pernah tersebar di media online dan buku antologi bersama. Kini bergiat dan berkarya di Halmahera, Maluku Utara. Bisa disapa melalui Facebook: Rifqi Septian Dewantara. *
Baca: Puisi-Puisi Klasik Karya Ajip Rosidi