Sajak Sajak Muchid Albintani (Bagian ke-11)

Ilustrasi

Menyongsong pesta rakyat Pilu 2024

Nakhoda Palsu

Lancang merah putih ku
berlayar sore mengitari samudera
tak bertepi tersebab nakhoda
lepas kendali

begitulah episode negeri berkisah
bak lancang negeri lama
nakhoda ingin dipanggil raja
kerana memimpin seumur hidup
ajarannya pentasbih ibu ideologi
tiga dalam satu
satu dalam tiga
yang tahu pastilah mereka
tak mungkin aku
tersebab yang satu menuju tuhan
yang lain meniadakannya
sementera yang di tengah mustahil

sebagai nakhoda baru dari negeri lama
aku bukanlah pangeran
apalagi sang raja
lain hal jika terpilih terus menerus
sampai maut menjemput
karena tak langgar konstitusi
konstitusi yang aku sucikan
itulah bedanya aku dengan mereka

sebagai pendatang pengganti
dari negeri antara lama baru
kata mereka aku lugu
pastilah tak sama
karena luguku itu citra ku

sudah hampir satu dekade
singgasana ku akan berganti nakhoda
dari raja ke pengeran
demikian episode republik
bernuansa kerajaan
sebuah refleksi kepalsuan.

Pekanbaru, januari menuju pilu 2024

Perahu Karam

Tak ada beda antara tanah dan air
terkadang tanah ku menjadi
air begitu pun,
airku berwajah tanah

membimbang ku,
songsong pilu
aspirasi akan
ku teteskan
ke mana
tanah
atau
air

tanah ku menjadi tirai
bambu bukan tanah ku lagi

air ku terasa kapital
materi yang mengkristal
tumbuh besar menjadi peradaban
yang terkadang malah
tak beradab

itulah bukti
pembeda antara negara
dari negeri
yang tak ada lagi kemanusiaan
berubah tak beradab
pada keadilan
melainkan pada mereka
para penyongsong upeti

inilah pertanda negeri pilu
pesta berubah tragedi
demokrasi milik pribadi
plus paman ping pun kong biden

pilu itu negara tak bernegeri
ditinggal nakhoda palsu
umpama perahu
jika tak oleng
pastilah karam

Pekanbaru, januari menuju pilu 2024

Negeri Pilu

Nakhoda palsu pastilah karam
jikalau negeri ibarat perahu
dari negeri pengabdi
demokrasi pilu susah membeda
antara asli atau palsu

para pengabdi demokrasi pilu
umpama negeri imitasi
perhiasan tak lagi berharga
semenjak gemerlap intan
berpaling wajah dari berlian,
emas, mutiara menjadi
imitasi wajah asli
penghuni negeri pilu

tersebab tiada lagi kekayaan
milik negeri yang tersisa
terhisap rentenir kebijakan
dari negeri seberang
yang menyerlah menyajikan
gemintang membuat liur
para petinggi menyembur
bagai tekak kering ingin
menggadai negeri pilu

perhiasan mereka mengharu merah
kerut kening para makelar perunding
ingin secepatnya menukar emas hitam
pasir, bauksit, timah, nikel, kwarsa dan
segala yang dipunya dengan
secarik kertas berlabel investasi

tiada lagi perhiasan negeri pilu
para perunding telah menukarnya
menjadi bunga deposito
di bank-bank antar negara
yang tak bersisa ke anak cucu

seperti itulah talenta kerunyaman
ihwal kekayaan negeri pilu
sedikit demi sedikit dirampok
para penguasa berwajah imitasi
pemenang pilu.

Pekanbaru, januari menuju pilu 2024

—————————-
Muchid Albintani lahir di Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Sajak-sajaknya terbit dalam antologi, “Menderas Sampai Siak” (2017). “Ziarah Karyawan” (2017). “Segara Sakti Rantau Bertuah Antologi Puisi Jazirah 2” (2019). “Paradaban Baru Corona 99 Puisi Wartawan Penyair Indonesia” (2000). Baca sajak Lantera Puisi V 2018 di Singapura. Buku sajaknya, “Revolusi Longkang” (2017) dan “Rindu Dini” edisi revisi (2022). Buku terbarunya, “Teori Evolusi Dari Ahad Kembali Ke Tauhid Esai-Esai Akhir Zaman”. (Deepublish: 2021). “Terapi Virus Cerdas Berbangsa Bernegara” (Deepublish: 2022).*

Baca: Sajak Sajak Muchid Albintani (Bagian ke-10)

*** Laman Puisi terbit setiap hari Minggu. Secara bergantian menaikkan puisi terjemahan, puisi kontemporer nusantara, puisi klasik, dan kembali ke puisi kontemporer dunia Melayu. Silakan mengirim puisi pribadi, serta puisi terjemahan dan klasik dengan menuliskan sumbernya ke email: [email protected] [redaksi]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews