Puisi-puisi Karya Yanuar Abdillah Setiadi

Dunia

Pada pendar dunia yang kemilau
acap kali manusia terpukau silau.
Gemerlap dalam sekejap melahap
kemewahan dunia
menggerogoti iman yang benderang

menjalar
menggurita
sekejap
benderang
menjelma
muram
suram
kelam
dan tenggelam.

Purwokerto, 18 Januari 2021

 

Api dan Angin

Aku pasrahkan rinduku pada nyalang
api yang berkobar membara.
ia akan melahap semua rindu yang
berserakan di ruang hatiku.

Setelah tak ada sisa,
aku tugaskan angin menerbangkan
serpihan abu ke langit. Butiran abu mengepak
menjelma tangan yang mengetuk pintu hati
sang pemilik hati kekasih agar
menyampaikan hangat rinduku padanya.

Purwokerto, 18 Januari 2021

Istikamah

Jalan yang kau tempuh kadang
sesak padat dengan berbagai
kesibukan yang berhimpitan.
Pada akhirnya
kau tetap berjalan dengan santai
agar bisa menuju tempat yang ingin kau capai.

Jalan yang kau tempuh terkadang
lenggang dari lalu-lalang
kegiatan yang terurai.
Kau tegap meniti langkah
dengan lirih agar tak salah arah

Dari sekian senja yang tanggal,
setiap hari kau akan menempuh berbagai jalan
yang beranekaragam. Bagaimanapun caranya
kau ingin senantisa sampai.
Karena Tuhan mencintai hambanya
yang senantiasa melangkah dengan penuh
istikamah.

Purwokerto, 18 Januari 2021

Tertikung

Dingin yang berkecamuk merongrong
hendak merdeka dari jerat malam
dan hujan.

Bulan dan bintang yang menyaksikan
pertikaian sengit tersebut lantas
mengambil alih suasana dengan
menyapu mendung yang mengungkung
semesta.

Derai berhasil dilerai
Dingin melenggang pergi mencari rumahnya.
Setelah sampai, ternyata
perannya telah terisi oleh sosok sepi yang
menyala di pelataran hatiku.

Purwokerto, 18 Januari 2021

 

Kaca

Kaca yang kau lihat adalah
bayangan dari wajah aslimu.
Wajah yang senantiasa
berubah-ubah layaknya warna pelangi.
Kadang merah membara,
kadang mengharu biru,
kadang hijau permai,
kadang putih suci.

Kaca tak pandai sandiwara,
ia senantiasa memantulkan segala
sesuatu apa adanya. Sarat akan realita.

Pernah ku berangan-angan,
Seandainya kaca bisa memantulakan warna hati seseorang;
warna hati pendengki yang iri,
warna hati pemuda yang tertambat asmara,
warna hati hamba yang riya,
warna hati pujangga yang hampa,
dan warna hati pembaca yang terpana.

Purwokerto, 18 Januari 2021

 

Senja Wasilah

Lembayung senja yang terpancar di ufuk
barat mengingatkanku pada teduh pancaran
cahaya ibu. Pancaran yang berulang kali
rekah saat aku merasa kalah. Pernah sesekali
aku bertanya apakah sama antara senja dengan cahaya.
Ibu hanya menjawab “keduanya memiliki sikap yang bersahaja”.
Cahaya adalah karib saat kau menempuh gelap.
Gelap kisah cintamu, kelam masa lalumu, dan suram
masa depan yang menghantuimu. Cahaya akan
menuntuntmu mengarungi semua itu. Lantas
senja adalah sohibmu di saat kau merasa dipecundangi
kesibukan yang tak kenal waktu. Ia akan
menjamu dirimu di halaman teras dengan secangkir kopi
panas agar suasana terasa hangat.

Senja yang arif dan bijaksana akan senantiasa
tercurah melimpah bagi para perantau yang
sedang galau merindukan petang di teras rumah
dengan kehadiran ibu dan ayah yang tersenyum sumringah.

Purwokerto, 18 Januari 2021

Sebaris Ayat pada Taman

Pada lembayung lontara
aku ciptakan hari-hari yang terbuat
dari jum’at. Karena sejatinya
manusia diciptakan hanya untuk beribadah.

Buih embun yang mengalir
menggariskan sebuah doa yang hanya dapat
diterjemahkan oleh daun yang menunduk
patuh kepada kebesaran tuhan.

Lebah menyeruput sejuk fitrah dari
cangkir putik yang rekah.
Senandung lebah adalah
tasbih nan indah.

Bunga yang rekah oleh
serbuk cinta akan dipersembahkan
tuhan kepada lebah. Lebah adalah
makhluk yang senantiasa bersyukur
dengan sebentuk madu untuk para insan.

Purwokerto, 20 Januari 2021

Menitipkan Rindu

Aku titipkan rinduku pada ilalang yang
kujadikan pena untuk menulis sajak cinta.
Sayangnya ilalang lebih memilih menitipkan
rinduku pada pohon mangga yang
aku sendiri tahu kapan ia akan membuat rinduku masak
hingga dinikmati sang kekasih.

Lantas aku titipkan rinduku pada kepompong
yang bergelantungan diatas dahan
agar rinduku disampaikan kupu-kupu
yang acap kali hinggap di bunga hatimu.
Sayang sekali masa paceklik membuat bunga
hatimu gugur di landa nestapa.

Dan pada akhirnya aku titipkan rinduku
pada sampan yang berlayar mengarungi gelombang
cinta menuju haribaan pelukmu.
Sampan berdayung doa
akan tiba di pulau cinta
bersamaan dengan kecamuk ombak
yang mengecup bibir pantai saat
rindu menggebu.

Purwokerto, 20 Januari 2021

 

Getuk Sokaraja

Pada sebutir getuk yang dijajakan di pasar-pasar Purwokerto
ada seduhan cinta para petani singkong. Kadang aku berfikir
apa yang membuat Getuk Sokaraja merasa beda. Mungkin karena
cucuran semangat saat mengais rezeki yang tertuang dalam
adonan. Rasa penasaran mengantarkanku pada sebuah
jawaban. Manis getuk adalah perpaduan antara senyum,
sapa dan ramah masyarakat Banyumas. Selain itu, tungku
yang dijadikan sarana memasak getuk
membara mengelus wajan dengan kesederhanaan. Gula jawa
diayun dalam bejana dengan sabar dan debar.
Yang paling dirindukan dari getuk bukanlah cita rasanya
yang tak pernah pudar meski kau membaca sajak dan prosa.
Tapi, ramah masyarakat Banyumas yang tertambat dalam hati
bagaiakan sungai serayu yang mengalir deras tanpa henti.

Purwokerto, 20 Januari 2021

 

 

Perpaduan

“Saat memakan bubur ayam, apakah kau mengaduknya?”
tanya seseorang yang fanatik terhadap golongannya.
Padahal saat aku makan bubur ayam baik diaduk atau tidak
ia akan bercampur dan melebur menjadi satu dalam lambungku.
“itulah perpaduan yang arif dan bijaksana” kata seorang yang
moderat dalam menjalani hidupnya.
Mengapa kebanyakan mereka masih sempat-sempatnya
memperdebatkan masalah ini? Bukankan mereka
sama-sama sepakat bahwa bubur yang mereka makan
akan menjadi energi. Lantas mereka membuang-buang energi
untuk saling menang sendiri?
Bukankah energi yang mereka hasilkan seharusnya sebagai
wasilah agar saling mencintai, menghargai dan bertebaran
di muka bumi dengan cinta kasih sepanjang hidup hingga
akhir hayat nanti.

Purwokerto, 20 Januari 2021

——————————————-
Yanuar Abdillah Setiadi, lahir di Purbalingga, 01 Januari 2001. Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab UIN Saifuddin Zuhri Purwokerto. Santri Pondok Pesantren Modern El-Furqon Purwokerto. Karyanya telah tertulis di berbagai media diantaranya; Majalah An-Nuqtoh, Litera.co dan Mbludus.com. Kontributor covid-19 pandemi dunia (2020), lintang 3 (2020), dan di ujung tanjung (2020). Wa: 085865771853, Facebook: Yanuar Abdillah Setiadi, Instagram: @yanuarabdillahsetiadi. ***

Baca: Puisi-puisi Karya Mohd Adid Ab Rahman, Melaka (Bag.3)

*** Laman Puisi terbit setiap hari Minggu. Secara bergantian menaikkan puisi terjemahan, puisi kontemporer nusantara, puisi klasik, dan kembali ke puisi kontemporer dunia Melayu. Silakan mengirim puisi pribadi, serta puisi terjemahan dan klasik dengan menuliskan sumbernya ke email: [email protected] [redaksi]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *