Filsafat sebagai Sebuah Perspektif

Pemuda

ADALAH Imam Al-Ghazali yang dianggap sebagai “pioneer” kunci dalam menumbangkan filsafat dalam sejarah pemikiran Islam. Beliau dianggap telah berhasil “menumbangkan” konsepsi metafisika ibnu Sina dalam bukunya Tahāfut al-Falāsifah (Kerancuan Para Filsuf) . Pasca itu, sebagian besar umat Islam berbondong-bondong menyerang filsafat. Bahkan hingga saat ini, di Arab Saudi yang nota bene penganut Wahabi, dan beberapa kampus di Indonesia sendiri, mengharamkan belajar Filsafat.

Ibn Taimiyah melangkah lebih jauh lagi, bahwa apapun yang berasal dari Barat, termasuk Filsafat mustilah dihindari. Kitabnya yang berjudul Dar’u Ta‘ārudh al-‘Aql wa al-Naqliau Muwafaqat Shahīh al-Manqūl li Shārih al-Ma’qūl memuat secara khusus, uraian Ibn Taimiyah dalam menolak segala pemikiran yang berasal dari asing, khususnya Filsafat. Agaknya, pengaruh Ibn Taimiyah ini, yang menjadikan Arab Saudi atau beberapa negara Muslim lainnya, yang belakangan menolak Filsafat.

Kelompok lain yang menolak filsafat dalam memahami agama adalah adanya anggapan bahwa antara agama dan filsafat memiliki –meminjam istilah Wittgenstein- form of life sendiri-sendiri. Misalnya, filsafat mendasarkan diri pada rasio, sementara agama meletakkan basisnya pada wahyu. Ada sebagian dari filsafat yang terang benderang menolak aspek metafisis dalam memperoleh pengetahuan, sementara agama tidak saja bersumber dari pengalaman juga sangat mempertimbangkan sisi metafisisis dalam pemikiran keagamaan.

Persinggungan antara agama dan filsafat kemudian menemukan jalan terang, ketika Al-Kindi misalnya, sebagai seorang filosof Islam pertama, menyatakan bahwa antara filsafat dan agama, keduanya adalah kebenaran. Begitu juga al-Farabi yang kembali mengeaskan bahwa kebenaran yang dibawa oleh wahyu dan yang dihasilkan oleh filsafat pada hakekatnya adalah sama, meskipun dalam bentuk yang berbeda.

Pandangan Al-Kindi dan al-Farabi itu, selanjutnya diteruskan oleh Ibnu Maskawaih dan Ibnu Sina juga Ibnu Tufail. Nama terahir ini, mendiskusikan tentang harmoni filsafat dan agama dalam sebuah novel indah “Hayy Ibn Yakzan“. Dalam kisah itu, Ibnu Tufail mengisahkan petualangan Hayy yang diasuh oleh seekor rusa dan menemukan hakekat dirinya lewat akalnya setelah ia dewasa. Tokoh lain dalam novel ini adalah Absal, yang dibesarkan oleh agama Wahyu; keduanya lalu bertemu di sebuah pulau terpencil, tempat Hayy dibesarkan. Lalu berdialoglah keduanya berdasarkan pengetahuan masing-masing, dan ternyata keduanya menemukan titik persamaan yaitu kebenaran yang hakiki.

Terlepas akan perdebatan itu, filfasat pada dasarnya ingin meneguhkan kepada kita akan pentingnya kebijaksanaan dalam memperoleh pengetahuan. Sebagaimana makna dasar filsafat, philos (suka, cinta) dan sophia (kebijaksanaan), Cinta akan Kebijaksanaan, maka filsafat pada dasarnya adalah mengajak kita untuk belajar menjadi orang yang bijak. Jujun S. Suriasumantri (1999) dengan lugas memberikan penjelasan tentang seseorang yang berfilsafat adalah “…diumpamakan seorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang. Dia mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan galaksi. Atau seorang yang berdiri di puncak tinggi, memandang ngarai dan lembah di bawahnya. Dia ingin menyimak kehadirannya dengan kesemestaan yang ditatapnya. Karakteristik berpikir filsafat yang pertama adalah sifat menyeluruh. Seorang ilmuwan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia melihat hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya”.

Dengan begitu, maka filsafat sejatinya ingin mengajak kepada kita semua, untuk selalu mampu memandang setiap persoalan dengan menyeluruh, universal. Tidak sepotong-potong atau parsial. Seorang yang belajar filsafat, seharusnya mampu mengarifi bahwa pengetahuan perlu dipahami dengan berbagai sisi. Pengetahuan yang kita miliki, kemudian tidak lantas memonopoli kebenaran. Ada banyak sisi pendekatan dalam memecahkan setiap persoalan. Pun begitu, kita tidak lantas mengklaim bahwa informasi yang kita peroleh adalah satu-satunya kebenaran, sementara informasi atau pengetahuan yang diperoleh oleh orang lain yang berbeda adalah salah.

Kedua, Seseoang yang berfilsafat akan selalu merasa pengetahuan yang diperolehnya masih rendah, masih perlu belajar lebih dalam, sampai ke akar-akarnya. Seseorang yang berfilsafat akan segera menginsafi bahwa pengetahuan yang dimilikinya merupakan hasil refleksi yang diperolehnya di sekitar dirinya, boleh jadi ada banyak pengetahuan yang belum ia dalami dan ia pahami. Semakin banyak informasi yang diperolehnya, semakin haus ia akan pengetahuan lainnya dan ia semakin menyadari betapa luasnya pengetahuan yang belum dia kuasai.

Dari sini, berfilsafat justru membuatnya untuk menjadi rendah hati, menjadi semakin berhasrat kuat untuk tawadhu. Bukan sebaliknya. Sebagaimana seorang yang memperoleh gelar PhD/D.Phil, Philosophy of Doctor, harusnya sudah sampai pada maqam ini. Jika ada yang sudah Dr/PhD, tapi masih angkuh oleh dirinya maupun keilmuannya, berarti ada yang lemah pada philosophy-nya. Wallahu a’lam Bi Al-Shawab. ***

Baca: Setelah Satu Bulan Puasa

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *